Chapter 1

1286 Kata
Malang, April 2016 “Iya Ma, Lana bisa jaga diri kok.” Cewek dengan perawakan tubuh mungil itu mengerutkan keningnya dalam. Dalam hati, ada sepercik rasa bersalah karena sudah berbohong kepada ibunya. Gadis  itu meringis saat suara ibunya yang kini entah mengapa sangat ia rindukan itu masih berceramah tentang bahaya di dunia perkotaan. Aliana Niakansavy, cewek manis dengan telepon di tangan kanannya itu menghela napas sangat pelan, khawatir jika saja ibunya yang berada di seberang telepon itu mendengar helaannya.             “Ma, ini Lana ada di Malang loh, bukan Jakarta,” ucapnya yang malah membuat ibunya semakin mengomel tanpa henti. Aliana mendongak, menatap awan mendung yang semakin menggelap di langit kota yang terkenal dengan hawa dinginnya. “Ma, sudah dulu ya. Iya, Lana janji bakal langsung pulang, gak bakalan macem - macem deh!” Setelah mengatakan itu, Aliana memutuskan panggilan. Gadis  itu kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. Saat ini, ia merasa seperti anak kucing yang baru lahir dan langsung ditinggal oleh induknya. Ini adalah kali pertama Aliana berpergian jauh seorang diri, tanpa salah satu anggota keluarganya yang menemani. Tiba - tiba saja pikirannya kembali pada sosok kakaknya, Alan Nestakansavy. Kakak brengseknya itu kabur dari rumah setelah membuat kehebohan hingga Aliana ingin sekali memukuli wajah tampan kakaknya. Dan berakhirlah ia di sini, di kota Malang dengan tujuan untuk menyeret pulang kakak lelakinya. Aliana sudah tidak tahan melihat ibunya yang menangis setiap malam, serta Ayahnya yang memang terlihat tanpa beban namun menyimpan kesedihan begitu dalam.             Aliana memekik saat hujan turun dengan lebatnya, tanpa di awali rintik – rintik kecil. Ia segera berlari ke pelataran sebuah toko yang sudah tutup sembari mengibas - ngibaskan lengan jaketnya yang lembab. Aliana menunduk sekilas pada seorang kakek tunawisma yang duduk di samping tempatnya berdiri. Merogoh saku celananya, dan meletakkan uang kertas lima ribu pada sebuah kaleng di hadapan kakek itu. Dan setelahnya langsung kembali mengambil beberapa langkah agak jauh dari sang kakek.             Hujan itu sangat lebat, Aliana hanya diam sembari mengamati beberapa orang yang berlalu - lalang dengan tubuh yang sudah basah kuyup. Hatinya tak henti menggerutu karena hujan yang sangat lebat sore ini seolah memang sengaja turun untuk menghambat niatnya. Sesaat kemudian, ia tersentak saat melihat sebuah motor besar berhenti tepat di depannya. Seorang cowok dengan helm hitam pekat tergopoh - gopoh turun dari motor dan berdiri di sampingnya untuk berteduh.             Aliana mengamati cowok tinggi itu dengan tatapan iba. Cowok di sampingnya itu pasti sangat kedingingan dengan kaos hitam tipis yang bahkan sudah mencetak tubuhnya karena basah. Apalagi, hawa musim hujan di Kota Malang terasa bagaikan menembus kulit. Ia tidak bisa membayangkan akan sebeku apa dirinya jika berada di posisi lelaki itu. Aliana tergagap saat lelaki itu menoleh ke arahnya. Walaupun helm hitam masih setia menutupi seluruh wajahnya, tetap saja Aliana sadar bahwa lelaki itu sedang menatapnya. Aliana buru - buru mengalihkan pandangan. Pikirannya mendadak dipenuhi dengan rasa curiga. Bagaimana jika lelaki itu berniat jahat padanya? Menculik dirinya, lalu menjualnya? Lebih parah lagi, bagaimana jika orang itu berniat untuk memutilasi dirinya? Aliana melirik lelaki itu yang saat ini sudah berjongkok di sampingnya dengan hati - hati. Walaupun kaca helmnya telah dibuka, Aliana tetap tidak dapat melihat wajahnya karena posisi lelaki itu yang lebih rendah darinya. Sontak saja mata Aliana memicing ketika melihat lelaki itu mengeluarkan rokok elektrik dari dalam tasnya.             Cowok nakal! Aliana semakin menunjukkan ekspresi tidak suka saat lelaki itu mulai menyesap rokok elektriknya, mengeluarkan asap beraroma manis ke mana - mana. Meskipun aromanya manis, tetapi tetap saja tidak sehat. Secara tidak langsung, lelaki itu dengan seenak jidatnya telah membagikan racun dari asap rokok elektriknya kepada Aliana dan kakek tunawisma di sampingnya.             Benar saja, tidak lama kemudian, kakek tunawisma itu terlihat terganggu dengan asap itu. Sungguh cowok yang tidak peka! Bagaimana bisa ia menghisap rokok elektrik di samping kakek renta. Aliana memutar otak, mencoba mencari cara agar bisa menghentikan aktivitas lelaki itu, tapi tidak membuat kondisinya terancam. Seberani - beraninya Aliana, tetap saja ia takut diculik di kota orang.             Seakan mendapatkan sebuah pencerahan, Aliana menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan lelaki itu. Kemudian, ia menurunkan tangannya cepat, sampai membuat kaca helm lelaki itu turun menutupi wajah tepat ketika mulutnya terbuka untuk mengeluarkan asap. Mampus lo! Makan tuh asep!             “Eh sorry, gue gak sengaja.” Aliana membuat wajah menyesal yang dibuat - buat saat melihat lelaki itu terbatuk - batuk karena asap rokoknya sendiri.             Lelaki itu lantas mendongak, menatap Aliana yang berdiri di sampingnya. Seolah mengerti maksud Aliana, ia menutup rokok elektriknya dan memasukkannya ke dalam tas. “Sengaja pasti,” jawabnya seraya berdiri.             “Beneran gak sengaja kok.” Aliana menunduk sambil memainkan sepatu ketsnya. Ia mencoba menyibukkan dirinya dengan hal lain, apa pun itu. Sebenarnya, dirinya cukup terkejut dengan reaksi lelaki itu yang di luar dugaannya.             “Ngaku aja deh, sengaja ya?” tuntut lelaki itu.             “Gak.”             “Kalo lo nggue, pasti gue maafin.” Lelaki itu kembali berucap, kali ini dengan intonasi yang lebih bersahabat dari sebelumnya.             “Dih, ngotot!”             “Ya udah, kalo emang gak sengaja, gue ngisep lagi aja.” Lelaki itu berucap seraya merogoh tas, bermaksud meraih rokok elektriknya. Aliana menatap nyalang ke arah cowok yang sepertinya masih betah dengan helmnya itu. “Lo tuh gak peka banget, deh. Kalo kakek itu sakit gimana?” desis Aliana sembari melirik hati - hati ke kakek yang masih duduk tak jauh dari mereka berdua. “Justru si Kakek malah suka. Dingin - dingin gini kan enaknya ngerokok.” “Lo tau, gak? Rokok itu dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan kejombloan! Apalagi lo masih SMA kan? Masih anak bau kencur!” sahut Aliana dengan begitu lancarnya. Bagaimana tidak lancar, itu adalah kata - kata mutiara Aliana tiap kali memarahi kakaknya. “Jomblo? Kok bisa?” Lelaki itu menatap Aliana dengan pandangan tertarik. “Iyalah, soalnya cewek - cewek pasti ogah pacaran sama cowok perokok!” Lelaki itu menggosok lengan tangannya untuk menghalau dingin sembari berujar penuh rasa percaya diri. “Masa? Kalo cowoknya ganteng kayak gue, mana bisa nolak? Lagian, cinta mana sempet mandang orang itu ngerokok apa gak.” “Dih, pede gila!” Aliana menatap sembunyi - sembunyi cowok yang terlihat kedinginan itu. Matanya membulat saat lelaki itu mengeluarkan rokok batangan dari dalam tas. Refleks, ia menyambar rokok batangan dari genggaman lelaki itu. “Jangan ngerokok, dong!” “Dingin nih, baju gue basah semua. Kalo gue gak ngerokok, bisa mati beku gue di sini!” lelaki itu berucap dengan sebal. Udara di Malang terlebih saat hujan seperti ini benar - benar tidak ada duanya. Ia kini benar - benar merindukan kasur dan selimut tebal yang ada di kamar kosannya. “Kasian Kakeknya tau! Nanti kalau Kakeknya sakit gimana!” Gadis itu masih kukuh melarang lelaki yag tak dikenalnya itu merokok. Sesungguhnya, kegiatan ceramah mengenai rokok seperti ini sudah seringkali ia lakukan, tentu saja kepada kakaknya. Lelaki itu berdecak sekali, lalu mengangkat penutup helmnya dengan kesal. Ia menatap gadis manis yang setengah terbengong itu dengan kening berkerut dalam. Lelaki itu, Adam Saputra. Siswa kelas tiga SMA yang tengah pusing menghadapi Ujian Nasional. Kepalanya sudah penuh dengan rangkaian soal setelah pulang dari tempat les. Dan sekarang ia harus terjebak di pelataran toko dengan seorang gadis keras kepala yang dengan seenaknya melarangnya untuk merokok. Adam mengamati gadis yang tingginya tak sampai mencapai dagunya itu. Ia baru tersadar bahwa gadis itu memiliki paras yang terlampau manis, sangat manis malah. Warna matanya coklat terang dan tatapan galak itu membuat Adam mau tidak mau menggunakan punggung tangannya untuk menyembunyikan senyum di bibirnya. Adam menggadahkan tangannya, meminta gadis itu mengembalikan rokoknya tanpa suara. Lelaki itu menghela napas saat gadis itu menggeleng keras kepala. “Balikin nggak?” ancam Adam yang membuat gadis itu menatap Adam protes. Tunggu dulu, dalam situasi ini bukankah harusnya ia yang protes?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN