Bab 13. Dia Yang Tidak Kukenal 1

1096 Kata
# Leo meraih jemari Wulan dan menggenggamnya. "Bagaimana pertemuan dengan Citra?"tanya Leo. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju ke tempat kerja Leo. "Ya, seperti yang kau bilang. Dia agen yang bagus. Dia mengerti apa yang aku inginkan hanya dengan sedikit petunjuk," balas Wulan. Leo tersenyum. "Bersiaplah, kita sudah akan tiba sebentar lagi," ujar Leo kemudian. Wulan hanya diam. Ini kedua kalinya dia datang ke klinik milik Leo sekaligus tempat Leo bekerja. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan gedung kaca berlantai empat itu, Wulan mengerjap pelan. Leo mematikan mesin mobil, lalu menoleh. “Kau siap?” suaranya lembut, tidak memaksa. Wulan menarik napas pelan. “Untuk apa? Kau bilang ini hanya sebentar.” Leo tersenyum tipis. “Aku ingin memperkenalkanmu secara resmi pada beberapa orang.” “Beberapa orang?” Wulan mengulang, sorot matanya menyipit. “Sekarang?” “Mereka perlu tahu siapa dirimu agar tidak ada lagi menatapmu dengan sorot penasaran seperti beberapa waktu lalu ketika kau mendadak muncul.” Leo membuka sabuk pengamannya. “Dan aku seharusnya melakukan ini hari itu. Klinik ini milikku dan aku sendiri yang membangunnya yang berarti tempat ini adalah milikmu juga karena kau istriku.” Hati Wulan terasa berdebar, entah kenapa. Bukan karena gugup tapilebih seperti rasa heran dan sedikit kewaspadaan. Leo yang dia kenal tidak pernah bersikap seperti ini. Mereka turun bersama. Leo berjalan sedikit duluan untuk membukakan pintu samping gedung, bukan pintu utama yang selalu dipakai pasien. Wulan memperhatikan itu diam-diam. “Pintu staf?” tanyanya. Leo mengangguk dan tersenyum cerah. # Di dalam, udara lebih sejuk dan wangi antiseptik menyengat hidung. Wulan mengamati dinding putih bersih dan papan nama kecil yang menunjukkan ruang administrasi, laboratorium kecil, dan ruang perawatan. Beberapa staf masih tampak terkejut saat melihat Leo datang bersama Wulan. Salah satu perawat senior, Santi, yang paling terkenal galak terhadap dokter muda sekalipun, sempat berhenti memegang berkas. Matanya membesar sedikit. “Dokter Leo ...ah maksudku, Dokter dan Nyonya Jie?” Dia hampir kehilangan kata-kata. Leo menoleh pada Wulan sejenak sebelum menjawab. “Kau sedang cuti saat istriku datang beberapa waktu lalu tapi sepertinya kau sudah mendapat informasi paling update.” Kata itu jatuh dengan berat dan kehangatan yang tak bisa ditepis. Suasana ruangan langsung berubah. Beberapa staf mencuri pandang ke arah Wulan meski mereka sudah pernah melihat Wulan sebelumnya, beberapa saling sikut dengan mata berbinar seakan ingin tahu lebih banyak tentang Wulan. Sementara Wulan tetap terlihat tenang. “Senang bertemu dengan kalian. Beberapa waktu lalu aku tidak sempat menyapa kalian dengan benar. Aku harap sekarang belum terlalu terlambat untuk saling menyapa,” ucap Wulan sopan sambil tersenyum tipis. Santi akhirnya tersadar dan cepat menghampiri, mengulurkan tangan ramah. “Tidak Nyonya... ” "Panggil saja Wulan," potong Wulan. Santi terkekeh. "Ah benar. Wulan. Kami hanya sedikit kaget karena kami tidak pernah menyangka kalau dokter Leo sudah menikah. Itu sungguh membuat semua orang terkejut terlebih karena Anda sangat cantik," ujar Santi terus terang. “Ya. Bukan sesuatu yang sering kubicarakan dengan kalian tapi aku juga tidak bermaksud menutupinya. Sekarang aku dengan senang hati memperkenalkan istriku pada kalian,” sahut Leo kemudian.. Para staf tersenyum ramah menyambut Wulan. Salah seorang staff senior lain yang Wulan ingat pernah berbicara dengannya saat dia datang pertama kali kini menyapanya dengan sopan. "Senang melihat Anda kembali," ucapnya. Wulan mengangguk sopan. "Terima kasih," balasnya. # Leo membawa Wulan berkeliling klinik. Setiap ia menjelaskan sesuatu, nada suaranya berubah lebih sabar, lebih hangat. “Yang ini ruang tindakan kecil. Aku biasanya menghabiskan pagi di sini.” “Kau lihat yang itu? Ruang administrasi. Mereka paling sibuk kalau akhir bulan.” “Itu tempat steril alat. Jangan masuk tanpa masker, aturannya ketat.” Wulan mengangguk, mengikuti langkahnya. Dari samping, ia menyimak betapa lembutnya Leo memperlakukan setiap orang, betapa dihormatinya ia oleh para staf. Tidak ada aura dingin seperti yang Wulan ingat dari Leo yang dia temui di kehidupan pertamanya. Wulan tidak mengerti kenapa Leo berubah begitu drastis di masa ini. “Kenapa baru sekarang?” tanya Wulan tiba-tiba saat mereka berhenti di dekat pantry kecil. Leo menoleh, sedikit terkejut. “Wulan?” “Dua tahun kau membuatku tinggal jauh darimu sejak kecelakaan itu dan kau tidak pernah mengajakku ke sini. Kalau bukan karena Derry, aku tidak akan tahu tempat ini,” nada suara Wulan datar, tapi matanya waspada. Leo terdiam. Tangannya sempat mengepal kecil, lalu melemas. “Kau masih beradaptasi dan kau tidak ingat apa pun. Aku tidak ingin orang-orang mengganggumu dengan rasa ingin tahu mereka.” “Kau bukan ingin menyembunyikanku?” tanya Wulan dengan nada menyelidik. Leo mengangkat wajah, menatapnya lama. “Tidak. Aku melindungi privasimu.” “Perlindungan dan penyembunyian beda tipis, Leo.” Untuk pertama kalinya sejak tadi, senyum kecil yang samar penuh rasa pedih muncul di sudut mata Leo. “Maafkan aku. Sungguh. Aku menyesal kalau itu membuatmu merasa tidak dilihat.” Wulan terdiam. Kalimat itu, sayangnya, menusuk tempat yang tepat di hati Wulan. Leo menghela napas pelan. “Aku berjanji akan bersikap lebih baik lagi sekarang. Kalau aku salah, beritahu aku.” “Apa kau berpikir memperkenalkanku ke semua orang adalah bagian dari caramu memperbaiki kesalahanmu?” “Tidak, tapi aku ingin mencoba,” balas Leo. # Mereka kembali berjalan. Kali ini Wulan memperhatikan cara Leo memperlambat langkah setiap kali ia tertinggal setengah langkah. Cara ia memastikan Wulan tidak tersentuh trolley obat. Cara ia menahan pintu agar tidak membentur bahunya. Hal-hal kecil. Hal-hal sederhana yang sekarang terasa seperti jebakan emosional. Saat mereka melewati ruang konsultasi, seorang perawat muda bernama Hana tiba-tiba menghampiri Leo. “Dokter, mohon maaf, jadwal konsultasi sore sedikit berubah. Dokter Reihan minta—” Hana terhenti saat melihat Wulan. Matanya membesar. “Oh! Ini… istri dokter? Semua orang membicarakan Anda. Saya senang bisa bertemu langsung dengan Anda,” ujar Hana sambil beralih memperkenalkan dirinya pada Wulan dengan sopan. Leo mengangguk santai. “Ya dan Hana, aku sudah menyerahkan semuanya pada dokter Reihan dan Santi,” ucapnya. Wulan menyambut uluran tangan Hana dan kembali tersenyum lembut. "Panggil saya Wulan." Hana tampak sedikit memerah malu dan salah tingkah. Dia membuat kesalahan dengan tidak melakukan konfirmasi pada Santi terlebih dahulu. Dia lupa kalau dokter Leo masih dalam izin cuti. “Ah baiklah dokter. Dan Nyo... maksud saya Wulan. Kami sangat senang bisa berkenalan dengan Anda. Tapi Anda benar-benar harus mengawasi dokter Leo, ada banyak pasien wanita yang diam-diam menaruh hati pada dokter Leo,” ujar Hana Wulan mengangkat alis tipis dan melirik Leo. "Jangan percaya padanya. Aku setia padamu," sanggah Leo cepat. Dia kemudian berbalik menatap Hana dengan galak. "Hana?!" Nada suaranya penuh peringatan. Hana tertawa. "Tenang saja Wulan. Itu benar. Dokter Leo tidak pernah melihat mereka semua sedikitpun," balas Hana akhirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN