Adam menggadahkan tangannya, meminta gadis itu mengembalikan rokoknya tanpa suara. Lelaki itu menghela napas saat gadis itu menggeleng keras kepala. “Balikin nggak?” ancam Adam yang membuat gadis itu menatap Adam protes. Tunggu dulu, dalam situasi ini bukankah harusnya ia yang protes?
“Jangan ngerokok di sini ya?” Aliana terlihat mencoba bernegosiasi.
“Iya balikin dulu,” setuju Adam.
Dengan manik mata yang memicing curiga, Aliana lalu meletakkan kotak rokok itu di tangan Adam yang terasa dingin baginya. “Lihat ya,” perintah Adam pada gadis manis itu.
Adam berjalan ke arah sang kakek dan berjongkok disebelahnya. Aliana membelalakkan matanya saat lelaki itu menawarkan rokok batangan ke arah sang kakek. Dasar kurang ajar! Pekiknya dalam hati. Gadis itu membuka mulutnya lebar saat melihat kakek malah menerima rokok dari lelaki itu dengan wajah bahagia tiada tara. Bahkan lebih bahagia dari pada saat Aliana memberinya uang tadi.
Adam menoleh padanya, mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum penuh kepuasan. Seakan kurang, lelaki itu bahkan menjulurkan lidahnya dengan wajah menyebalkan. Aliana sebal bukan main, gadis itu membuang mukanya saat Adam kembali menghampirinya. Menebarkan cengiran penuh dengan ejekan dan tertawa keras.
“Ngeselin,” desis Aliana.
Adam masih tertawa, “Gue nggak ngerokok loh sekarang,” ucapnya seolah menunjukkan kepada Aliana bahwa ia menepati janjinya.
“Ya! Tapi malah Kakek yang ngerokok! lo tuh bawa penyakit doang!” kesal Aliana.
Adam mengangkat bahunya, lelaki itu lalu melepas helm hitam yang lama - lama terasa berat di kepalanya. Adam mengatur rambutnya sejenak, lelaki itu lalu menatap Aliana yang jelas - jelas menampilkan wajah penuh antisipasi. “Anak mana?” tanya Adam dengan niat baik untuk saling mengenal, kata lainnya adalah modus.
Aliana hanya mendengus, menatap lurus kedepan dan tidak menggubris ucapan lelaki itu. Adam tersenyum masam, namun bukan Adam namanya kalau mudah menyerah. “Anak mana? Anak mana? Anak mana?” ulang Adam terus hingga membuat Aliana menatapnya dengan tatapan penuh dengan kekesalan.
“Tiga, di rumah!” jawab Aliana cepat. Telinga gadis itu seakan berdenging mendengar serentetan pertanyaan lelaki asing yang hanya mengulang kata yang sama.
“Apanya yang tiga dirumah? Emang ada kota yang namanya tiga di rumah ya?” tanya Adam kebingungan.
Aliana memutar bola matanya lelah, “Tadi lo tanya, anak di manakan? Nah, itu jawaban gue!” jutek Aliana.
Adam tersenyum geli, gadis ini benar - benar sesuatu! Jadi ia kira Adam akan percaya bahwa gadis seimut dia sudah memiliki tiga anak, yang benar saja!
“Asal Malang apa luar Malang? Kayaknya dari Jabodetabek ya?” tanyanya lagi penuh rasa ingin tahu.
“Kepo!” jawab Aliana bahkan tanpa mau repot - repot menoleh ke arah lelaki itu.
Mendengar jawaban singkat gadis manis itu lantas tak membuat Adam berhenti bertanya. Lelaki itu malah begitu bersemangat sekan ingin tahu jawaban aneh apalagi yang akan gadis itu lontarkan. “Lo masih SMA ya? Apa SMP? Sekolah di mana? Ke sini ngapain?” rentet Adam tanpa jeda.
Aliana melirik lelaki yang harus ia akui memang termasuk tampan itu. Ditambah lagi rambut setengah basah itu seakan membuat lelaki asing itu nampak begitu menawan. “Cari suami!” jawabnya asal. Berharap dengan berbohong mengenai statusnya lelaki itu tidak lagi mengganggunya.
Lelaki itu malah terkikik geli, membuat Aliana mendesis tidak suka. “Suaminya kemana?” tanya Adam masih dengan senyum gelinya. “Oh! Jangan - jangan lo kabur dari rumah karena ngebet pengen nikah. Tapi karena nggak ada yang mau jadi nekat ke sini buat cari suami?” goda Adam yang sukses membuat Aliana menatapnya tidak terima.
Gadis itu lalu menghela napas, mencoba menstabilkan emosinya. Abaikan - abaikan! Batinnya meyakinkan diri.
“Atau suaminya lagi kabur? Gue bantuin nyari deh…” goda Adam lagi tak puas dengan reaksi Aliana yang hanya diam.
Aliana memutar otaknya, lalu memandang Adam dengan pandangan penuh penilaian. “Tau Kecamatan Sukun?” tanya Aliana setengah hati. Agaknya harga diri gadis itu terlalu tinggi untuk meminta bantuan dari lelaki menyebalkan di sampingnya.
“Tau,” jawab Adam singkat. Lelaki itu nampaknya begitu menikmati reaksi Aliana yang mendadak berubah menatapnya dengan pandangan mata berbinar.
“Bisa kasih tau jalannya ke arah mana? Gue harus naik angkot gitu ya? Atau naik ojek aja?” tanya Aliana seolah melupakan kekesalannya.
“Nama lo siapa?” bukannya menjawab, Adam malah balik bertanya.
“Jawab dulu!” sahut Aliana.
“Jawab dulu,” ulang Adam dengan menyebalkan.
Aliana mendesis kesal, “Chelsea!” jawabnya asal dengan menyebutkan nama idolanya. “Jadi Sukun itu di mana?”
“Chelsea? Chealsea Olivia?” tanya Adam mengabaikan pertanyaan Aliana sebelumnya.
“Ya! Jadi Sukun itu di mana?” Aliana berucap dengan begitu tidak sabar.
“Kenalannya yang beneran dong,” protes Adam yang tahu betul jika cewek di depannya tengah membohongi dirinya.
“Yaudah kalo gak mau kasih tau, gue bisa cari sendiri kok!” Aliana mengangkat dagunya dan memandang lurus kedepan. Mengabaikan tatapan cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu.
“Yaudah, karena nama lo Chelsea Olivia gue jadi Glen Alinskie aja,” jawab Adam dengan menyebalkan. Seolah mengejek kebohongan gadis itu.
“Oke terserah, jadi Glen…. Bisa tunjukin arah ke Kecamatan Sukun?” tanya Aliana yang mati - matian mencoba untuk bersabar.
“Kebetulan gue juga mau ke sana, kontrakan gue ada diaerah sana. Mau bareng sekalian Chelsea?” tanya Adam dengan sengaja menekankan nama yang ia yakini palsu itu.
Gadis itu nampak berpikir, baru setengah jam yang lalu ibunya berceramah tentang bahaya orang asing. “Nggak deh, mending tunjukin aja gue harus naik apa.”
“Naik itu - tuuh…” Adam menunjuk motor besarnya sembari menahan senyum jahil.
“Ogah ah! Mending naik ojek deh!” tolak Aliana mentah - mentah. Cowok yang mengaku bernama Glen itu selalu membuat darahnya naik.
“Alamat lengkapnya apa? Kira aja gue tau, Chelsea.” Lagi - lagi Adam berucap dengan nada yang membuat Aliana ingin sekali memukul kepala lelaki itu.
“Sukun, Candi.” Jawab Aliana dengan kesal.
“g**g berapa?” tanya Adam lagi.
“g**g?” Aliana mengernyitkan keningnya, lalu menggelengkan kepalanya bingung. Ia nekat pergi ke Malang dengan alasan mengikuti perlombaan bahasa terbuka hanya dengan berbekal alamat singkat itu. “Memangnya ada g**g segala? Gue pikir Candi itu udah nama gang.” Jawab Aliana dengan mimik wajah polosnya.
Adam mengusap belakang lehernya. Gadis dihadapannya ini sangat manis, bahkan wajah bingungnya bisa memuat Adam salah tingkah sendiri. Bisa bahaya jika Adam membiarkan gadis manis sepertinya menjelajahi kota Malang sendirian. Bisa - bisa gadis itu diculik lalu dijual ke mucikari, pikir Adam mulai ngelantur.
“Candi itu ada banyak g**g, dari g**g satu sampai g**g enam atau tujuh mungkin. Gak terlalu yakin sih, kalo gue g**g empat.” Jelas Adam yang disimak dengan baik oleh Aliana.
Tujuh g**g, ulang Aliana dalam otaknya. Gadis itu mengangguk - anggukkan kepalanya, tersenyum begitu kecil saat berpikir bahwa ia hanya harus memasuki satu - persatu g**g dan mencari rumah kakaknya.
“Asal lo tau aja, satu g**g di sini gede banget loh. Isinya banyak g**g kecil lagi, dan nggak mungkin kalo lo mau masukin satu persatu,” jelas Adam seolah bisa membaca pemikiran gadis itu. “Cari siapa sih?” tanya Adam pada akhirnya. Lelaki itu tidak bisa lagi membendung rasa penasarannya. Dilihat dari tas ransel besar yang ada di punggungnya, Adam yakin kalau ia berasal dari tempat yang lumayan jauh.
“Suami!” jawab Aliana dengan cemberut. Ia mendadak lesu saat mendengar penjelasan lelaki itu.
“Iya namanya siapa, kali aja gue kenal.” Adam berucap dengan setengah mendesak. “Pernah dengar pepatah kalau dunia itu selebar daun kelor? Jadi, jodoh itu nggak bakalan kemana.”
“Apa hubungannya daun kelor sama jodoh?” Aliana menatap Adam yang lebih tinggi darinya itu dengan pandangan aneh.
“Enggak ada,” jawab Adam santai dan masa bodoh. “Chel, jadi siapa nama suami lo? Gini - gini jaringan gue luas banget di Malang.”
Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, saat mendegar bahwa lelaki itu mengaku memiliki jaringan yang luas. Memangnya lelaki itu kartu provider apa? Atau Aliana nampak menimbang - nimbang, lalu memutuskan untuk menjawab. “Namanya Alan Nestakansavy. Orangnya tinggi, ganteng, dan kalau belum dipotong sekarang rambutnya gondrong.”
“Ciri apaan tuh, di mana - mana kalau belum potong rambut ya rambutnya emang jadi gondrong.” Tungkas Adam mulai gemas. “Fotonya ada nggak?”
Aliana dengen cepat merogoh saku jeansnya, ia memundurkan tubuhnya agak jauh dari Adam hanya agar lelaki itu tidak melihat pola kunci ponselnya. Aliana lalu menunjukkan foto kakak lelakinya yang memang tampan bukan main.
“Kok mukanya mirip lo?” komentar Adam yang membuat Aliana kembali menjauhkan ponselnya.
“Suka suka dong!” balasnya. “Kenal nggak Glen?” lanjut Aliana.
Adam tertawa kecil, mendengar gadis itu memanggilnya dengan nama Glen membuatnya merasa lucu sendiri. “Kirim ke w******p gue sini, nanti gue tanyain di grup temen kelas.” Tutur Adam yang kini sudah mengeluarkan ponselnya.
“Pake bluetooth aja,” putus Aliana yang membuat Adam menatap gadis itu dengan pandangan masam. Oke, upaya modusnya yang pertama gagal!
“Hp gue masih pake infrared jadi kirim whatssap aja,” bohong Adam.
“Kuota gue abis, belum paketan,” jawab Aliana tak mau tertipu oleh kebohongan penuh modus lelaki itu. “Niat bantuin nggak sih?” desak Aliana.
“Iya - iya… udah gue nyalain nih!” sekali lagi, Adam mengamati gadis itu. Iya yakin kalau usia gadis berada di bawahnya.
“Fotonya jangan dibuat macem - macem loh ya. Jangan disebar - sebar juga!” perintah Aliana yang membuat kening Adam berkerut.
“Kalau nggak disebar nggak bakalan ketemukan orangnya?” balas lelaki itu. Padahal Adam sudah berniat mengirim foto lelaki bernama Alan itu ke grup whatssap kelasnya.
Aliana nampak berpikir sejenak, “Emangnya mau disebar di mana?”
“Grup whatssap sekolah,” jawab Adam. Lelaki itu lalu mengernyitkan keningnya, “Siapa namanya tadi?” tanyanya lagi.
“Alan Nestakansavy, kenapa?” Aliana mengamati perubahan wajah lelaki itu dengan seksama.
“Kaya pernah denger, ada temen gue yang pernah cerita nih.” Jelas Adam.
“Siapa? Siapa! Cepat inget - inget!” tanpa sadar Aliana memekik. Gadis itu memasang wajah penuh harap ke arah Adam.
“Bentar,” gumam Adam yang sedang berusaha memeras otaknya. Lelaki itu yakin bahwa ia pernah mendengar nama itu baru - baru ini.
“Please inget please…” racau Aliana yang gemas karena lelaki itu membutuhkan waktu yang lama hanya untuk mengingat. “Beneran tau nggak sih!” ucap Aliana lagi. Gadis itu menatap Adam dengan pandangan tidak percaya, ia menganggap bahwa lelaki itu berbohong hanya untuk memberinya harapan palsu. Dasar lelaki!
“Tau! Yakin deh! Cuma ini otaknya lagi keram gara - gara kelamaan ngerjain soal UN!” bela Adam tak mau dituduh.
“UN?” beo Aliana. “Gue pikir lo tadi anak kuliahan,” lanjutnya.
Adam mengangkat kepalanya bangga, “Berarti wajah gue keren dong ya, udah kaya anak kuliahan?”
“Itu artinya boros Om! Dih!” ejek Aliana sembari menampilkan wajah ilfiel nya.
Adam kicep seketika. Astaga, untung saja gadis itu manis bukan main, kalau tidak sudah Adam kepret dari tadi. “Kalau lo kelas berapa? SMA ya?”
“Dibilangin ke sini lagi nyari suami yang kabur kok. Anak udah tiga nih di rumah.” Jawab Aliana dengan tampang watadosnya.
Adam membatin dalam hati, ini anak kecil sifatnya benar - benar minta dicium. “Sekali aja, jawab pertanyaan gue dengan bener. Bisa?” pinta lelaki itu.
“Iya - iya, maaf… Gue kelas dua SMA.” sahut Aliana dengan malas.
“Namanya aslinya siapa?” tanyanya,
Aliana menggelengkan kepalanya, “Tadi bilang kalo sekali aja kan.” Aliana menampilkan senyum puasnya. “Udah inget apa belum nih?” desak gadis itu lagi.
Adam mendekatkan wajahnya, membuat Aliana memundurkan wajahnya dan menatap lelaki itu tidak suka. “Udah!” jawab Adam yang membuat Aliana tersenyum lebar. Gadis itu menunggu Adam melanjutkan ucapannya, sedangkan lelaki yang sudah menegakkan badannya itu kini malah sibuk memainkan ponselnya.
“Glen ih! Jadi kakak gue di mana?” pekik gadis itu tidak sabar.
Adam tersenyum puas, “Oh, jadi itu kakak lo.” Ucap Adam sembari mengangguk - anggukkan kepalanya senang.
“Jadi gimana!” bentak Aliana yang sudah benar - benar tidak bisa menunggu lagi. Bagaimana tidak, gadis itu sudah setengah tahun tidak bertemu dengan kakaknya.
“Ini nih, gue udah punya alamatnya! Kontrakan kakak lo ada di Candi g**g lima, nomor 12. Temen gue ada yang satu tempat les sama dia, dan rambut kakak lo masih gondrong.”
Aliana mengangguk - anggukkan kepalanya penuh dengan semangat. Gadis itu bahkan bisa merasakan hatinya bergejolak seolah semua kebahagiaan berbondong - bondong datang padanya. “Ayo cepat kita ke sana!” pekik gadis itu.