Tangan Aliana begitu gemetar saat membuka pintu gerbang berwarna hitam tua itu. Ia berjalan msauk dengan langkah lebar dan lantas berhenti saat melihat kakaknya, Alan Nestakansavy berdiri dari duduknya dengan wajah terkejut bukan main. Kini, ia sudah bertemu dengan kakaknya. Lelaki gondrong itu berdiri tepat di depannya dengan jarak dua meter dari tempatnya berdiri.
Bibir Aliana mendadak kelu, hatinya terasa dicengkram kuat namun ada sepercik kelegaan di sana. Kakaknya baik - baik saja, meski nampak sedikit tirus dari terakhir kali ia lihat. Rambut lelaki itu lebih panjang dari sebelumnya, membuat Alan terlihat tidak terawat. Manik mata coklat Aliana sudah panas dan berkaca - kaca. Semua kata yang hendak ia ucapkan tertelan oleh degup jantung dan emosinya sendiri.
“Lana,” ucap Alan dengan tidak percaya.
Aliana berpikir keras, apa yang harus ia ucapkan? Semua hal yang ingin ia ucapkan hilang seketika. Benaknya dipenuhi dengan rasa takut, tentang bagaimana jika kakaknya menolak kedatangannya. Memikirkan hal itu membuat air mata Aliana jatuh di pipinya. Gadis itu menatap kakaknya lama, makin lama tangisannya semakin pecah. Dadanya berkecamuk, kilasan tentang segala hal tentang kakaknya membuat Aliana sedih dan marah. Lelaki itu sangat egois!
Aliana lalu dengan gerakan cepat melepas sepatu kirinya. Melemparkannya dengan sekuat tenaga hingga mengenai kepala kakaknya yang bodoh itu. Ia masih tidak berucap, napasnya tersengal karena isak tangis. Saat Alan berjalan mendekatinya sembari mengusap kepalanya yang terkena lemparan Aliana, gadis itu dengan cepat kembali melepas sepatu kanannya dan melempar kakaknya lagi. Dan tepat, sepertinya Tuhan mendukung ulah Aliana yang satu ini.
“Lana, lo pengen bikin kakak gagar otak ya?” ucap Alan yang mengelus kepalanya yang terasa berdenyut.
“Mati aja sekalian!” teriak Aliana disela isak tangisnya.
Alan terdiam, lelaki itu menatap adiknya dengan sedih. Sudah setengah tahun ia tidak bertemu dengan adiknya yang manis itu. Rasa rindu di hatinya seolah membuncah tak terkira. Alan berjalan dengan langkah pelan, menghampiri adiknya yang kini sesenggukan karena menangis. “Lan—aauuuww!” Alan berteriak keras saat adiknya itu dengan cepat menarik kaosnya dan menonjok sisi wajahnya. Dan seolah belum puas, Aliana bahkan menjitak kepanya yang masih menunduk dengan sangat keras.
“Kakak b******k! Kurang ajar! Egois! Jahat! Nggak punya hati!” teriak Aliana yang kini beralih menjabak rambut gondrong kakanya dengan brutal. Alan berteriak - teriak kesakitan sembari memegangi rambutnya. Lelaki itu mendadak menyesal telah mendekati adiknya yang kalau sudah marah, garangnya melebihi singa yang sedang datang bulan.
“Ampun Lan! Ampun! Bisa rontok ini rambut!” Alan berteriak memohon ampun. Lelaki itu bisa merasakan kebas dan perih di rambutnya. Astaga, adiknya yang satu ini memang luar biasa!
Alina lalu melepaskan rambut kakaknya dengan tidak rela. Napas gadis itu tersengal hebat, Aliana lalu mengusap pipinya dengan kasar. Gadis itu menatap kakaknya dengan sengit. “Kenapa kakak pergi dari rumah!” tanya Aliana dengan tatapan membunuhnya.
Alan membuka tutup mulutnya, kelapa lelaki itu masih berdenyut akibat ulah dari adik manisnya itu. Lelaki itu lalu menghela napas, menutup matanya barang sebentar sebelum kembali menatap Aliana. “Lo tau sendiri, gue cuma bikin malu keluarga,” jawabnya dengan menatap adiknya penuh rasa sesal. Hatinya selalu sakit karena rasa bersalah ketika melihat keluarganya. Ia malu, ia kecewa pada dirinya sendiri hingga berpikir bahwa lebih baik ia tidak berada di sana.
“Kakak nggak pernah bikin malu keluarga,” sahut Aliana dengan yakin.
Alan tersenyum penuh ejekan, tidak mempercayai ucapan gadis itu. “Lo lupa? Gue itu mantan narapidana! Gue nggak berguna dan cuma bikin malu kalian semua! Bukannya ini lebih baik? Kalian nggak bakalan jadi bahan gunjingan lagi! Gue sela—”
“Bodoh!” potong Aliana dengan marah. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!” teriak gadis itu penuh dengan emosi. “Kakak itu orang bodoh yang paling egois! Lana tau, kakak pergi dari rumah bukan karena nggak mau bikin malu keluarga. Kakak cuma malu sama diri kakak sendiri, saking malunya sampai memilih kabur dan hidup di tempat orang - orang yang nggak tau masa lalu kakak!”
Ucapan Aliana seolah menohok d**a Alan, lelaki itu merasa ditampar oleh kata - kata adiknya. Sebagian dari dirinya membenarkan ucapan Aliana, dan hal itu membuat lelaki itu tersadar bahwa mungkin saja langkahnya telah salah.
“Jangan jadikan kami sebagai alasan, karena kami nggak pernah malu. Kami nggak sempat berpikir tetang rasa malu ataupun anggapan orang lain. Yang ada dipikiran Papa dan Mama itu cuma kakak, kesedihan kakak, dan luka kakak.” Aliana berucap dengan hampir tersedak isak tangisnya. “Mereka udah cukup sedih lihat kondisi kakak di penjara, mereka marah lihat kakak dipidana meski nggak bersalah. Apa kakak nggak lihat gimana bahagianya mereka saat kakak pulang?” Aliana menggeleng lemah, lalu kembali melanjutkan. “Ah, kakak emang nggak pernah lihat, karena yang kakak lihat cuma diri kakak sendiri sama cewek yang berusaha kakak lindungi itu. Keluarga emang udah nggak penting lagi buat kakak, benar bukan?” Aliana menatap kakaknya dengan penuh kecewa.
Bukan, bukan seperti itu, batin Alan. Lelaki itu jelas tidak berpikir bahwa keluarga tidak ada artinya. Sebaliknya, keluarga begitu berharga bagi Alan hingga membuat lelaki itu ketakukan untuk melukai mereka. Dan tanpa sadar malah semakin melukai mereka dengan dirinya yang memilih kabur dari rumah.
“Tenang aja, gue ke sini bukan buat mohon - mohon ke kakak agar pulang kok,” Aliana menelan ludahnya dengan gugup, jelas sekali bahwa ia tengah membohongi dirinya sendiri. “Karena sekuat apapun gue memohon kalau kakak emang udah nggak peduli sama keluarga, semua bakal percuma.” Aliana mendongakkan kepalanya, “Tapi kalau kakak pengen pulang, kakak pasti tau kalau jalan buat pulang masih sama.” Aliana lalu menghela napas pelan, berusaha meredam segala hal yang berkecamuk dalam hatinya.
Gadis itu lalu berjalan melewati kakaknya untuk mengambil sepatu sneakers yang sebelumnya digunakan s*****a untuk menghukum kakaknya. Aliana baru merasa kedinginan saat gadis itu tengah memakai sepatunya. Sebelumnya ia sama sekali tidak dapat merasakan hawa dingin yang menusuk kulit itu. Mungkin karena efek kegugupan yang melingkupi dirinya.
“Lan,” gadis itu tersentak saat kakaknya memanggil dirinya yang masih berjongkok dengan untuk memakai sepatu kirinya. “Bisa… anterin gue buat pulang?” Alan berucap dengan pelan dan tidak yakin. Namun, Aliana bisa mendengar kata - kata itu.
Aliana membalikkan tubuhnya, lalu berjalan dengan cepat tidak peduli dengan kakinya yang hanya menggunakna satu sepatu. Ia menubruk kakaknya dengan keras, memeluk lelaki itu dengan kuat dan penuh kerinduan. Air matanya kembali tumpah. Kakaknya akan pulang, lelaki itu akan kembali ke rumah. “Bisa! Lana pasti anterin kakak pulang,” jawab Aliana yang membuat Alan tersenyum penuh kelegaan. Sungguh, Alan sangat merindukan adik manisnya ini. “Kak,” panggil Aliana yang semakin mengeratkan pelukannya. “Gue kehujanan, dingin banget sumpah,” lirih gadis itu yang membuat Alan langsung kalang kabut.
“Kok bisa sampe kehujanan sih! Lo ke sini naik apa? Sama siapa?” pekik Alan yang kemudian menyeret adiknya untuk masuk kekontrakan dan mulai mengoceh perihal kecerobohan Aliana. Seketika itu juga hati Aliana seakan dipenuhi dengan kehangatan yang selama ini sempat menghilang dari hidupnya.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tangan Alan sangat dingin, lelaki itu mengumpat dalam hati saat malah mendengar kikikan geli dari gadis tengil yang kini berdiri di sampingnya. Bukan malah menenangkan dirinya yang tengah dilanda ketakukan, Aliana malah terlihat begitu puas melihat kesengsaraanya.
“Kakak baik banget, pulang bawa minyak. Itu minyak diwajah bisa dibuat nggoreng pisang tuh,” goda Aliana yang membuat Alan mendelik tajam.
Pagi ini keduanya sudah berdiri di depan pintu rumah mereka di Jakarta. Mereka sudah berdiri di sana lebih dari sepuluh menit, dan tangan Aliana sudah gatal bukan main ingin membuka pintu. Namun kakak lelaki yang sedang terkena tremor itu selalu menghalanginya.
“Lo nanti dukung gue ya, kalau Mama bawa pisau gue pinjem kamar lo buat sembunyi,” pinta Alan dengan wajah pucatnya. Dari pada kepada Papa - nya, Alan justru lebih takut dengan keganasan Nyonya Nia yang menurun seratus persen ke adiknya.
“Ogah!” jawab Aliana dengan menyebalkan.
“Kok gitu! Lo harusnya dukung kakak dong! Lihat nih, tangan kakak sampai dingin kayak gini!” Alan menggenggam erat tangan adiknya, membuat Aliana tersenyum geli melihat tingkah kakaknya yang ternyata tidak berubah.
“Salah sendiri kenapa kabur segala! Sekarang terima konsekuensinya!” Aliana dengan cepat melepas genggaman tangannya dari sang kakak, lalu membuka pintu yang memang tidak dikunci itu. “Ma! Pa! Kak Alan pulang!” teriaknya yang membuat Alan membelalakkan matanya horror.
Lelaki itu membuka mulutnya lebar saat melihat Papa - nya setengah berlari keruang tamu dengan membawa ikat pinggang, lalu mulutnya semakin lebar saat melihat Mama - nya yang menyusul dengan pisau dapur di tangannya. “Mampus,” gumam Alan yang hanya pasrah saat Aliana menariknya kedalam rumah.
Mereka terdiam beberapa saat sebelum Alan membuka suaranya, “Gue pulang,” gumamnya sembari menundukkan kepalanya dalam. Alan terlonjak kaget saat Ibunya, Nia Ratnasari langsung memeluk drinyanya. Hati Alan menghangat sekaligus merasa bersalah saat wanita paruh baya itu menangis sesenggukan sembari memeluknya. Alan membalas pelukan ibunya, lelaki itu lalu mendongak menatap Ayah - nya yang masih berdiri di tempatnya. Anggara Nestakansavy memang selalu berusaha untuk bersikap tenang. Ia adalah sosok Ayah yang sabar bagi anak - anaknya. Namun, kini tangan lelaki berkepala lima itu bergetar sembari memegang ikat pinggang yang tadi mau dipakainya.
“Selamat datang,” ucap Anggara dengan senyum kecil di bibirnya.
Alan ingin sekali menangis seketika itu juga. Matanya sudah panas dan berkaca - kaca, namun egonya sebagai seorang pria seakan melarangnya untuk menangis.
“Ayo berpelukan!” Aliana berteriak girang sembari menarik Ayahnya yang gengsinya luar biasa itu. Gadis manis itu dengan senyum lebar membawa Ayahnya mendekat dan dengan paksaan Aliana serta delikan tajam istrinya akhirnya mereka berempat berpelukan bersama.
“Memalukan, teletubis aja kalah,” gumam Anggara yang membuat keempatnya lantas tertawa dengan perasaan campur aduk. Kebahagiaan inilah yang mereka tunggu, kebahagiaan inilah yang hilang selama satu tahun terakhir, dan datang kembali pada mereka.
“Ma, Pa, maafin Alan ya,” ucap Alan setelah mereka melepas acara berpelukannya.
Nia menganggukan kepalanya, lalu mengangkat pisau dapur yang masih dipegangnya. “Sekarang Mama maafin, tapi nanti kamu harus cerita panjang lebar ke Mama. Dan kalau sampai kamu pergi lagi, Mama bakalan potong burung kamu biar nggak bisa terbang!” ancam Nia yang membuat Alan meringis ngeri.
Alan lalu menolehkan kepalanya ke arah Anggara yang kini sibuk memakai ikat pinggangnya. “Papa, nggak marah?” tanya Alan dengan hati - hati.
Lelaki tua itu mendongak, menepuk bahu anaknya dengan kelegaan yang tercetak jelas di wajahnya. “Hati - hati, jaga burungmu baik - baik,” nasihat Ayah - nya yang membuat Alan tersenyum antara geli dan ngeri.
“Pa, Alan…mau tetap di Malang.” Alan berucap dengan takut - takut. Lelaki itu melirik ke arah Ibunya yang membelalakkan matanya terkejut. “Aku punya usaha café di sana, dan omsetnya lumayan besar. Tahun ini aku juga ada rencana masuk kuliah, aku pengen bikin kalian bangga!” lanjut Alan dengan cepat saat melihat ibunya kembali mengacungkan pisaunya.
Anggara tersenyum senang, lelaki paruh baya itu kembali menepuk bahu anaknya. “Papa tahu, dan Papa selalu bangga sama kamu,” ucapnya yang membuat Alan menatap Ayahnya bingung.
“Papa tahu?” tanya Alan yang hanya dibalas senyuman penuh rahasia oleh Ayahnya.
“Papa tahu?” tanya Aliana yang sendari tadi mengamati interaksi keduanya. “Kok Papa nggak kasih tau Lana sih? Mama tau nggak?” Aliana menatap Ibunya dengan tatapan menuduh.
“Wah! Sepertinya masakan Mama gosong!” ucap Nia yang kemudian kabur menghindari pertanyaan anak bungsunya itu.
Melihat gelagat kedua orangtuanya yang jelas menyembunyikan sesuatu darinya, Aliana langsung berang. “Berarti Cuma aku dong yang nggak tau! Tega banget ih! Ngeselin!” rengek Aliana yang baru saja mengetahui fakta mengejutkan itu. “Kalo gitu gue ikut Kak Alan aja deh ke Malang! Mama sama Papa ngeselin!” pekik ALiana yang tidak terima bahwa orangtua - nya menyembunyikan informasi tentang Alan padanya.
“Kamukan masih sekolah Lan,” sahut Alan yang membuat Aliana semakin marah.
“Bodoh amat!” balas Aliana dengan kesal.
“Lana...” tegur Anggara yang membuat Aliana mengerucutkan bibirnya kesal.
“Yaudah kalo gitu tahun depan!” ralat Aliana yang membuat ketiganya tersenyum geli. “Sekarang Lana mau mogok makan!” ancam Aliana yang masih sangat kesal itu. Gadis itu berencana membuat mereka semua meminta maaf dan merasa bersalah padanya.
“Lana sayang, Mama masak kepiting kesukaan kamu nih,” ucap Nia yang sendari tadi mendengarkan percakapan mereka dari dapur.
“Waaah! Kepiting!” teriak Aliana yang langsung melesat ke arah dapur, meninggalkan Alan dan Anggara yang terkekeh geli melihat tingah anak paling muda di keluarganya itu.