Dokter Leonardo Kurniawan Jie terbangun seperti seseorang yang baru ditarik dari batas kematian.
Napasnya memburu, memukul-mukul dadanya dari dalam.
Jemarinya meraih udara, seakan masih berusaha meloloskan diri dari cahaya silau truk yang melaju ke arahnya menjadi hal terakhir yang dia lihat.
Lalu logikanya perlahan mulai mengambil alih.
Dia tidak berada di jalan. Tidak ada serpihan kaca. Tidak ada bau bensin. Tidak ada rasa tulang yang retak.
Sebaliknya, tubuhnya normal dan sehat. Dia berada di sebuah kamar yang sudah lama ditinggalkan.
Ini adalah kamar apartemen lamanya. Tempat yang dia tempati ketika menyelesaikan fellowship keduanya di Harvard Medical School – Massachusetts General Hospital
Dokter Leo mematung. Dunia berputar pelan, seperti dua realitas saling bertabrakan di kepalanya.
Dia kemudian menatap jendela besar dengan embun tipis khas musim dingin.
Meja kerjanya yang selalu saja penuh jurnal medis masih berdiri di sudut ruangan. Ini sama seperti yang dia ingat. Ini benar-benar di masa lalu. Dia melintasi waktu untuk kembali ke tubuhnya yang lama.
Leo kemudian mengedarkan padangannya dan menemukan sebuah kalender kumal dengan tanggal yang membuat jantungnya terasa seperti akan berhenti berdetak.
Tanggal itu.
Hari itu.
Hari ketika Nayaka mengalami kecelakaan.
Seketika, tubuh Leo kehilangan panasnya.
Sebagai seorang dokter bedah plastik, ia tidak pernah bisa melupakan laporan medis kecelakaan Nayaka dan dia tahu apa konsekuensinya jika hal itu dibiarkan atau terlambat mendapat penanganan.
Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Fraktur orbita. Patah mandibula. Avulsi wajah. Cedera yang begitu parah hingga dia tahu, secara profesional, bahwa hidup Nayaka akan hancur setelah mengalami kecelakaan tersebut.
Banyak cedera bisa disembuhkan, tetapi trauma wajah seperti itu sama saja dengan kehancuran identitas seseorang.
Dan kecelakaan itu akan terjadi hari ini. Dua belas jam dari sekarang.
Leo terjatuh kembali ke sisi tempat tidur. Napasnya memburu, hampir tersedak oleh kenyataan baru yang menutupnya seperti kabut gelap.
“Tidak mungkin. Kenapa harus di masa ini? Kenapa sekarang?” Dia serakah. Setidaknya kalau Tuhan mengembalikannya ke masa lalu, kembalikan dia ke masa ketika Nayaka akan menikah dengan pria jahat itu agar dia bisa memperjuangkannya sekali lagi. Atau setidaknya ke masa lebih jauh sebelum hari ini agar dia bisa mencegah kecelakaan yang akan menimpa Nayaka.
Tapi kalender tidak berbohong. Tubuh mudanya, wajahnya yang lebih segar… semua menunjukkan hal yang sama.
Dia kembali ke masa lalu tapi di waktu yang tidak dia harapkan.
Hari ini adalah hari saat dunia Nayaka hancur.
Gemuruh panik menghantam d**a Leo, memaksa tubuhnya untuk bergerak.
Dia meraih ponsel lamanya, model lama yang dulu dia gunakan sebelum teknologi berkembang jauh. Jemarinya menekan nomor yang dia ingat lebih baik daripada ulang tahunnya sendiri. Nomor ponsel Nayaka.
Nada sambung terdengar.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Naya, tolong angkat.” Leo berbisik dengan suara gemetar dan putus asa. Bagaimanapun caranya dia harus mencegah kecelakaan itu. Dia tidak boleh membiarkan kecelakaan itu terjadi dan menimpa Nayaka.
“Angkat… angkat…”
Tidak ada jawaban.
Leo menekan ulang.
Tidak diangkat.
Dia menelepon lagi.
Masih tidak diangkat.
Gagang ponsel hampir tergelincir dari genggamannya ketika rasa takut merayap seperti ular dingin di punggungnya.
Kalau seperti ini, masa lalu akan berulang seperti sebelumnya. Nayaka akan mengalami penderitaan dan hinaan yang sama. Nayaka akan terpukul lagi dan Leo tidak bisa membayangkan hal itu terjadi sekali lagi.
Dia tahu jamnya.
Dia tahu kapan kecelakaan itu terjadi.
Dia tahu seberapa fatal luka yang akan dialami Nayaka akibat kecelakaan itu.
Dan Leo tahu dengan pasti kalau waktu tidak lagi menghitung hari—melainkan jam.
Leo mengambil jaketnya tanpa sempat mengatur napas.
Dia meraih paspor, dompet dengan terburu-buru dan kemudian berlari keluar apartemen dengan langkah tidak stabil, seperti seseorang yang baru saja bangun dari kubur dan menemukan dunia sudah terbakar menuju kiamat.
Di luar, angin Massachusetts menerpa wajahnya. Tapi dia tidak merasakan apa pun lagi. Fokusnya hanya pada Nayaka.
Hanya ada satu kalimat yang terus bergema dalam kepalanya:
Hari ini wajah Nayaka akan hancur.
Hari ini hidup Nayaka akan berubah selamanya dan dia tidak tidak akan pernah membiarkan semua itu terjadi lagi.
Taksi melaju kencang menuju Logan International Airport. Leo memegangi ponselnya seperti nyawa kedua. Dia menekan nomor Nayaka, mencoba menghubunginya lagi.
Nada sambung.
“Angkat, Naya…”
dia menekan panggilan berulang ke nomor yang sama lagi.
“Ayo, kumohon.”
Nada sambung lagi.
Sementara otaknya menghitung waktu serta mencoba memprediksi berbagai kemungkinan.
Mungkin Nayaka sedang dalam perjalanan.
Mungkin ponselnya tertinggal.
Mungkin sinyal sedang buruk.
Atau…
Leo membeku saat mengingat sesuatu.
"Suamiku mengendalikan segalanya Leo. Ponselku lebih sering ada di tangannya. Bahkan panggilan ini tidak aman untukku."
Sekarang semuanya jelas. Ponsel Nayaka kemungkinan besar ada di tangan suaminya.
Leo menutup matanya, menahan mual.
"Sial!" Dia mengepalkan tangannya menahan amarah.
Sopir taksi meliriknya dengan khawatir.
Ketika taksi berhenti di bandara, Leo keluar sebelum benar-benar berhenti, berlari masuk melewati pintu otomatis.
Hawa hangat bandara menyambutnya, tapi kemudian layar informasi penerbangan tampil seperti vonis mati baginya.
ALL FLIGHTS DELAYED
EXTREME WEATHER ALERT
Leo berhenti. Dunianya kembali membeku.
Dia mencoba bertanya ke counter.
Dia memohon.
Dia menggertakkan gigi mengancam hingga membuat petugas keamanan turun tangan dan hampir melemparkannya keluar bandara.
Leo membuat suaranya pecah karena panik.
Jawabannya tetap sama
Tidak ada pesawat hari ini.
Leo menatap layar besar itu seperti seseorang yang baru saja diinjak oleh takdir untuk kedua kalinya.
Tubuhnya melemah dan dia terduduk di kursi bandara yang dingin. Nafasnya seperti tercekat. Denting pengumuman bandara seakan menelan harapannya bulat-bulat.
Dirinya hidup lagi.
Dia diberi kesempatan kedua.
Tapi apa artinya semua itu jika dia tetap tidak bisa melindungi Nayaka?
Leo menunduk, kedua tangannya menutup wajahnya. Dia menangis. Tidak peduli meski orang-orang kini menatapnya heran. Sebagian kasihan dan sebagian mencemooh.
Dia kembali.
Dia diberi waktu namun tidak diberi jalan.
Badai di luar menampar kaca bandara, seakan dunia menegaskan bahwa takdir tidak berubah hanya karena seseorang memohonnya.
Napas Leo bergetar.
“Aku tidak kembali hanya untuk melihatmu hancur lagi, Naya…” bisiknya, dengan suara yang sarat akan penyesalan.
“Aku tidak ingin hidup kalau kau tidak ada. Aku akan...”
Dia berhenti berbicara.
Tekad yang baru muncul di matanya, perlahan namun jelas.
Meski dunia menutup langit sekalipun dia akan menemukan cara.
Nayaka tidak akan menjalani neraka itu.
Tidak kali ini.
Tidak selama Leo masih bernafas.