Perlahan, Damar mencoba untuk berubah dan belajar untuk mencintai perempuan itu. Dia gak lagi memunggungi Karin saat tidur, membalas pelukan istrinya tanpa canggung, dan kadang dia yang memulai melakukan skinship dengan perempuan itu lebih dulu. Meskipun Damar masih belum juga membalas setiap kali Karin bilang : I love you, tapi tindakan Damar yang seperti ini sudah membuat Karin senang dengan perubahan suaminya.
Semua berjalan dengan baik, kehidupan Karin menjadi menyenangkan. Menikah dengan laki-laki yang dia cintai, memiliki ibu mertua yang baik, dan papa yang sayang padanya. Belum lagi, ada janin yang tumbuh di rahimnya. Karin merasa hidupnya sempurna saat ini.
Ibu mertua banyak mengajari dia memasak. Dulu, perempuan itu jarang sekali mau masuk ke dapur apalagi memegang alat-alat masak. Semua dikerjakan oleh ART. Tapi sekarang, sikap Karin berubah lebih baik. Gak lagi arogan seperti sebelumnya. Dia bisa memasak beberapa masakan yang mudah, dan jadi hobi memasak untuk Damar. Meski rasanya belum seenak masakan ibu mertua, Damar selalu memakannya sampai habis dan gak pernah bicara sesuatu yang menyakiti hatinya. Kadang memang ada koreksi sedikit atas masakan Karin, tapi itu dia sampaikan dengan Karin.
Jelas saja, perlakuan Damar yang seperti itu membuat rasa cinta Karin bertambah setiap harinya. Dia jadi makin posesif pada Damar. Dulu, Damar agak risih dengan sikap istrinya ini. Namun sekarang dia mencoba untuk menerima dan memahami Karin. Lelaki itu berpikir, mungkin memang hormon kehamilan Karin yang memengaruhi dia jadi begini.
Karin sering mengecek ponsel Damar, membuka pesan, galeri, riwayat telepon, memasang GPS untuk memantau keberadaan suaminya … Damar hampir gak punya privasi karena itu. Dia selalu tanya nama-nama di setiap kontak Damar jika ada nama yang aneh, takut kalau Damar masih menyimpan kontak Amira dan menamai kontak itu dengan nama samaran. Tetapi suaminya bilang kalau Karin gak percaya, bisa langsung ditelpon saja untuk memastikan. Akhirnya, Karin gak lagi mempermasalahkan itu.
Dia juga bisa mengakses i********: Damar yang memang jarang dipakai. Cuma itu satu-satunya sosial media yang Damar perbolehkan Karin untuk mengetahui passwordnya. Damar bilang, untuk sosial media lain dia gak lagi aktif dan lupa password. Untuk masalah gak lagi aktif, Damar bicara jujur. Tetapi untuk masalah lupa password, dia berbohong. Dia gak mau Karin membuka kenangan-kenangan lamanya dengan Amira di platform itu. Foto-foto dia dengan Amira masih ada, tidak dihapus sampai sekarang.
Karin membaca kumpulan pesan yang ada di i********: Damar, beberapa dari cewek-cewek yang penasaran padanya tetapi gak ditanggapi sama sekali—Cuma dibaca—dan di bagian-bagian atas ada pesan dari beberapa orang yang belum dibuka. Saat perempuan itu membacanya satu-satu, isi dari pesan itu adalah chat dari teman-teman dekat Damar dan Amira yang sudah mengetahui apa yang terjadi antara mereka dan menyayangkan sikap Damar. Bahkan ada satu temannya yang bilang dia gak mau lagi melihat Damar kembali ke kampung halaman dan bertemu mereka.
“Kenapa?” tanya laki-laki yang duduk di sebelahnya dan ikut menatap Karin saat perempuan itu mengalihkan pandang ke Damar. Damar sedang fokus nonton film action di kamar mereka.
Karin menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami, menyuruh dia untuk membaca sendiri. Karin gak mengalihkan pandangan sedikit pun dari Damar karena ingin melihat reaksinya. Mimik wajah Damar sempat berubah sedih, tetapi beberapa saat kemudian dia mengangguk dan mengembalikan ponsel Karin ke pemiliknya.
“Biarkan saja,” lirih Damar. Setelah itu, dia pamit keluar kamar. Saat Karin tanya mau ke mana, Damar menyahut kalau dia ingin keluar saja sebentar.
Karin tahu, Damar hampir kehilangan semua yang dia punya karena ulahnya. Calon istri, teman, ketenangan, tempat tinggal … rasa bersalah pada diri Karin muncul. Dia mau jujur mengenai semuanya, tapi itu gak mungkin. Kalau Damar tahu, dia pasti akan sangat membenci Karin. Dia juga gak mau kehilangan Damar dan semua kebahagiaan yang sudah dia dapatkan sekarang. Lagi-lagi, Karin memilih bungkam.
***
Jam Sembilan malam, suaminya belum juga pulang. Ini kali pertama Damar pulang malam selama mereka menikah. Tadi sih dia sempat kasih kabar kalau lembur, tapi Karin gak menyangka kalau akan pulang di jam segitu. Karin sempat protes ke papa saat mereka makan malam—hanya bertiga dengan papa juga ibu mertua—kenapa harus membiarkan Damar sampai lembur cukup lama begini, tetapi papa bilang kalau memang hari ini kondisi di kantor cukup hectic. Namun papa bilang, rata-rata mereka sudah pulang dari pukul delapan. Ke mana perginya Damar?
Entah sudah ke berapa kali Karin menghubungi lelaki itu. Mungkin sudah lima belas kali? Tetapi nomornya malah gak aktif. Dia sempat meminjam nomor ibu mertua, hasilnya pun sama. Perempuan berusia 19 tahun ini cemas, dia takut suaminya kenapa-napa.
Karin yang bosan menunggu di ruang tamu, akhirnya meminta supir untuk mengantar dia ke kantor. Tetapi saat Karin baru saja masuk ke dalam mobil setelah bersiap-siap, satpam membuka pagar rumah dan dia melihat mobil suaminya masuk ke pekarangan. Karin langsung bilang pada supir kalau dia gak jadi pergi.
Perempuan hamil yang memakai dress selutut warna peach dibalut dengan kardigan rajut bewarna senada, turun dari kendaraan dan menunggu Damar di teras.
“Kamu belum tidur, Rin?” tanya lelaki itu setelah memarkirkan mobil di halaman dan menghampiri Karin.
“Gimana bisa tidur? Kak Damar gak biasanya pulang jam segini. Tadinya aku mau nyusul ke kantor malah,” ucap Karin, sedikit badmood. Damar seperti gak ada rasa bersalah.
“Saya kan sudah ngabarin kamu, bilang kalau lembur.”
“Tau, tapi papa aku bilang rata-rata yang lain keluar jam delapan. Lah ini udah mau setengah sepuluh, Kakak ke mana?”
Damar sempat melirik kearah supir dan satpam yang sekarang tengah nongkrong di pos depan—mereka semua memang tinggal di sini, tetapi dipisah dengan rumah utama dan kamarnya ada di halaman belakang—kemudian kembali menatap istrinya.
“Bisa kita lanjut bicara di kamar? Saya gak mau kita keliatan ribut-ribut di depan orang lain.”
Karin gak menolak saat suaminya mengajak dia ke kamar. Damar merangkul bahu istrinya, membuat emosi Karin yang awalnya meledak-ledak jadi sedikit mencair.
Setelah Damar menutup pintu kamar, Karin kembali mencecarnya dengan pertanyaan yang sama seperti sebelum ini.
“Saya tadi mengantar teman seruangan saya dulu, Rin. Kasihan dia kalau dibiarkan sendirian karena tadi dia yang pulang terakhir bersama saya.”
“Siapa?”
“Riska.”
“Kenapa harus Kak Damar yang anter? Emangnya dia gak bisa pulang sendiri, hah?”
“Rin, rumahnya gak terlalu jauh kok dari sini. Cuma memang macet saat arah putar balik jadi saya pulang terlambat.”
“Bohong! Pasti dia yang maksa-maksa Kak Damar buat dianterin pulang bareng kan? Emang dasar gatel, liatin aja dia nanti.”
“Dia gak salah, Rin. Saya yang memang menawari dia menumpang mobil karena sudah malam. Apalagi tadi sempat mau hujan juga.”
“Terus Kakak gak kasihan sama Karin? Karin nunggu dari tadi, telpon berkali-kali malah nomornya gak aktif sama sekali. Bilang aja Kakak ada niat selingkuh sama dia.”
“Rin ….”
“Yang mana sih orangnya? Besok biar Karin liat. Paling mukanya pas-pasan, sok cantik,” ucap perempuan itu sambil menekuk kedua tangan di pinggang.
“KARIN, CUKUP!” Damar meninggikan suara karena kali ini Karin agak kelewatan. “Jangan membesarkan masalah sepele.”
“Sepele apanya?”
Damar mengeluarkan ponsel dari saku celana, kemudian mencoba menyalakan ponsel karena dari tadi dia gak dengar ada telpon dari sang istri. Ternyata, ponselnya. “Liat? Ponsel saya kehabisan baterai. Saya gak selingkuh.”
Karin membuang mukanya dan melipat kedua tangan di d**a. “Apa pun alasannya, Karin gak mau lagi liat Kak Damar dekat sama dia. Kalau perlu nanti Karin bilang papa biar dia dipecat.”
“Bedakan urusan pekerjaan dan masalah pribadi. Kamu bukan lagi anak-anak, jangan bersikap begitu. Dia cuma rekan kerja saya, dan saya yang mau mengantar dia karena kasihan.”
“Gak peduli!” Setelah bilang begitu, dia memilih untuk berjalan menjauh dan tidur memunggungi Damar malam ini. Karin marah sekaligus kesal, bahkan jadi curiga kalau Damar ada hubungan yang gak-gak dengan rekan kerjanya di kantor.
***
Biasanya, Karin mengantar makan siang ke kantor dan makan bersama suaminya di ruangan. Tapi hari ini enggak. Dia cuma datang membawakan paperbag berisi masakan hasil buatannya, dengan niat terselubung ingin mengetahui rekan kerja yang dimaksud Damar. Karin yakin, perempuan itu adalah perempuan dengan rambut panjang bergelombang berwarna coklat, bertubuh tinggi dan ramping. Meski paras perempuan itu cantik, tapi Karin tetap menamainya si jelek.
Kali ini, Karin memilih makan siang di ruangan papa. Damar sempat mengajaknya untuk duduk di samping dia … tetapi Karin cuma menggeleng dan pergi. Damar gak memusingkan itu, dia pikir mungkin nanti Karin akan kembali ke sini. Karena memang jika bukan ke ruangan Damar, maka Karin akan stay di ruangan papa.
Papa sempat bertanya kenapa hari ini Karin gak makan bersama Damar, anaknya bilang kalau dia tengah marah dengan Damar.
“Aku mau papa pecat perempuan yang namanya Riska di ruangan kerja Kak Damar!” ucap Karin sambil mengunyah makan siangnya. Sang papa yang mendengar kalimat suruhan tiba-tiba dari anak semata wayangnya, refleks menatap anak itu.
“Ada apa dengan Riska?”
“Dia itu gatel, Pa. Godain suami aku! Masa kemaren dia minta Kak Damar buat anter dia pulang. Makanya Kak Damar jadi telat pulang ke rumah,” kata perempuan hamil itu dengan menggebu. “Pasti dia ada niat mau rebut suamiku.”
“Papa rasa kamu agak berlebihan, Karin,” sahut lelaki tua yang baru saja menelan makanannya. “Selama dia bekerja di sini, dia gak seperti apa yang kamu duga.”
Karin menghela napas. “Gak papa, gak Kak Damar, semua ngebela Riska-Riska itu! Kenapa sih? Papa lebih sayang sama dia dibanding aku? Aku ini anak papa lho.”
“Sayang, jelas Papa lebih sayang kamu. Kamu anak papa satu-satunya. Tapi posisinya sekarang memang cuma salah paham saja karena cemburu.”
“Terserah deh, gak ada yang ngerti Karin di dunia ini.” Dia menyudahi makannya, kemudian hendak pergi tapi ditahan oleh sang papa.
“Papa tahu perasaan kamu, sini … duduk dulu. Kita bicara baik-baik.”
“Selama Papa masih ngebela Riska sama kaya Kak Damar yang lakuin itu, aku gak mau ngomong sama papa.”
Lelaki tua dengan beberapa uban yang muncul di sela-sela rambut hitamnya ini menghela napas. Dia sempat diam cukup lama dengan tangan yang memegangi tangan anak semata wayangnya—supaya dia gak kabur—kemudian bersuara, “Papa gak bisa memecat Riska hanya karena itu, apalagi … kinerja dia termasuk bagus.” Saat mendengar sang anak berdecak sebal sambil memutar bola mata, dia melanjutkan ucapan, “Tetapi Papa punya opsi lain yaitu memindahkan dia di kantor cabang. Bagaimana?”
Mendengar itu, Karin kembali melirik kearah sang papa dengan cengiran lebar yang terbit dari wajahnya. Karin mengangguk, disusul ucapan, “Oke, Karin setuju.” Dan menjadi akhir dari diskusi mengenai Riska siang ini.
Demi putri kesayangannya, Papa rela melakukan apa saja.
***
Karin yang tengah menyisir rambut sambil duduk di kursi rias, melirik kearah pintu yang terbuka lewat pantulan cermin. Di sana, muncul sosok suaminya yang kelihatan marah. Bahkan gak biasanya juga dia masuk tanpa mengetuk pintu.
“Kamu yang buat Riska pindah?” tanya dia langsung yang kini berdiri gak jauh di belakang Karin.
Perempuan pemilik rambut sebahu juga mata bulat ini menatap tubuh sang suami dari pantulan cermin di depannya, kemudian menghentikan aktivitasnya. Dia menaruh sisir di atas meja karena memang sudah selesai, tetapi gak kunjung berbalik badan dan menatap Damar langsung.
“Iya, kenapa?”
“Saya gak habis pikir sama kamu, Rin. Sudah saya bilang ini salah saya, kalau kamu mau ada yang pindah, silakan suruh papamu pindah saya saja, atau …. ”
“Aku gak mau dia deket-deket sama Kakak! Masih untung dia gak dipecat dari kantor, cuma dipindah. Kalau Kak Damar sama dia gak ada hubungan apa-apa, gak seharusnya Kakak bersikap kaya gini. Bentak-bentak aku buat belain perempuan lain. Aku jadi makin curiga!”
“Terserah, saya capek sama kamu.”
Mendengar itu, Karin berdiri dan sekarang menghampiri suaminya. Dia mendongak dan menatap wajah Damar. “Kakak mau Riska tetep di sana? Hm?” lirih Karin sambil menatap manik mata lawan bicaranya dengan tajam. “Boleh. Boleh aja, kok. Tapi besoknya jangan nyesel kalau Kakak kehilangan aku dan anak kita … selamanya.”