Bab III

2160 Kata
Laras tersenyum puas saat bangun dan tidak menemukan Rei di sebelahnya. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk tidur di sofa. Semalam setelah Laras menantangnya, Rei langsung mendorong tubuh Laras, lalu melompat dari ranjang sembari membawa bantal dan selimut menuju ruang tamu. “Mas, bangun,” ujar Laras membangunkan Rei yang masih bergelung di balik selimut. “Kenapa?” erang Rei, masih di dalam selimut. Laras menghela napas melihat tingkah Rei. Ditariknya selimut Rei yang langsung membuatnya melotot tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Meskipun Laras memiliki akses penuh ke apartemen Rei, tapi sekalipun dia belum pernah melihat Rei tidur—tanpa baju, hanya menggunakan bokser. “Heh!” pekik Rei yang buru-buru menyambar selimut di tangan Laras dan kembali membungkus tubuhnya. “Enggak lihat! Aku enggak lihat! Enggak lihat!” ucap Laras berulang kali sembari menggeleng, mengusir bayangan ‘sesuatu’ yang menonjol di bagian selakangan Rei. “Enggak lihat! Enggak lihat! Astaga!” Sedangkan Rei yang semula kesal, jadi geli sendiri melihat tingkah Laras. Seketika pikiran jahilnya muncul untuk mengerjai Laras yang kini sedang mengambil air minum sembari menenangkan diri di dapur. Dengan selimut yang melilit di pinggulnya, Rei berdiri dalam diam sembari bersandar di meja pantry. “Enggak lihat! Enggak lihat!” racau Laras. “Ngapain berdiri di situ? Buruan mandi, kita harus ngantor.” Tak mengacuhkan ucapan Laras, Rei mengikis jarak di antara mereka. “Kamu enggak pernah lihat cowok ereksi pas pagi?” “Astaga! Mulut!” Rei tersenyum. “Normal tahu, kalau cowok itu—” “Udah! Diem! Enggak perlu dijelasin! Me-sum banget!” “Kok me-sum? Itu hal yang normal. Nih, pas pagi itu—” “Udah! Aku bisa cari sendiri di internet! Enggak usah kamu jelasin.” “Ngapain buang kuota buat nyari hal yang bisa kamu tanya dan lihat langsung. Nih, ada di depan kamu.” “Rei!” “Apa? Udah berani sekarang panggil namaku?” Tangan Rei turun ke kaitan selimut di pinggulnya, perlahan menariknya. Lalu membuka lilitan selimut itu perlahan. Sungguh, Rei sangat menikmati ekspresi Laras yang panik, merona, bahkan tidak berkedip—karena berusaha mati-matian tidak melirik ke bagian selakangan Rei. “Dasar gila!” pekik Laras, lalu mendorong tubuh Rei dan berlari keluar menuju unit apartemennya. Rei terkekeh melihat reaksi Laras. Puas. Setidaknya saat ini Rei berhasil menyamakan skor mereka, setelah semalam dia harus kalah dan tidur di sofa. *** “Kenapa muka lo?” tanya Irza saat Laras sudah menghempaskan bokongnya di kursi di sebelahnya. Menopang dagunya dan kembali menghela napas. “Enggak usah nanya. Bete banget gue!” “Ya, kan gue nanya siapa tahu bisa bantuin bikin mood lo jadi baikan dikit, kan?” ujar Irza sembari menyodorkan kotak makanan berisi biskuit diet. “Enak kok, enggak kayak biskuit diet yang kemarin.” Laras menggeleng. “Enggak ah,” tolak Laras, lalu mengalihkan fokusnya pada tumpukan dokumen di mejanya. “Gimana pertemuan sama Pak Bernard kemarin? Sukses?” “Entahlah. Pak Bos pas keluar mukanya udah asem duluan.” “Kenapa? Gagal?” Laras mengangkat kedua bahunya. “Enggak tahu. Tapi kemarin dia cuma bilang, Pak Bernard nyuruh Pak Bos tunangan, kalau perlu sampai nikah sama anaknya.” “Hah? Syarat macam apa tuh? Enggak professional banget sih Pak Bernard! Mana ada bisnis dicampur adukin gitu sama urusan pribadi.” Laras menoleh sesaat ke ruangan kaca Rei, dan dia tidak menemukan pria me-sum itu di kursinya. Bahkan Irza yang masih mengoceh pun tidak tahu ke mana bosnya ini pergi. Laras pikir, setelah menurunkan dirinya di dekat halte seperti biasanya, Rei akan langsung ke kantor, nyatanya tidak. Laras melirik kalender di meja kerjanya, dan menyadari bahwa hari ini adalah tanggal tujuh.   “Za.” “Hm?” “Lo kan udah lama ya kerja di sini, bareng sama Pak Bos.” Irza mengangguk. “Lo tahu alasan Pak Bos tiap tanggal tujuh selalu telat ngantor, bahkan kadang enggak masuk kantor?” Irza menggeleng. “Bohong!” “Sumpah, Ras! Gue udah coba nanya ke sekretaris senior, bahkan mantan sekretarisnya doi, enggak ada yang tahu.” “Masa sih? Enggak ada satu pun yang tahu? Selama ini?” Irza kembali mengangguk. “Gue pernah sih nanya langsung ke dia, tapi dianya diem aja. Eh besoknya, gue didiemin selama seminggu. Sinting, kan?” Laras melongo mendengar penjelasan Irza. Bingung sekaligus penasaran dengan apa yang dilakukan Rei setiap tanggal tujuh. Setahun mengenalnya, tinggal bersebelahan dengan pria itu, bahkan dirinya sudah hampir melihat menara—astaga! Kenapa menjurus ke sana lagi! “Kenapa lo?” bingung Irza, melihat Laras yang memejamkan kedua matanya rapat dan menggeleng. “Kesambet?” “Enggak.” “Lo sendiri, pernah nanya enggak ke dia?” Laras menggeleng. “Terus kenapa sekarang lo penasaran?” “Ya bukannya baru sekarang gue penasaran. Gue udah penasaran dari lama, masalahnya ya gue takut kalau mau nanya. Soalnya ya itu tadi, gue udah denger korban-korban macam lo gitu. Lo pernah nanya ke keluarganya, enggak?” “Gila! Mana berani gue! Ngeliat matanya Nyonya Besar aja, gue merinding. Ini lagi mau nanya urusan anaknya.” Obrolan pagi mereka terpaksa berhenti saat ponsel Laras berdering, sebuah panggilan darurat yang harus dia terima. “Gue angkat dulu, ya,” izin Laras, seraya beranjak dari tempatnya, menjauh meninggalkan Irza yang kembali sibuk dengan bekalnya. “Kenapa, No? Iya, besok aku usahain buat pulang. Iya, moga-moga aja besok dibolehin cuti. Kamu tahu sendiri, kan gimana bos aku ini? Belagu dan susah banget diajak nego soal cuti.” Setelah beberapa saat, Laras mengakhiri sambungan teleponnya dan kembali duduk di kursi kerjanya. Kembali berkutat dengan persiapan presentasi untuk Pak Bernard—lagi—sembari tetap bergosip dengan Irza, sebelum Andini datang untuk menyerahkan laporan penjualan tahunan. “Mana Pak Bos?” “Tanggal tujuh,” sahut Laras. “O iya, ritual pesugihan ya,” kekeh Andini. “Mulutnya! Ntar lo dijadiin tumbal baru tahu rasa!” timpal Irza, lalu ketiganya terbahak. “Tapi bisa jadi, sih.” “Ya enggak mungkin lah! Mana ada seorang Reinald Adiraga percaya mistis begituan,” sergah Andini lagi. “Palingan juga ke rumah ceweknya atau sugar baby-nya. Minta dipuasin.” “Sok tahu lo!” “Ye, enggak percaya! Nih, gosip terbaru dan ter-hot minggu ini!” Andini menarik kursi kosong di sebelah Laras. “Gio sama Pia nemuin transaksi ganjil di keuangan perusahaan! Tau enggak apaan?” Irza dan Laras menggeleng. “Masa ya, setahun belakangan ini pengeluaran pribadi Pak Bos jadi dua kali lipat! Bahkan …” Andini menyambar biskuit diet Irza. “Tapi kalian jangan bilang-bilang ke orang ya!” Irza dan Laras mengangguk. “Di pertengahan tahun lalu, Pak Bos beli apartemen baru! Di sebelah apartemennya yang sekarang ditinggali!” Laras meneguk ludah mendengar kelanjutan kalimat Andini. Apartemen baru? Tahun lalu? Tentu saja itu adalah apartemen yang ditinggalinya saat ini. “Ya mungkin buat investasi, disewain, atau buat keluarga besarnya kalau dateng dari luar kota,” ucap Laras mencoba memberi pemahaman yang masuk akal. “Iya! Bener itu yang dibilang Laras!” Irza menimpali. “Iya sih, bisa jadi. Tapi lo tahu apa yang aneh? Kalau itu apartemen buat disewain, kenapa Pak Bos ngirim banyak bahan makanan ke unit itu? Emang kalau orang nyewa, sekaligus ditanggung kebutuhannya? Enggak kan? Tau yang lebih aneh? Pia nemuin tagihan gaun pesta yang harganya seharga mobil. Tau tuh gaun dikirim ke mana?” Irza dan Laras hanya diam menatap Andini. “Ya dikirim ke alamat apartemen itu!” “Buat kakaknya mungkin,” sanggah Irza. Ketika Andini dan Irza masih berkutat tentang apartemen baru milik Rei, Laras malah sibuk mengingat tentang gaun pesta yang dibicarakan Andini. Gaun pesta yang membuat pikiran Laras terjebak sampai waktu yang tidak ditentukan bersama Rei. Gaun yang dibeli Rei untuk Laras, saat memperkenalkannya pertama kali ke keluarga besar Adiraga. Di mana pada akhirnya sandiwara mereka hampir ketahuan oleh Kak Tia. *** Hingga jam pulang kantor, Rei tidak menampakkan diri di kantor. Mau tidak mau, Laras harus naik transportasi umum untuk pulang nanti, setelah menyelesaikan ketikannya. “Pulang, Ras,” ujar Irza yang sudah selesai merapikan meja kerjanya. Laras mengangguk, tapi tak kunjung beranjak dari kursinya. “Lo pulang naik apa?” “Oh, ojek palingan.” Irza menganguk. “Gue duluan kalau gitu.” “Ok, hati-hati ya.” Tak lama setelah Irza pulang, Laras mulai membereskan mejanya. Kemudian bergegas menuju lift sembari menelepon seseorang untuk menjemputnya. “No, jemput dong! Mana ada di kamus gue mesti naik kopaja ama ojek. Enggak, lo buru ke sini deh. Bos sialan gue enggak masuk, nyari tuyul. Iya, beneran, gue enggak bohong. Ok, enggak pake lama ya.” Denting pintu lift terdengar saat pintu lift terbuka di lantai paling dasar. Laras mendongak dan mendapati Rei dengan pakaian lusuh dan wajah babak belur, berdiri di depannya. Pria itu langsung mendorong Laras kembali masuk ke dalam lift dan buru-buru menekan tombol angka menuju lantai ruang kerjanya. “Kamu enggak apa-apa? Muka kamu kenapa? Baju kamu juga kotor banget.” “Enggak apa-apa. Saya cuma capek dan butuh istirahat aja.” “Kalau gitu ayo pulang, aku obatin di apartemen. Ngapain malahan naik lagi?” kesal Laras yang langsung menekan tombol lobi, tapi ditahan oleh Rei. “Ada barang saya yang ketinggalan,” jawab Rei sambil lalu ketika lift sudah sampai di lantai yang ditujunya. Rei melangkah menuju ruang kerjanya, kemudian mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. Laras tidak tahu apa itu, karena benda yang diambil Rei langsung dimasukkan ke saku celananya. “Aku ambil P3K sama handuk di tempat gym dulu.” Belum sempat Rei menolak, Laras sudah menghilang dari ruang kerjanya. Rei mencebik, kemudian berbaring di sofa dengan sebelah lengan menutupi wajahnya. Lebam di wajahnya perih bukan main. Tak lama kemudian, Laras kembali dengan sebaskom air hangat berserta handuk dan kotak P3K. Diletakkannya baskom itu di meja, dan Laras mulai membersihkan luka Rei. “Kamu habis berantem?” “Kelihatannya gimana?” “Kelihatannya kamu kalah telak,” jawab Laras sambil sedikit menekan luka Rei, membuat pria itu meringis. “Selama aku kenal kamu, perasaan kamu enggak pernah deh berantem kayak gini. Bahkan kamu itu bukan tipe tukang berantem.” Rei tersenyum simpul mendengar ucapan Laras. “Itu berarti kamu belum kenal saya. Kamu belum sepenuhnya tahu siapa saya.” “O, ya?” Rei mengangguk. “Kalau begitu, cerita ke aku sekarang.” Rei menggeleng. “Enggak penting.” “Penting banget. Kamu inget Kak Tia pernah nanya-nanya ke aku soal kamu yang enggak bisa aku jawab? Itu satu dari banyak hal yang bikin Kak Tia ragu sama hubungan kita. Karena apa? Karena kamu enggak cerita ke aku semua tentang kamu. Jadi, kalau Kak Tia enggak percaya, itu sepenuhnya bukan salah aku, tapi salah kamu juga.”  “Kamu ini cerewet banget. Saya bonyok begini karena nolongin ibu-ibu dari jambret,” aku Rei akhirnya. “Hm … ok.” “Kamu enggak percaya?” Laras menggeleng. “Ya udah, terserah kamu. Udah, ayo pulang!” ajak Rei seraya mengambil handuk dari tangan Laras dan melemparkannya ke baskom. Lalu menarik tangan Laras keluar ruangannya. “Yang kamu ambil dari laci apaan?” tanya Laras saat mereka sudah di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Laras bisa melihat gerak tangan Rei yang diam-diam meremas benda di dalam saku celananya. “Enggak mau kasih tahu?” Rei menggeleng. “Kalau untuk yang satu ini, kamu enggak perlu tahu. Kamu boleh tanya saya apa aja, kecuali yang satu ini.” “Ok. Kalau gitu aku mau nanya.” Laras memutar tubuhnya menghadap Rei yang fokus menyetir. “Ke mana kamu seharian ini?” “Jalan.” “Bohong.” “Beneran.” “Ok, aku ganti pertanyaanku, agar kamu lebih paham. Gini, lebih tepatnya ke mana kamu setiap tanggal tujuh? Kamu selalu telat ngantor, ngilang, bahkan sekarang kamu babak belur.” “Jalan.” Laras melengos. Lebih baik dia tidak bertanya sedari tadi, daripada mendapatkan jawaban yang membuat darahnya mendidih. “Suatu hari nanti, Ras,” lirih Rei. “Kalau udah saatnya, saya bakalan jelasin semua ke kamu.” “Terserah,” ujar Laras malas, lalu memejamkan kedua matanya, memilih untuk tidur daripada menuruti rasa kesalnya pada Rei. “Ras.” Laras kembali membuka matanya. Bukan, bukan karena panggilan Rei, tapi karena ponselnya yang ada di dalam tas bergetar. Dilihatnya layar ponsel dengan 15 panggilan tak terjawab dan 12 pesan dari temannya. Laras lupa, kalau dia tadi meminta kawannya itu menjemputnya! Sial! Laras buru-buru membuka pesan-pesan itu. Jangan ditanya apa isinya, tentu saja berisi amarah teman Laras yang juga khawatir pada wanita itu, karena tidak ada kabar sama sekali. “Dari siapa?” tanya Rei penasaran. “Bukan siapa-siapa.” “Ras?” “Aku bilang bukan siapa-siapa dan enggak ada hubungannya sama kamu, Mas. Ini cuma Andini yang dari tadi siang ngajak gibah terus,” bohong Laras. “Gibah apaan?” “Ya gibahin kamu. Siapa lagi?” “Gibahin saya? Soal apa?” “Soal—udah ah, enggak usah dibahas! Aku kan lagi kesel sama kamu! Kenapa malah ngeladeni kamu ngobrol?”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN