BAB I : Bunga Sakura Terakhir di Tokyo
Gerimis turun perlahan di distrik Minato, Tokyo, membasahi pelataran batu di kediaman klan Toda yang biasanya sunyi.
Namun, pagi ini, suasana terasa jauh lebih berat dari sekedar mendung.
Di halaman depan mansion bergaya tradisional itu, berbaris puluhan pria paruh baya berjas hitam rapi. Wajah mereka keras, dihiasi bekas luka, dan tato yang tersembunyi di balik kemeja, tanda kesetiaan seumur hidup pada Jinju Toda. Namun, saat ini, mata-mata yang biasanya tajam dan mengintimidasi itu tampak berkaca-kaca.
Pintu besar terbuka. Zora Toda melangkah keluar.
Gadis itu tampak seperti boneka porselen yang salah tempat di tengah kumpulan gangster paruh baya.
Rambutnya yang berwarna auburn, yang sengaja dia cat seperti warna rambut ibunya yang berdarah Rusia, jatuh bergelombang lembut hingga punggung, dengan poni yang menutupi dahinya, membingkai wajah yang tampak lugu.
Matanya yang berwarna cokelat tampak sayu dan tenang, menyiratkan kedalaman yang jarang dimiliki remaja seusianya.
Ia mengenakan mantel trench coat beige panjang yang sopan, menutupi postur tubuhnya yang tegap namun anggun.
"Ojou-sama ..." Salah satu pria berbadan besar, Tanaka, terisak pelan sambil memegang sapu tangan.
"Tolong jaga diri Anda baik-baik di negeri orang. Jangan lupa makan. Kalau ada yang mengganggu, telepon kami, kami akan berenang ke Rusia saat itu juga."
Zora tersenyum tipis, sebuah senyuman santun yang menenangkan. Ia berjalan mendekat, lalu membungkuk hormat kepada mereka, sebuah gestur yang membuat para pria itu semakin terharu.
"Paman Tanaka, Paman Sato, dan semuanya," suara Zora terdengar lembut namun tegas.
"Terima kasih atas penjagaan kalian selama Ayah tidak ada. Saya akan baik-baik saja. Tolong jaga rumah ini sampai saya kembali."
"Tentu saja, Nona! Dengan nyawa kami!" seru mereka serempak, suara bariton mereka menggema memecah keheningan pagi.
Di samping mobil sedan hitam yang mesinnya sudah menyala, berdiri Okada. Pria itu adalah tangan kanan Jinju Toda selama tiga puluh tahun. Wajahnya kaku, rambutnya mulai memutih, dan ia tidak ikut menangis seperti bawahan lainnya. Ia memegang payung hitam, menaungi Zora.
"Sudah waktunya, Zora," kata Okada, suaranya datar namun penuh hormat. Tidak ada suffix 'sama' atau 'chan' yang berlebihan, karena Okada adalah satu-satunya yang memandangnya sebagai penerus, bukan sekadar putri kecil yang harus dimanja.
Zora mengangguk. Ia menatap rumah masa kecilnya sekali lagi. Ayahnya dipenjara, dan Tokyo tidak lagi aman baginya. Rusia adalah tanah kelahiran ibunya, tempat di mana koneksi lama masih tersisa.
"Bagaimana dengan paman Davide?" tanya Zora saat ia masuk ke dalam mobil.
Okada menutup pintu mobil, lalu duduk di kursi depan di samping sopir. Mobil perlahan melaju meninggalkan gerbang, diikuti pandangan sedih para 'paman' Yakuza di belakang.
"Sudah diatur," jawab Okada tanpa menoleh ke belakang.
"Tuan Davide akan menjemput anda secara pribadi. Dia sudah menyiapkan dokumen kepindahan anda ke Voronova Institute."
Zora menatap jalanan Tokyo yang basah dari balik kaca jendela. Voronova Institute, Sekolah elit di pinggiran Rusia. Ia pernah mendengar rumor tentang tempat itu, sebuah kandang singa berkedok institusi pendidikan.
"Ayah anda berpesan," lanjut Okada, matanya menatap Zora lewat spion tengah. "Di sana, anda bukan hanya murid. Anda adalah representasi klan Toda. Jangan menunduk pada siapa pun, tapi jangan menarik pelatuk jika tidak berniat membunuh."
Zora menyentuh tas busur panah yang diletakkan di sampingnya. Wajah polosnya tidak berubah, tatapan matanya tetap tenang dan sayu, namun ada kilatan dingin yang tersembunyi di sana.
"Aku mengerti, Paman Okada," jawabnya pelan. "Aku tidak akan mempermalukan klan Toda."
Mobil hitam itu melesat membelah hujan, membawa Zora jauh dari kehangatan para pelindungnya, menuju dinginnya Rusia di mana hierarki kekuasaan ditentukan oleh darah dan uang.