“Nggak banyak nuntut?”
“Check!”
“Cantik?”
“Lumayan.”
“Penampilan modis?”
“Hem, nggak menyakinkan.”
“Keluarga?”
“Nggak ada info. Menurut data HRD, dia tinggal di kontrakan. Di kolom orang tua juga nggak diisi. Mungkin dia yatim piatu.”
“Za, gue nggak mau ada masalah sama keluarganya ya.”
“Tapi si Laras ini emang udah pas, Pak. Status dia sebagai anak baru, kemungkinan bikin dia nggak berani ngelawan permintaan Bapak.” Irza kembali memperhatikan dokumen data diri Laras di tangannya. “Masalahnya, dia hanya tamatan SMP. Kalau dibandingin sama cewek-cewek yang sering ngejar Bapak, ya … jauhlah Pak. Di pantry aja suka dimarahin sama Bu Erni kok, karena sering salah.”
“Termasuk ngasih saya kopi asin,” gumam Rei. “Tapi bisa diakalin lah itu, nanti dia bisa ikut kursus di John Robert Powers. Sebulan di sana, paling nggak dia harus tau tata krama makan di keluarga saya,” lanjut Rei seraya melirik sekilas pada Irza yang tampak ragu.
“Semoga aja ya, Pak,” lirih Irza. “Tapi kenapa nggak nyewa cewek yang di aplikasi-aplikasi online gitu sih, Pak? Atau kalau nggak, sekalian piara bayi gula.”
“Untuk ukuran cowok, kamu cerewet juga.”
“Kalau untuk masalah ini, saya harus cerewet, Pak. Soalnya Nyonya Besar udah wanti-wanti kalau sampai batas waktunya Bapak belum juga nemuin calon istri, gaji saya mau dipotong.”
Rei menghela napas. “Kamu itu sekretaris saya atau Nyonya Besar?”
“Anda, Pak. Tapi yang pegang kuasa di kantor ini kan memang Nyonya Besar, meskipun beliau tidak ada di sini.”
***
“Sialan!” maki Rei seraya memukul setir berulang kali. “Pak Bernard ini maunya apa, sih? Pake campur adukin urusan kerjaan sama pribadi. Bener-bener nggak profesional. Kamu lagi, ngapain ngangguk-ngangguk gitu?” semprot Rei pada Laras yang mengangguk di kursi sebelahnya.
“Saya setuju dengan ucapan Mas Rei. Emang tuh, Pak Bernard nggak profesional banget, masa Mas Rei disuruh nikah sama anaknya buat dapetin proyek di Jawa Timur?”
Rei memutar tubuhnya menghadap Laras, lalu tersenyum tipis melihat reaksi wanita di sebelahnya yang juga berapi-api.
“Laras, kamu cemburu?”
Laras mengibaskan tangannya di depan wajah Rei yang makin tersenyum lebar.
“Nggak lah, cowok kayak Mas Rei mah, nggak pantes dicemburuin. Lha wong galaknya ngelebihin anjing. Sesial apa tuh cewek kalau ada yang mau sama Mas Rei.”
“Kamu mau.”
“Kan cuma pura-pura, dibayar pula. Siapa coba yang nggak mau? Cuma cewek b**o yang nggak mau dijadiin pacar sewaan Mas Rei. Lumayan kan, bisa dimasukin ke CV buat disodorin ke calon suami. Bisa meningkatkan nilai jual ‘pernah pacaran dengan Reinald Adiraga’ wuih! Bangga saya, Mas!”
“Kamu ini banyak omong banget!”
“Tapi kalau bisa milih, saya lebih milih kerjaan saya sebelumnya, sih. Daripada tiap hari berpotensi terkena serangan darah tinggi yang bisa menyebabkan stroke, gara-gara ngadepin Mas Rei!”
“Udah, jangan berisik. Kita balik aja ke apartemen. Saya mau istirahat.”
“Tapi ntar malem jadi, kan?”
Kening Rei mengerut.
“Ntar malem mamanya Mas Rei nyuruh kita buat makan malam di rumah. Lupa?”
Mendengar jawaban Laras, Rei hanya bisa menghela napas seraya mengantukkan keningnya pada setir mobil. Lalu melajukan mobilnya kembali ke apartemen. Sesampainya di apartemen, Rei dan Laras langsung bersiap untuk acara makan malam rutin setiap seminggu sekali yang diadakan oleh mamanya Rei.
Setelah selesai bersiap, keduanya kembali melaju menuju rumah Rei, dan di sana mama sudah menyambut dengan makanan yang memenuhi meja makan. Ada Kak Tia yang sibuk membantu mama menyajikan masakan. Lalu di ruang teve ada Mas Adnan dan papa yang asyik bermain catur, tapi papa langsung melambaikan tangan begitu menyadari kehadiran Rei.
“Aku bantuin mama dulu,” pamit Laras.
Rei mengangguk, lalu melangkah bergabung bersama papa dan kakak iparnya.
“Gimana kantor, Rei?”
“Biasa aja.”
“Berhasil proyeknya sama Pak Bernard?”
Rei menghela napas, lalu meraih bidak ratu hitam milik papa dan meletakkannya di salah satu kotak.
“Skak!” Rei kembali menatap papa. “Pak Bernard minta join.”
“Lho, bagus dong,” timpal Adnan yang sudah menggeser bidak kudanya.
“Bagus apanya. Bukan join bisnis, tapi join keluarga.”
“Maksudnya?” bingung papa.
“Pak Bernard minta aku buat tunangan sama anaknya.”
“Anaknya yang mana, Rei? Bukannya anaknya Pak Bernard semuanya cowok?”
Rei mengangkat kedua bahunya, lalu fokus pada papan catur di hadapannya.
“Hem …” Adnan bergumam. “Seinget aku masih ada satu lagi, Pa. Cewek. Jadi setelah lima anak cowok, ada satu cewek.”
“Masa sih, Mas?” ragu Rei.
“Entahlah, Mas juga nggak yakin-yakin banget, Rei. Tapi emang anaknya yang cewek ini nggak dikenalin ke public kayak anak-anaknya yang lain.”
“Kenapa?”
Kali ini giliran Adnan yang bergidik tak tahu. “Mungkin saking sayangnya kali. Anak terakhir, cewek pula. Takut terjadi sesuatu mungkin. Inget nggak, dulu salah dua anaknya, Mas lupa yang Arjuna sama Sena atau Sadewa gitu pernah mau diculik.”
Papa dan Rei mengangguk.
“Ya mungkin itu buat jagain anak cewek satu-satunya.”
“Kirain karena je-lek atau gimana.”
“Hus! Kamu ini ngomongnya sembarangan! Mama nggak suka kalau kamu lihat orang dari fisiknya, Rei!” tegur mama sembari memukul pelan pundak putranya. “Ayo, makan malam udah siap. Laras sama Tia udah nungguin tuh.”
Ketiga pria dalam keluarga Adiraga itu langsung beranjak meninggalkan permainan catur mereka. Menikmati makan malam dengan menu masakan mama—seperti biasanya—sesekali Rei menggenggam tangan Laras yang masih sedikit canggung berada di antara keluarganya.
“Udah nyampe tahap mana lo sama Laras?” selidik Kak Tia, setelah makan malam selesai dan kini dirinya bersama Rei sedang bersantai di teras belakang.
“Tahap apaan?”
“Yaelah, ternyata belom celup-celup teh juga kalian.”
“Celup teh pala lo! Nikah dulu lah, baru celup-celup!”
“Basi!” Kak Tia memutar tubuhnya menghadap Rei yang asyik mengemil kue. “Gue jadi semakin yakin, kalau Laras itu cewek bayaran yang lo sewa buat menghindari blind date yang diatur mama sama anak-anaknya temen mama, kan? Ngaku!”
“Astaga, Kak! Je-lek banget pikiran lo.”
“Ya—”
“Mas, mama mau ngomong katanya,” kabar Laras yang tiba-tiba muncul dan membuat Rei bisa kabur dari interogasi kakaknya.
Sialnya bagi Rei, keluar dari kandang singa masuk kandang buaya. Seperti biasanya, mama akan menanyakan hal yang sama berulang kali pada Rei dan Laras. Kapan keduanya akan meresmikan hubungan mereka. Sah!
“Kamu ada wali nikah atau keluarga yang harus diundang pas nikahan?”
Laras menggeleng.
“Ya udah, gimana kalau dua minggu lagi kalian nikah?”
“Rei terserah mam—”
“Anu, Tante,” sela Laras. “Kayaknya kecepetan. Soalnya saya sama Mas Rei kan baru kenal setahun ini. Kami juga belum go public di kantor.”
Rei menoleh takjub pada Laras, tidak menyangka bahwa Laras tahu istilah go public juga. Tapi tidak hanya itu, ada yang lebih membuat Rei takjub. Laras menolak permintaan mamanya untuk segera menikah dengan Rei. Perempuan ini pasti sudah gila! Bukannya baru tadi pagi Rei mengancamnya untuk mengembalikan semua fasilitas yang diterima Laras, kalau sampai akhir tahun ini mereka belum menikah?
“Kamu niatnya mau balikin semua fasilitas yang saya kasih? Mampu?” cibir Rei saat mereka sudah dalam perjalanan pulang. “Kamu nggak lupa perjanjian kita, kan? Harus nikah akhir tahun ini.”
Laras menghela napas, tapi tak acuh pada pertanyaan Rei. Bahkan setelah sampai di parkiran apartemen pun, gadis itu masih diam saja.
“Kamu sariawan?”
“Mas.” Laras menatap manik mata Rei. “Mas Rei yakin nikah sama saya? Bukannya lebih gampang kalau nikah sama cewek-cewek yang dijodohin mama? Atau mungkin sama anaknya Pak Bernard?”
“Kamu udah kenal saya berapa lama, Ras?”
“Setahun lebih.”
“Jadi harusnya kamu udah hafal dong, alasan saya kenapa—”
“Karena Mas Rei nggak mau berkomitmen. Mas Rei lebih seneng melajang, biar lebih bebas.”
“Nah, itu pinter. Lagian juga belum nemu yang cocok juga,” sahut Rei sembari membuka pintu dan melangkah keluar menuju lift.
“Jadi sembari nikah pura-pura sama saya, Mas Rei juga nyari yang cocok gitu?”
“Hm … mungkin.”
“Mas Rei ternyata berengsek juga ya.”
“Lho, kamu baru nyadar? Kemana aja?” kekeh Rei. “Tenang aja, perjanjian kita nggak akan ngerugiin kamu kok. Kapanpun kamu minta cerai, saya turutin.”
Keduanya melangkah keluar lift, lalu menuju unit masing-masing. Namun tangan Laras yang hendak menekan tombol panel password terhenti saat menyadari pintu apartemennya tidak lagi terkunci.
“Kamu nggak kunci pintunya?”
“Kunci kok.”
Perlahan Rei membuka pintu apartemen Laras, lalu masuk untuk memeriksa keadaan. Tidak ada yang hilang, bahkan semuanya masih tertata rapi seperti terakhir kali Laras meninggalkannya.
“Yakin?”
Laras mengangguk cepat.
“Ya udah, malam ini kamu tidur di tempat saya. Besok minta maintenance buat ganti panelnya.”
***
“Mas Rei ngapain!” pekik Laras kaget dan sontak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.
“Dikunci dong pintunya!” gerutu Rei. “Saya mau ambil baju ganti,” lanjutnya, sembari menuju lemari, lalu masuk ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian setelah mengganti pakaiannya, Rei keluar dan mendapati kamar tidurnya sudah dalam keadaan temaram. Dia melemparkan handuk basah bekas cuci mukanya ke lantai, lalu berbaring di kasurnya.
“Awas ya, Mas kalau ngelewatin batas gulingnya.”
“Hm,” gumam Rei, lalu berbaring miring memunggungi Laras. Malam ini Rei terlalu malas untuk mendebat Laras.
“Mas, lampunya kalau kayak gini nggak apa-apa?”
“Hm.”
“Beneran? Bukannya Mas lebih suka kalau tidur lampunya mati?”
“Ya udah matiin.”
“Tapi aku sukanya kayak gini. Pake lampu tidur.”
“Ya udah biarin aja kayak gini.” Rei mendesah kesal.
“Beneran?”
“Iya. Udah tidur.”
Rei merasakan kasur sedikit bergoyang. Mungkin Laras sedang mengubah posisi tidurnya. Terserah, Rei tidak peduli itu.
“Mas.”
“Kenapa lagi, Ras?” tanya Rei yang berusaha menahan amarahnya.
“Kalau kita beneran nikah nanti, kita tinggal dimana?”
“Kita tetep tinggal di apartemen ini.”
Kali ini Rei merasakan goyangan kasurnya lebih kencang. Sepertinya Laras kembali mengubah posisi tidurnya.
“Jadi aku masih tinggal di apartemen sebelah? Terus kamu tinggal di sini?”
“Hm.”
“Apa nanti—”
Laras belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat Rei tiba-tiba saja berbalik dan langsung menindihnya. Bahkan tanpa malu-malu Rei mengecup bibir Laras dan lagi-lagi berhasil membuat pipi Laras menghangat.
“Kamu temennya kelelawar sama burung hantu ya?”
“Kenapa gitu?”
“Udah malem bukannya tidur malahan jadinya cerewet banget.”
“Bukan gitu, aku kan mau mastiin tentang—”
Lagi-lagi Laras tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena Rei sudah melumat bibir Laras. Bahkan dengan kurang ajarnya, tangan pria itu sudah mengelus pelan lengan atas Laras yang terbuka, lalu turun ke bagian perut Laras. Sedangkan bibirnya masih terus berusaha mengajak Laras yang terdiam untuk bercum-bu.
“Aw!”
“Balas, Ras. Anggap aja ini latihan nanti buat pas kita nikah.”
“Tapi kan di perjanjian nggak ada mantap-mantap, Mas.”
“Saya inget. Ini cuma latihan biar kita ciumannya lebih luwes aja, kok,” kekeh Rei saat mendapati wajah panik Laras yang berada di bawahnya. “Payah kamu! Nggak seru, ah! Saya juga nggak ada minat sama kamu.”
Rei terbahak dan kembali merebahkan tubuhnya di samping Laras. Malam ini sedikit berbeda, Rei seolah mendapat mainan baru di kamarnya. Laras. Rei baru sadar, kemana dirinya selama setahun ini. Kenapa dia tidak pernah menyadari bahwa menggoda Laras adalah hiburan tersendiri baginya, apalagi di tengah padatnya tuntutan pekerjaan dan mama. Sepertinya ini akan menjadi hobi barunya, tentu saja hanya akan dilakukannya saat mereka berdua saja. Karena seperti yang diucapkan Laras beberapa waktu lalu, mereka belum go public!
“Berani kamu ngetawain aku?!”
“Ya habisnya ekspresi kamu lucu banget kalau panik gitu.”
Entah mendapat keberanian dari mana—Rei tidak tahu—Laras tiba-tiba saja beranjak dari berbaringnya dan kali ini dirinya yang ganti menindih tubuh Rei. Seketika membuat Rei menghentikan gelaknya dan menatap ngeri Laras yang semakin melekatkan tubuh mereka.
“Mau buktiin siapa di sini yang lebih berani?”
.
.
.
.
.
Bersambung ...
Jangan lupa recehan love dan komennya ...