Lagi-lagi mereka bertemu Erick. Devon merasa kali ini kesabarannya akan habis. Harusnya tadi ia membayar penuh semua agenda snorkeling di sini agar hanya ia, Davina, dan petugas saja yang berada di sini. Namun permintaannya tidak bisa dikabulkan karena beberapa pelanggan resor sudah memesan paket snorkeling mereka untuk hari ini dan tidak bersedia jika dibatalkan.
Devon bahkan menawarkan uang ganti rugi, namun ada satu pelanggan yang tetap menolak. Dan pelanggan tersebut adalah Erick. Devon semakin jengkel ketika ia malah mendapatkan saran jika ingin mendapat privasi, Devon harus melakukannya jauh-jauh hari.
Ia benar-benar kesal dan berencana membeli resor ini dalam waktu dekat agar bisa memberi pelajaran pada para petugas yang menolaknya. Tapi meskipun begitu, akhirnya ia pun terpaksa merelakan agenda snorkelingnya bersama Davina bercampur dengan orang lain karena Davina tidak ingin rencana mereka kembali batal.
Dengan kata lain, hari ini mereka akan snorkeling bersama Erick dan empat perempuan berisik yang selalu dikawal pria itu.
Meskipun kesal, Devon sedikit bersyukur karena Davina akhirnya berhasil ia bujuk untuk mengganti bikini yang sudah gadis itu rencanakan untuk dipakai dengan pakaian renang yang lebih sopan. Pakaian renang Davina kini adalah setelah one piece yang menutupi leher, dengan celana pendek di atas lutut. Pakaian ini sangat... sangat jauh lebih baik daripada bikini merah yang pagi tadi Davina tunjukkan padanya. Andai Davina tetap memaksa mengenakan bikini tersebut, bisa dipastikan mata Erick dan para petugas di sini akan melompat keluar dari rongganya.
“Lihat, mereka saja pakai bikini,” keluh Davina yang berdiri di sebelah Devon dengan muka cemberut. Matanya menatap Erisa dan teman-temannya yang mengenakan bikini dan berjalan melenggak-lenggok dengan sengaja untuk menarik perhatian para laki-laki yang ada di sana.
“Jadi kamu mau pamer tanda itu lagi ke mereka seperti semalam?” goda Devon.
“Nggak!” tukas Davina. “Tahu nggak, tanda ini benar-benar lama hilangnya. Bisa-bisa baru benar-benar lenyap saat kita sampai di Jakarta nanti.”
Devon berusaha menahan senyum. “Bagus dong, jadi kamu nggak perlu mengenakan pakaian terbuka di tempat umum.”
“Itu rencana kamu, kan,” Davina menatap Devon dengan tatapan menuduh.
“Apa?” tanya Devon dengan ekspresi pura-pura polos.
“Kamu pasti sengaja ninggalin jejak begini biar aku selalu pakai pakaian tertutup,” jelas Davina.
“Jangan asal nuduh begitu dong.” Devon lalu merendahkan kepala dan berbisik di telinga Davina. “Malam itu kan kita sama-sama hanyut dalam gairah.”
Davina seketika merasakan pipinya terasa panas. Mengingat kejadian malam itu jelas akan membuatnya merasa malu.
“T-tapi kan harusnya nggak sampai begini,” ujar Davina membela diri.
“Aku pun nggak tahu kalau akan begini jadinya,” ujar Devon. “Yang aku ingat hanyalah gimana caranya aku dan kamu sama-sama enak malam itu.”
Davina membuang muka. “Stop! Kenapa sih jadi bahas hal seperti itu di sini?” Sebisa mungkin Davina berusaha memasang ekspresi datar. Meski rasanya saat ini ia ingin sekali menyembunyikan wajah karena malu.
Devon terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di sekitar pundak Davina. “Omong-omong aku punya hadiah kejutan untuk kamu nanti.”
“Apa?” Davina seketika kembali menoleh dengan antusias.
Devon tersenyum penuh rahasia. “Kalau sekarang aku kasih tahu, artinya bukan kejutan lagi dong.”
Davina menggigit bibir. “Iya juga sih,” ujarnya setuju. “Tapi kenapa kamu sebut itu hadiah? Kamu mau ngasih aku hadiah?”
“Iya,” Devon mengangguk. “Karena kamu sudah bersedia mengganti bikini tadi pagi dengan pakaian renang ini. Aku ingin memberi kamu hadiah sebagai balasannya.”
Mata Davina tampak berbinar. “Wah, ternyata suamiku adalah pria baik hati dan penuh pengertian,” ujarnya sambil mengusap pipi Devon dengan sebelah tangan.
“I am,” ujar Devon tersenyum. “Kenapa baru sadar sekarang?”
Di ujung dermaga, Erick, Erina dan teman-temannya menatap Devon dan Davina yang masih asik berbincang sambil saling berangkulan. Keduanya melangkah sangat lambat, membuat kesal Erina dan yang lainnya.
“Semua sudah siap masuk ke dalam air, tapi mereka masih saja mesra-mesraan di sana,” ujar Dita sinis.
“Namanya juga pasangan yang lagi bulan madu,” ujar Erick.
“Ya tapi mau sampai kapan kita nungguin mereka?” ujar Erina. “Ini aja udah pada mau masuk ke air, tapi terhambat gara-gara nungguin mereka aja. Mana petugas yang mau manggilin mereka malah ngerasa segan lagi.”
“Setuju,” sahut Rania dan Jenny.
Erick geleng-geleng mendengar ocehan Erina dan teman-temannya. “Ya sudah, biar aku yang panggil mereka.” Erick pun melangkah mendekati Devon dan Davina.
Di sisi lainnya, sudut mata Devon menangkap sosok Erick yang melangkah mendekati mereka. Kesempatan bagus, pikirnya.
Lalu, sebelum Erick memanggil mereka, Devon sudah merendahkan kembali kepalanya dan mencium Davina, membuat langkah kaki Erick seketika terhenti.
***
“Kenapa sih harus tutup mata segala?” tanya Davina.
Sore ini Devon mengajaknya pergi ke suatu tempat, namun dengan mata yang harus tertutup.
“Kamu nggak berencana bunuh aku dan menghanyutkan jasadku ke laut kan?”
Devon terkekeh mendengar ocehan Davina. “Percaya saja sama aku,” ujar Devon lalu menuntun Davina turun dari mobil golf yang tadi membawa mereka.
“Dev, ini mau kemana sih?” tanya Davina penasaran. Dari bawah alas kakinya, Davina bisa merasakan yang kini ia pijak adalah hamparan pasir. Aroma laut yang tertiup angin sore juga menyambutnya di sini. Mereka pasti sedang berada di tepi pantai, tebaknya.
“Awas, hati-hati sama langkah kamu.” Alih-alih menjawab, Devon malah fokus membimbing Davina untuk melangkah.
Meski penasaran, Davina tetap melangkah hati-hati. Hingga akhirnya mereka berhenti, dan Devon menyentuh pundaknya.
“Siap?” tanya pria itu.
Davina mengangguk, sementara hatinya berdebar. Perlahan, Devon melepaskan syal yang sejak mereka meninggalkan vila tadi telah menutupi mata Davina, dan membuat Davina akhirnya bisa melihat apa yang kini ada di hadapannya.
Pada ujung pandangan mereka di samudera Hindia, matahari sore sudah mulai mencapai permukaan air. Benar-benar pemandangan yang indah.
Davina terdiam beberapa saat, menikmati pemandangan yang tersaji di depan mereka, sebelum akhirnya ia memutar tubuh untuk menatap Devon.
Akan tetapi, sebelum Davina menatap Devon, matanya menangkap sesuatu di sisi pantai. Tepatnya, di sisi kiri mereka saat ini, ada tenda empat tiang dengan dekorasi kain putih yang dikombinasikan dengan bunga-bunga dan dedaunan tropis. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja persegi bertaplak putih dengan dua kursi di tiap-tiap sisinya. Tenda tersebut dikelilingi lilin-lilin yang berada di dalam gelas kaca, yang dibentuk seperti hati dan mengelilingi tenda tersebut.
Davina kemudian melirik Devon yang masih berdiri di belakangnya.
“Surpriseee....” ujar pria itu sambil tersenyum.
Davina mendadak merasa ingin menangis. Ia tahu ini pasti akibat hormon bulanannya. Ia akan selalu sensitif seperti ini tiap kali mendekati periode datang bulan. Tapi... Ia juga tidak menyangka kalau Devon ternyata bisa seromantis ini.
“Kamu suka?” tanya Devon lagi.
“J-jadi ini kejutannya?” tanya Davina terbata.
Devon mengangguk sebagai jawaban.
“Ini...Indah sekali,” ujar Davina. “Makasih ya.”
Devon mengangguk. “Sama-sama," ujarnya sambil merapikan rambut Davina yang tertiup angin. "Sekarang kamu lihat ke sana dulu, mataharinya sebentar lagi terbenam.” Devon menunjuk ke arah lautan dengan dagunya.
Davina pun membalik badan dan kembali menatap laut, sementara Devon yang ada di belakangnya melingkarkan lengan ke tubuh Davina.
Kali ini, persis seperti yang pernah ia bayangkan, seiring dengan matahari terbenam, ada pelukan hangat di belakang tubuhnya. Devon benar-benar memeluknya dengan erat. Tidak ada rasa jengkel seperti sebelumnya. Kali ini pelukan Devon terasa sangat nyaman.
Davina menangkupkan tangannya ke atas lengan Devon yang kini melingkari perutnya. Sejujurnya ia masih bingung dengan perubahan sikap Devon yang benar-benar berbalik seratus delapan puluh derajat seperti yang terjadi belakangan ini.
Pengaturan baru yang mereka buat di sini benar-benar di luar prediksi. Davina masih berusaha memahami Devon yang baru ini.
Yang bersamanya saat ini bukanlah Devon yang arogan dan bermulut jahat. Yang saat ini bersamanya adalah Devon yang ternyata punya sisi lain yang terasa lebih manusiawi. Devon yang bersamanya ini adalah pria baik hati dan penuh pengertian, meski terkadang cukup usil dan senang sekali mengerjainya. Namun, Devon yang ini adalah Devon yang Davina suka. Kalau mereka terus seperti ini, tampaknya kehidupan rumah tangga mereka nanti akan terasa sangat menyenangkan.
Sayangnya, Davina belum pernah belajar bahwa setelah ketenangan yang mencurigakan ini, badai besar akan segera datang.
Ia masih terlalu muda untuk tahu bahwa akan ada badai yang terjadi setelah munculnya ketenangan yang tak wajar.
***
Bersambung....