Chapter 6

1940 Kata
Ospek jurusan merupakan kegiatan yang wajib dijalani semua mahasiswa baru. Berbeda dengan Masa Orientasi Siswa, kegiatan ini lebih bersahabat dan lebih banyak dilakukan didalam ruangan untuk mendengarkan penjelasan seputar kampus. Aliana menatap lurus ke arah LCD yang menampilkan profil jurusan sastra. Gadis itu kini duduk di kursi merah paling samping, tersentak saat merasakan ponsel dalam saku roknya bergetar. Aliana membatin, dia lupa mematikan ponselnya. Gadis itu menoleh ke arah para panitia PL yang nampak ikut memerhatikan layar LCD. “Siapa yang telepon,” bisik Aliana begitu penasaran. Gadis itu sesekali melirik ke arah saku roknya yang masih terasa geli karena getaran ponselnya. Dengan memberanikan diri dan berbekal doa dalam hati, Aliana mulai meraba saku roknya. Ia sesekali melirik ke arah para panitia PL dan sedikit mengeluarkan ponselnya untuk mengintip siapa yang meneleponnya. “Ketahuan…” bisik suara pelan yang membuat Aliana mendadak jantungan. Gadis itu kini memejamkan matanya, meringis dan mengumpat dalam hati. Dengan perlahan dan takut - takut, Aliana mendongak menatap panitia PL yang sudah berdiri di sampingnya namun agak kebelakang. Lelaki itu lagi, batin Aliana nelangsa. Dalam hati, Aliana menyumpah begitu banyak kepada lelaki yang tadi sempat berkata kalau namanya Adam. Lelaki itu menatapnya garang, namun nampak menyebalkan di mata Aliana. Adam mengulurkan tangannya, meminta ponsel Aliana tanpa suara. Dan dibalas gerutuan tanpa suara dan rasa enggan yang kental dari Aliana. Gadis itu memberikan ponselnya dengan wajah cemberut, membuat Adam menatapnya geli di balik wajah dingin yang wajib ia tampilkan. Sesungguhnya, Adam begitu ingin tersenyum manis dan menunjukkan kepada gadis itu betapa tampan wajahnya. Tetapi, posisinya sebagai salah satu panitia PL mengharamkannya melakukan hal itu. Adam menatap ponsel Aliana, lalu menoleh ke arah Aliana yang kini menampilkan wajah memelasnya saat tahu ponselnya kembali bergetar. “Ada telpon,” ucap Aliana tanpa suara. Adam mengangkat alisnya, lalu menggeleng tegas. Lelaki itu mengingat dengan jelas bahwa ponsel harus dimatikan, sedangkan gadis itu sudah melanggarnya. Jadi, tidak mungkin panitia PL mengijinkan Aliana mengangkat ponsel. Adam mengeraskan hatinya, sungguh cobaan yang berat melihat wajah manis Aliana memelas seperti itu ke arahnya. “Mama,” ucap Adam memberi tahu, lalu melenggang pergi dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. Meninggalkan Aliana yang menatap Adam cemas, namun juga lega karena terbebas dari rasa penasarannya. Aliana menghela napas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada seorang dosen yang nampak menjelaskan tentang peraturan kampus. Aliana cukup cemas, ia ketahuan melanggar peraturan, sepertinya ia akan terkena masalah. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Adam menekan dadanya, mengelus beberapa kali lalu menekan tombol hijau di ponsel yang baru saja ia sita. Adam kini berada di sebelah gedung, tempat yang cukup sepi untuk mengangkat telepon dari calon mertuanya. Lelaki itu menelan ludahnya gugup saat mendengar suara khas seorang ibu dari seberang telponnya. “Hallo, Lana…” sapa suara yang diyakini Adam adalah ibu Aliana. Adam berdehem kecil, “Maaf Bu, Lana sedang ada kegiatan ospek. Jadi tidak bisa mengangkat telepon ibu.” Jelas Adam dengan suara rendah yang sopan. Ibu Aliana terdiam sejenak, lalu kembali bersuara. “Terus ini siapa?” tanyanya sedikit khawatir. “Saya salah satu panitia yang bertanggung jawab Bu. Nama saya Adam Saputra, saya anak baik dan pasti bisa menjaga Lana.” ucap Adam mulai ngelantur. Lelaki itu tersadar saat mendengar suara tawa dari seberang ponsel Aliana. Adam meringis saat mengetahui kebodohannya, “Maaf Bu, hanya bercanda…” lanjut Adam malu - malu. Ibu Aliana masih tertawa dengan renyah, “Nak Adam suka sama Lana?” tanyanya terdengar ramah. Membuat Adam begitu senang seakan mendapatkan lampu hijau dari calon mertuanya. “Iya Bu! Saya sukaaa sekali, mohon doa restunya.” Balas Adam dengan rasa bahagia bukan main. Lelaki itu tiba - tiba bersyukur memiliki mulut manis yang kadang sedikit susah di rem itu. “Ya kalau Nak Adam memang baik dan Lana suka, ibu tidak masalah. Tolong jaga Lana ya…” pinta Ibu Aliana. “Pasti Bu!” balas Adam semangat sembari tersenyum - senyum senang. “Apa ada yang mau disampaikan ke Lana Bu?” “Ini barang Lana ada yang ketinggalan di rumah, ospeknya sampai jam berapa ya Nak Adam?” “Sampai jam dua siang Bu.” Jawab Adam sopan. “Kalau begitu nanti saja Ibu telpon lagi, sudah ya Nak Adam…” balas Ibu Aliana dengan lembut. “Iya Bu, terima kasih…” Adam menundukkan kepalanya tanpa sadar, seolah menunjukkan kesopanannya meskipun orang itu tidak bisa melihatnya. Adam lalu menjauhkan ponsel putih itu dari telingnya, menatapnya lama lalu tersenyum - senyum kecil. Sungguh situasi yang unik, Adam bahkan sudah merasa dekat dengan Ibu Aliana, sementara anaknya baru tahu namanya tadi pagi. Setidaknya, Adam sudah mengantongi satu doa restu. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Aliana menatap beberapa mahasiswa baru yang nampak berbaris karena melanggar peraturan. Ia menunduk sebentar, tangannya berkeringat dingin karena takut saat melihat beberapa panitia PL membentak - bentak dengan s***s. Seharusnya, Aliana ikut dalam barisan mahasiswa yang bermasalah itu, ia lalu menoleh ke arah Stella yang menatapnya aneh. “Lo kenapa?” tanya gadis itu yang sebelumnya tidak tahu menahu tentang ponsel Aliana yang disita panitia. Mereka sendari pagi berjauhan tempat duduk dan baru bisa bertemu saat selesai ospek hari pertama. “Stell, lo duluan aja ya. Gue harus menghadapi para monster dulu, doakan gue selamat!” Aliana berucap dengan nada ingin menangisnya, membuat Stella makin tidak mengerti.             “Lo kena hukum?” Stella bertanya dengan was - was. Dan dibalas anggukan melas oleh gadis manis itu. “Lo ceroboh banget sih!” marah Stella yang sudah hapal tentang kecerobohan Aliana. Melihat sahabatnya yang nampak begitu menyedihkan, Stella lantas menepuk - nepuk bahu Aliana, “Yang sabar ya Lana, semua akan berlalu...”             Aliana mengangguk - angguk kecil, lalu berjalan dengan lunglai ke arah barisan mahasiswa yang menundukkan kepalanya dalam. Menerima bentakan dari panitia PL dengan sukarela.             “Aduh!” Aliana mengaduh saat menabrak seseorang yang tiba - tiba berdiri di depannya. Ia lalu mendongak, dan mengumpat dalam hati saat melihat wajah kakak tingkat menyebalkan yang tadi menyita HP - nya.             “Lo ikut gue!” ujar Adam sinis kepada Aliana.             Gadis itu hanya mengangguk dan diam mengekori Adam yang kini membawa ke samping gedung, tempat yang cukup sepi dan jauh dari kumpulan panitia PL yang tadi. Aliana mengerutkan keningnya, berbagai pikiran buruk tentang Adam mulai berkeliaran di pikirannya. “Ngapain ke sini kak?” tanya Aliana bingung.             Adam lalu duduk di lantai yang cukup bersih itu, jika sudah masuk hari biasa, tempat ini biasa menjadi tongkrongannya. “Lo milih di sini apa ikut golongan mahasiswa bermasalah yang di depan gedung tadi?” tanya Adam tidak santai.             Aliana yang masih berdiri di depannya menelan ludah, entah kenapa kedua opsi yang adam tawarkan tidak ada yang enak. Aliana berpikir sejenak, sendari tadi pagi Adam tidak pernah membentaknya, mungkin lebih baik dihukum satu orang dari pada banyak orang bukan.             “Sama kakak aja deh,” gumam Aliana.             Adam menahan senyumnya, lalu berdehem dan mengeluarkan ponsel putih milik Aliana. “Hukumannya mudah, lo cuma perlu menjawab semua pertannyaan gue,” ucap Adam tegas sembari memainkan ponsel Aliana di tangannya. “Siapa nama ibu kamu?”             Aliana mengerutkan keningnya, lalu menjawab dengan bingung, “Nia Ratnasari.”             “Nama Ayah kamu?”             “Anggara Nestakansavy.”             Adam terdiam sejenak, “Kok nama lo Niakansavy?” tanya Adam bingung.             Aliana ikutan bingung, kenapa hukuman dari Adam absurd begini? “Karena menurut Mama Nestakansavy terlalu jantan, jadi Nesta diganti Nia, nama Mama.” Jelas Aliana.             Adam mengangguk paham, lalu bergumam pelan. “Ibu lo baik,” katanya.             “Lo kenal mama gue?” ucap Aliana yang mendegar gumaman Adam meski samar. Lelaki itu langsung terlihat gelagapan, terlebih saat mendapat tatapan curiga dari Aliana.             “Enggak, maksud gue Mama lo hebat, bahkan ia sampai ganti nama keluarga cuma karena menurutnya terlalu jantan.” Jawab Adam dengan sedikit terbata.             Aliana memanyunkan bibirnya, menatap Adam dengan pandangan mata menyipit. “Mama gue mikir sangat tidak adil kalau semua anaknya hanya menyandang nama Ayah, sedangkan yang hamilkan Mama, lalu yang ngelahirin juga Mama. Papa cuma nyumbang enaknya doang, jadi Mama ngotot minta nama gue kaya gitu,” ucap Aliana sembari terkekeh. Gadis itu tiba - tiba mengingat bagaimana Mamanya bercerita dengan semangat empat lima sembari melempar tatapan judes ke arah Ayahnya.             Adam ikut tersenyum, dari cerita Aliana lelaki itu tau bahwa gadis manis itu tumbuh di lingkungan yang sangat menyenangkan. Tetapi ada sedikit hal yang mengusik pikirannya, “Tapi, lo nggak sependapat sama Mama lo kan?” tanya Adam dengan hati - hati.             Gadis manis itu kembali memusatkan perhatiannya kerah Adam, kakinya ia goyangkan kecil karena mulai pegal berdiri dari tadi. “Apanya?” tanyanya bingung.             “Duduk sini,” Adam menepuk lantai kosong di sampingnyam, mendesah lega dalam hati karena gadis itu menurutinya tanpa banyak bertanya. “Maksud gue, lo nggak sependapat sama Mama lo tentang merubah nama keluarga Ayah lo kan,” gumam Adam takut gadis itu tersinggung.             Aliana menatap Adam dengan bingung, jujur saja pertanyaan Adam sangat aneh menurutnya. Tetapi ini hukuman, dan Aliana harus menjawab semua pertanyaan Adam. “Tentu saja gue setuju. Bayangkan saja, wanita hamil sembilan bulan, lalu melahirkan dengan sangat menyakitkan, lalu anaknya hanya mengikuti nama sang Ayah. Sangat tidak adil bukan?”             Adam terdiam, wajahnya nampak berpikir dalam, ia lalu kembali bergumam. “Lalu, nama anak kita siapa dong?”             “Hah?” teriak Aliana yang kini sama sekali tidak paham maksud gumaman Adam itu. Gadis itu lalu mengangkat bahunya, tidak peduli dengan kakak tingkat yang menurutnya tidak terlalu normal itu.             “Oke, lupakan yang barusan,” ralat Adam dengan cepat. “Lo masih ingat gue?” tanya Adam dengan was - was. Kalau sampai gadis itu tidak mengingat Adam, maka ia harus menghukum gadis itu sampai mengingatnya.             “Lupa,” jawab Aliana dengan menyebalkan. Gadis itu menatap Adam yang menatapnya tidak percaya. Sangat menyenangkan bisa membalas perlakuan menyebalkan kakak PL yang tadi sangat judes padanya.             “Beneran lupa?” tanya Adam tidak percaya.             Aliana menganggukkan kepalanya dengan yakin.             “Kenal Chelsea sama Glen nggak?” tanya Adam berusaha memancing ingatan gadis itu.             “Kenal dong, mereka kan artis,” jawab Aliana dengan polos. “Kak hukumannya udah dong, gue harus telpon mamague nih,” mohon Aliana yang membuat Adam pundung bukan main. Lelaki itu lalu dengan tidak rela mengembalikan ponsel Aliana. Dalam hati, Adam berjanji akan membuat gadis itu tidak pernah melupakannya lagi.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN