Chapter 3

1111 Kata
Aliana mengangguk - anggukkan kepalanya penuh dengan semangat. Gadis itu bahkan bisa merasakan hatinya bergejolak seolah semua kebahagiaan berbondong - bondong datang padanya. “Ayo cepat kita ke sana!” pekik gadis itu.             “Masih hujan juga Chel,” tutur Adam yang kini memainkan rintik hujan dengan tangan kanannya.             “Gue ngojek lo deh Glen!  Gue kasih uang lebih kalau sekarang kita berangkat. Lagian juga hujannya nggak terlalu lebat kaya tadi.” putus Aliana seolah lupa jika beberapa saat yang lalu gadis itu menolak tawaran Adam mentah - mentah.             Adam menggeleng - gelengkan kepalanya melihat tingkah gadis itu. Memang benar sih kalau hujannya tidak terlalu deras. Kalau ia sih tidak apa - apa mengingat kalau tubuhnya memang sudah setengah basah. Tapi gadis itu masih kering, dan semua orang juga tahu kalau cewek lebih mudah sakit dari pada cowok. “Tunggu redaan dikit ya?” tawar lelaki itu.             Aliana merenggut, “Yaudah gue naik ojek lain aja! Makasih ya Glen!” putus Aliana yang sudah hampir menerjang hujan. Gadis itu menoleh saat lelaki yang ia kenal dengan nama Glen itu menarik tangannya. Lelaki itu nampak kesal padanya.             “Lo sabar dikit bisa nggak sih!” marah lelaki itu.             “Nggak bisa! Asal lo tau ya, gue tuh udah setengah tahun nggak ketemu sama kakak gue. Dia ngilang tanpa kabar, dan sekarang lo masih suruh gue nunggu?” Aliana berbalik marah. Emosi gadis itu semakin memuncak saat mengingat betapa kacau keluarganya saat kakaknya pergi dari rumah tanpa alasan yang jelas. Tanpa sadar, gadis itu malah meluapkan semua emosi yang tertahan sekian lama kepada Adam, lelaki yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya, matanya memanas dan ia merasa bersalah kepada lelaki itu. “Maaf,” cicitnya. “Nggak seharusnya gue marah sama lo. Tapi gue benar - benar pengen ketemu sama kakak gue.” Aliana sudah hampir menangis, air mata sudah berada di pelupuk matanya. Ia benar - benar menahan tangisnya kali ini, hingga membuat dadanya sesak bukan main. Gadis itu tersentak saat merasakan sebuah tangan dingin di kepalanya, ia lalu mendongak, menatap lelaki yang kini tersenyum kecil penuh kemakluman. “Chelsea jangan nangis ya, okedeh sekarang juga abang Glen anterin,” ucap Adam yang membuat Aliana tertawa kecil saat mendengar ucapan lelaki itu. “Ngeselin,” gumam Aliana dengan senyum sebal di bibirnya.   - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -   Mereka menghambiskan waktu hampir tiga puluh untuk sampai di sebuah rumah kontrakan dengan cat berwarna kusam. Mereka sudah diam di sana selama lima menit, gadis yang sebelumnya ngebet ingin bertemu kakaknya itu sekarang masih betah duduk di jok bagian belakang motor Adam. “Beneran yang ini?” tanya Aliana entah keberapa kalinya. Sebenarnya, gadis itu bukan bertanya karena tidak yakin. Melainkan karena dirinya tiba - tiba merasa tremor untuk bertemu dengan kakaknya. “Iya Chelsea Olivia…” balas Adam dengan sabar. Lelaki itu lalu merogoh saku celananya saat ponselnya berdering nyaring. Adam turun dari motornya, berjalan menjauh dari Aliana setelah memberi isyarat untuk menerima telepon. Aliana mengangguk seadanya, gadis itu lalu kembali menatap murung ke arah rumah dengan pagar hitam di depannya. Gadis itu terbelalak, lalu dengan cepat membalikkan badannya menyerong ke samping saat melihat kakaknya keluar dari rumah. Jantung gadis itu derdentum tak menentu, tangannya bahkan sudah mendingin. Tubuh basahnya yang kedinginan seolah menambah rasa takutnya. Adam kembali mendekat, lelaki itu tau kalau orang dicari gadis itu sedang duduk - duduk di teras rumahnya. “Chelsea, itu kakak lo,” tutur Adam lembut sembari menutupi gadis itu dengan tubuhnya. “Gue nggak bisa lama - lama di sini,” ucap lelaki itu. Aliana menganggukkan kepalanya, lalu turun dari motor Adam tanpa suara. Gadis itu lantas merogoh ransel besarnya guna mengeluarkan dompetnya. “Nggak usah,” tolak Adam dengan menghentikan aktivitas singkat gadis itu. “Kasih nomor telepon aja,” rayu Adam yang membuat Aliana tersenyum kecil, melupakan kegundahan hatinya. “Bentar, gue nggak inget nomor gue,” ucap gadis yang mengambil ponselnya dari dalam ransel. Aliana terdiam, meringis dan menatap Adam dengan pandangan penuh permohonan maaf. “Ponsel gue mati,” ringisnya. Adam menatap gadis itu penuh perhitungan. “Gue bakalan daftar kuliah di Malang, kalau lo udah lulus SMA lo kuliah di sini juga ya,” Adam berucap pelan. “Saat gue ketemu lo lagi, gue bakal tau nama asli lo,” Adam berucap dengan begitu yakin. “Kalau lo tanya nama gue sekarang, gue bakalan jawab kok,” sahut Aliana. Adam menggeleng, lelaki itu masih menampilkan senyuman manisnya. “Dunia itu selebar daun kelor, kalau jodoh nggak bakal kemana.” Aliana tertawa, lelaki ini sangat aneh. “Dasar gila,” kekehnya mendengar ucapan absurd dari lelaki itu. Aliana menghela napas berat, menyemangati dirinya dan kembali membangun tekadnya. “Makasih ya Glen udah mau bantuin gue sampai sini. Beneran nih nggak mau dikasih upah?” “Upahnya nanti gue ambil waktu ketemu lagi deh, dan lo nggak boleh protes,” ucap Adam seenaknya. “Katanya mau ada acara,” usir Aliana tidak langsung yang membuat Adam menatap gadis itu terkejut. Bukankah beberapa saat yang lalu mereka berdua sudah lumayan akrab ya. Mengapa gadis itu jadi garang lagi? “Yaudah, sampai ketemu lagi ya Chelsea,” pamit Adam setelah memakai helm hitamnya. Lelaki itu sudah menyalakan motornya, namun terhenti saat gadis itu kembali memanggilnya. “Kak!” panggilnya yang membuat Adam menolehkan kepalanya cepat. Ada semacam gejolak di hatinya saat gadis itu memanggilnya dengan cara yang berbeda, bukan lagi nama palsu atau semacamnya. “Makasih dan sampai jumpa!” teriak Aliana sembari berjalan cepat memasuki pagar rumah kontrakan kakaknya tanpa permisi. Adam tersenyum, entah kenapa ia jadi malu sendiri. Lelaki itu lalu melihat ke arah rumah di mana gadis dengan ransel besar itu tengah bercakap dengan kakaknya. “Sampai jumpa,” bisiknya untuk terakhir kali sebelum benar - benar menarik gas motornya. Hari itu, Adam seakan benar - benar memiliki alasan mengapa ia harus masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Satu tahun lagi, jika mereka tidak bertemu karena takdir, maka Adam yang akan mencari gadis itu dan menjadikan gadis itu takdirnya. Ada alasan mengapa tidak ada yang mengetahui jalan takdir, mungkin karena Tuhan ingin tahu seberapa besar usahaku untuk menjadikanmu milikku.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN