PARTE 1

2022 Kata
Duduk di barisan belakang memang paling nyaman. Elian menguap untuk yang sekian kalinya. Memandang para anak kebanggaan para orangtua yang ada di kelas itu satu-persatu. Sepertinya dugaannya benar. Hanya dirinya seorang yang normal di sana. Sesuatu yang dijelaskan Pak Haidar di depan jelas-jelas tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia. Tapi bagaimana mereka bisa mencatat tulisan absurd Pak Haidar dengan serius sambil sesekali mengangguk seperti tercerahkan bahwa bumi itu bulat untuk pertama kalinya setelah terlahir di dunia. Adakah yang lebih lucu dari ini? Atau otak Elian saja yang terlampau tinggi? "Elian Ratu Sangkara!" Suara berat dari seseorang di depan kelas membuat Elian melihat Pak Haidar dengan muka-kisut-habis-tidur-lima-belas-menit-nya. "Saya akan mengurangi nilai UAS kamu sepuluh poin karena tidur di kelas." Elian hanya bisa melongo ketika sadar Pak Haidar menyebut nama Elian dengan garang. Kok Pak Haidar itu bisa tahu namanya? Elian sebagai mahasiswa terbelakang selalu berusaha agar tak terlihat siapapun. Apalagi para dosen yang pasti akan menambah rumit kehidupan sementara Elian di sini. Lagian Elian juga sudah yakin tahun depan akan pindah ke fakultas sebelah yang lebih adem. Ya, adem karena pasti tidak menemui kalkulus lagi di sana, tapi juga adem karena arti yang sebenernya. FSRD banyak pohon. Percaya tidak kalau menemukan pohon di Fakultas Teknik itu seperti menambang minyak di Antartika. Sampai Elian lulus dengan IPK 3,5 pun tidak akan ada yang namanya pohon beringin di sini. Elian heran kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan fakultas lain sangat rimbun seperti hutan di tengah kota. Mungkin Pak Rektor membuat SK untuk membuat lahan fakultas teknik gersang supaya mahasiswa terbiasa bekerja di tempat panas dan tidak takut berkeringat. "Elian kamu dengar saya tidak, sih?" kata Pak Haidar lagi. Elian yang sadar masih melongo dengan mulut terbuka segera menutup mulutnya dengan cepat. Anak-anak di kelas itu menatapnya dengan tatapan yang sama. Sebuah kejadian yang sangat jarang terjadi di hidupnya yang serba transparan di sini. Tuh anak shock kali ya nilainya di kurangin 10 poin. Demi apa minus 10 poin itu bisa bikin IPK berkurang 0,00023. Mana bisa gue hidup dengan ketidaksempurnaan itu. Mungkin yakin itu yang dipikirkan semua anak di kelas itu sekarang. Hello! Teori relativitas Einstein aja kaga sempurna. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sahut Elian jika pikiran mereka bisa dirinya hack satu-satu. Entahlah. Tapi nilai Elian mau dikurangin sepuluh atau tiga puluh sekalipun, itu tidak akan mengubah apapun. Dan Elian sebenarnya masa bodoh dengan hal itu kalau saja dirinya tidak melihat si k*****t berkepala bundar itu menarik bibirnya tipis kepadanya. Seperti mengejeknya atau mungkin merendahkannya seperti dulu. Elian tertawa dalam hati. Masalah misterius kenapa Pak Haidar tiba-tiba memanggil namanya bukan lagi menarik perhatiannya sekarang. Itu k*****t mungkin merasa dirinya sempurna seperti malaikat. Dari indra pendengarannya yang mengalahkan frekuensi burung hantu, Elian tahu kalau itu k*****t anak paling pintar di angkatan 17. "Iya, Pak. Oh ya, kurangin aja berapapun yang bapak mau. Kalau bisa sumbangin tuh sama para penyembah IPK di kelas ini. Gue ikhlas setengah mati, deh." Sebenarnya Elian ingin menjawab seperti itu jika saja semua orang di kelas itu tidak menatapnya seperti Elian adalah cicak yang berkaki enam. Jadi sebenarnya apa sih yang mereka harapankan untuk Elian katakan? Mengemis pada Pak Haidar agar mengembalikan 10 poinnya. Mati saja sana. "Iya, Pak," ucap Elian akhirnya. Jawaban paling netral. Tidak akan menimbulkan masalah lagi, Elian pikir. Berharap suasana hati Pak Haidar sedang baik dan membiarkannya hidup primitif di kelasnya. "Kamu keluar dari kelas saya!" Oke. Suasana hati Pak Haidar sedang sangat bagus sekarang. Tanpa berpikir lagi, Elian membersihkan alat tulisnya yang sangat simple dan efisien, yaitu satu pena dan satu kertas folio yang Elian minta dari Keisha tadi pagi karena Elian tidak merasa perlu untuk membawa buku apapun, lalu pergi dengan santai dari kelas itu dengan bahagia. Tak lupa Elian melemparkan tatapan tajamnya pada orang yang duduk di barisan ke dua dari depan. Yang sekarang sedang menggigit pulpennya dengan santai dan mengangkat alisnya pada Elian dengan sok keren. Kenapa sih dia selalu memasang ekspresi seperti itu ketika melihatnya? Dia pikir dia siapa? Brukkkk Menakjubkan! Sepertinya semesta sedang mengerjainya. Tersandung di depan kelas dengan mata-mata yang menatapnya aneh itu bukan hal yang enak. Sebenarnya Elian lebih memilih mereka menertawainya sekarang daripada hanya melihatnya terjatuh di depan kelas karena lantai sialan yang bodohnya bewarna putih dan membuat mata minus tanpa kacamata Elian itu tidak melihat undakannya dengan sempurna. Ini juga gara-gara makhluk sakral di belakangnya yang Elian tebak pasti sedang menertawainya sekarang. Please, siapapun malaikat yang melihat, bisakah mengambil nyawa Elian sekarang saja? Maka, Ossama Raken Hernando akan menjadi orang pertama yang akan Elian mintai pertanggung-jawaban atas kematiannya kelak di akhirat. Menyebut namanya saja membuat mulutnya gatal. Nama itu terlalu bagus untuk cowok k*****t macam dirinya. k*****t atau b*****t mungkin lebih cocok. "Gue bantu berdiri." Seseorang mengulurkan tangannya pada Elian ketika dirinya berniat untuk berdiri. Rupanya cowok berkacamata yang duduk paling depan. Elian hanya menatapnya tajam tanpa menerima uluran tangannya. Dengan langkah cepat dan tanpa menoleh ke belakang lagi, Elian meninggalkan kelas laknat itu dan berharap Elian tidak akan berada di sana lagi untuk selamanya. Biarlah Pak Haidar menganggapnya tidak sopan dan mengurangi nilainya lagi. Elian sungguh tidak peduli. *** Nasib seorang yang transparan di jurusan sendiri memang sedikit mengenaskan dari luar. Makan di kantin sendirian telah menjadi kesehariannya selama setahun berkuliah di sini. Elian sih biasa saja dengan ini. Elian juga bukan seorang yang suka membuka tangan dengan mudah pada orang lain. Tapi, tetap saja makan di kantin sendirian itu sedikit menyedihkan. Apalagi di tengah-tengah anak Teknik Mesin yang bergerombol berisik di belakangnya ini. Jurusannya memang satu gedung dengan Teknik Mesin dan Teknik Industri. Jadi, ya melihat para laki-laki seperti mereka setiap hari telah menjadi kebiasaan baginya. Sebenarnya merasa tertarik juga sih sama anak-anak mesin yang badannya kekar-kekar itu. Pernah juga dekat sama ketua angkatan mereka yang baru. Tapi ya seperti laki-laki pada umumnya yang merasa dirinya bak dewa yang merasa semua cewek mendambakannya. Tuh laki-laki botak pergi begitu aja. Begitu aja pemirsa. Tapi hati Elian memang sudah kebal setelah apa yang dilakukan k*****t itu kepada Elian dulu. Jadi dia biasa aja akan hal itu. Sekarang semua laki-laki di mata Elian sama saja. k*****t, b*****t, berengsek, dan selalu datang memberi harapan, pulang tak memberi alasan. Tapi tetap saja yang paling k*****t memang Raken seorang. Elian bingung kenapa Elian bisa bertemu dengannya di sini. Elian tidak meragukan otak k*****t itu, tentu saja. k*****t itu rangking dua pararel di sekolahnya dulu. Kakak kelas ganteng nan pintar yang membuat para perempuan bodoh sepertinya meneteskan air liur ketika bertemu dengannya. Entah apa yang k*****t dan teman-temannya itu pikirkan tentangnya hingga dirinya menjadi korban mereka Elian pun tak tahu. Elian tentu saja tidak secantik itu hingga membuat mereka tertarik padanya. Elian juga bukan anak terkenal yang sibuk sana-sini mengurusi event tidak penting di sekolah. Jadi apa yang membuat mereka menjadikannya taruhan? Apa mereka tahu kalau Elian yang membuat artikel tentang mereka di mading dulu? Jika benar begitu, ia akan menyalahkan Keisha atas kejadian itu. Sedotan di depannya sudah tidak berbentuk karena Elian asik menggigitnya. Sesekali Elian melirik para laki-laki di belakangnya yang sekarang sedang merokok masal. Apa sih yang diharapkan dari kantin anak teknik selain laki-laki menyeramkan yang merokok sambil ngomongin soal mekanika gerak yang nggak manusiawi waktu ujian tadi? Tidak ada yang lebih normal daripada itu. Ponsel Elian berdering dan ia melihat nama 'Kanjeng Mami' di layar. Sedikit was-was kenapa ibunya menelepon siang bolong seperti ini. "Apa, Mi?" jawab Elian dengan cepat. "Kalau jawab itu salam dulu, Yan. Sudah berapa kali sih mami bilang biasakan salam dulu saat jawab telepon?" Elian mengernyit ketika cabai setan di gorengan yang ia beli masuk ke dalam mulutnya. Gorengan sialan. "Assalamualikum, Wr.Wb, Mami," ucap Elian cepat sebelum ibunya semakin mengamuk dan membuat uang jajannya berkurang dengan tidak adil. "Kamu bikin masalah lagi ya sama Nak Haidar? Kamu tuh kuliah yang bener dong, Yan. Mami bayarin kamu kuliah di sana mahal-mahal bukan buat tidur di kelas. Pokoknya mami nggak mau tau kamu harus minta maaf sama Nak Haidar." Sebelum Elian dapat mencerna apa yang dikatakan ibu satu-satunya itu. Elian mengeratkan cengkraman pada botol minuman di tangannya hingga tidak berbentuk ketika menangkap sang k*****t memasuki kantin dan mulai berjalan ke arahnya. Eh, tapi Maminya tadi bilang siapa? Nak Haidar? Elian hanya mengenal satu nama Haidar di dunia ini. "Bentar-bentar, Nak Haidar siapa sih yang mami maksud?" tanya Elian memastikan bahwa indra pendengarannya masih berfungsi hebat seperti biasa. "Nak Haidar, dosen kamu. Elian, mami sebenernya belum setuju kamu pindah ke jurusan lain. Apalagi jurusan desain-desain yang kamu mau itu. Mami dan papi nggak setuju. Jadi, tolong sikap kamu dijaga ya di kampus. Jangan buat masalah lagi. Kalau bisa target dari sekarang IPK-mu lebih dari 3,7 biar nanti bisa lulus cumlaude seperti kakakmu." Apa? IPK berapa? Maminya pasti bercanda. "Mami, emangnya gampang apa dapet IPK segitu di sini? Lagian, kenapa masalah Pak Haidar sampai ke mami, sih? Terus kenapa mami panggil Pak Haidar kayak gitu? Emang Pak Haidar anaknya langganan Mami?" tanya Elian lirih karena si k*****t bernama Raken itu sudah hampir mendekati Elian dengan senyum miring mengejek yang selalu ada di wajahnya. Elian tidak mau k*****t itu mendengar ocehannya sekarang. "Ya ampun, Elian. Kamu belum tau ya kalau Nak Haidar itu anak dari teman lama ayahmu? Dia itu anak dari Om Mino - sahabat ayahmu waktu kuliah dulu. Jadi kamu jangan kurang ajar sama dia. Pokoknya kamu harus minta maaf langsung Nak Haidar." Elian tidak pernah dengar ayahnya memiliki teman bernama Om Mino. Terus, memangnya kenapa sih kalau Haidar adalah anak teman ayahnya? Apa hubungannya dengan kehidupan kuliah Elian? "Tapi, Mi, aku kan nggak-" "Pokoknya Mami nggak mau tahu lagi. Kamu harus minta maaf sekarang juga. Nak Haidar ada dikantornya sampai jam empat nanti. Jangan sampai lupa!" "Ya, Mi," ucap Elian akhirnya, ingin segera mengakhiri telepon karena Raken semakin dekat. "Ya udah Mami tutup. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Elian menutup ponselnya ketika si k*****t sudah berada di depan mejanya dan memandang Elian dengan santai bak di pantai. "Aku belum ucap salam kamu udah jawab aja," ucapnya dengan tersenyum menjijikan lalu duduk di depan Elian. Elian mendengus tidak suka. Nih orang mempunyai persentase tak tahu diri yang sangat besar. Elian yakin otaknya itu penuh oleh rumusnya Pak Haidar. "Siapa yang bilang lo boleh duduk di sini?" kata Elian tajam pada k*****t di depannya. Si k*****t itu tertawa kecil. "Kamu masih ketus seperti biasa. Kamu nggak berubah ya, Elian. Ini yang aku suka darimu." Hei para pujangga cinta yang penuh akan kata-kata untuk mengukir makna pada untaian cerita cinta di nirwana. Bisakah kalian mencari kata yang tepat untuk Elian katakan kepada laki-laki tak tahu diri di depannya ini sekarang? Sepertinya u*****n dan cacian tidak akan cukup untuk k*****t sepertinya. Otaknya perlu di cuci dengan HCL 0,9 M. "Jijik." Setidaknya itu kata yang hampir mendekati perasaan Elian saat ini pada k*****t itu. "Tadi telepon dari orang tuamu, ya? Gimana kabar Tante Suran dan Om Jamie? Aku udah lama nggak main ke rumah kamu lagi." Elian sedikit shock dengan kalimat yang barusan di katakan laki-laki di depannya itu. Apa katanya? Dia udah lama nggak main ke rumah gue? Hello? Sadar gak sih dia itu mantan yang tidak diinginkan? Bagaimana bisa dia dengan santai berkata seperti itu di depan Elian. Kadar kewarasan k*****t itu perlu di pertanyakan. Elian menyeruput es tehnya yang tinggal separuh sampai habis dalam sekali minum. Dengan sigap ia menelan semua gorengan di depannya dengan rakus. Tidak peduli dengan k*****t tidak waras di depannya yang mungkin menganggap dirinya kesurupan hantu Kantin Selatan yang ceritanya sudah terkenal sampai fakultas sebelah. Elian mengambil totebag-nya yang hanya berisi powerbank, Novel Jostein Gaarder yang baru dibelinya kemarin, dan kipas elektronik yang selalu ia bawa kemana pun. "Dengar ya, Berengsek. Lo jangan lagi sok kenal sama gue. Apalagi tiba-tiba nyamperin gue kayak gini lagi. Gue ogah deket-deket sama lo. Gue menolak kalau lo mau ngajak gue balikan dan gue juga nggak mau lo anggep sebagai temen ataupun adik tingkat lo. Jadi anggep aja kita nggak pernah kenal. Dan jangan senyum-senyum ke gue lagi. Lo tau itu nyebelin." Setelah mengatakan itu dan melihat sekali lagi muka Raken yang mendadak datar, Elian pergi meninggalkan cowok k*****t itu dengan senyum di wajahnya. Pembalasan pertama. Emang dia doang yang bisa bikin gue sakit hati. Gue juga bisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN