Eps 7 Liontin Kesayangan

1216 Kata
Dengan diantar mobil hotel, aku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah ternyata Mama dan Tante sedang pergi entah kemana. Akhirnya kuputuskan untuk mengganti sepatuku dengan sepatu kets karena aku ingin mengunjungi tebing sebelum sunset. Dengan berbekal botol air minum, kulangkahkan kakiku menelusuri jalan setapak yang menanjak dan berbatuan. Sesekali aku berhenti untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Karena banyak batu kerikil dan rumput liar, langkahku tidak bisa cepat. Namun tiba di puncak kulihat waktu sunset belum tiba, aku masih punya waktu untuk mencari tempat menunggu yang strategis. Dari kejauhan kulihat ada batu yang menjorok ke tebing. Setelah memastikan batu itu kokoh kedudukannya, pelahan aku berjalan menuju ujung batu dan duduk diatasnya. Kutarik napas dalam dalam lalu menghembuskannya dengan cepat. Kehangatan sinar matahari masih dapat kurasakan, semilir angin sejuk bertiup memainkan rambutku. Flash Back "Selamat Ulang Tahun Nova." Lintang mencium pipiku. Mataku terbelak kaget, tapi senang. "Sudah tiga belas tahun ya umurmu, semoga tahun tahun berikutnya aku masih dapat mengucapkan selamat ulang tahun padamu." "Harus dong...orang lain boleh lupa dengan tanggal ulang tahunku, tapi kamu tidak boleh." Lintang memberikan sebuah kotak kecil padaku. "Apaan ya??? boleh kubuka sekarang?" Lintang menganggukan kepalanya. Lalu kubuka perlahan dan mataku terbelak melihat sebuah liontin berbentuk bintang. "Bagusnya...terima kasih Lintang." mataku berbinar binar menatapnya. "Kubantu memasangkannya." Lintang mengambil liontin dan memasangkannya di leherku. "Kuharap liontin ini dapat menemanimu dan mengingatkanmu padaku." "Lintang, kamu memang mau kemana? ucapanmu dari tadi kok seperti mau meninggalkanku sih?" tanyaku sedikit heran. Tidak biasanya Lintang mengatakan hal seperti itu. Lintang hanya menggelengkan kepala dan kembali memandangi bintang yang bertaburan di langit "Ketika kamu ingin bertemu denganku, lihatlah bintang dilangit, percayalah aku juga sedang memikirkanmu." Flash back end Setitik air mata jatuh membasahi pipiku, dadaku sesak menahan rindu selama tiga belas tahun. "Lintang...aku sedang menatap bintang di tempat kita. Dimanapun kamu berada sekarang, kuharap kita masih memandangi bintang yang sama." *** Perlahan kubuka pintu rumah, dan dengan langkah gontai langsung menuju kamarku. Kupandangi pantulan wajahku dari cermin di dalam kamar, mataku terlihat sembab akibat menangis. Setelah mandi, aku turun ke dapur mencari timun untuk mengkompres mata. Kalau sampai terlihat Papa Mama bisa panjang urusannya. "Nova, nyari apa?" "Ihh..ngagetin orang aja lo!" kutepuk tepuk dadaku. "Ngelamun terus sih...gak denger gue manggil sampai dua kali tadi." Leo mendekatiku dan menatap mataku. "Nov, sampai kapan Lo begini terus? Lo udah coba nyari dia?" Disentuh kelopak mataku perlahan. Sepertinya dia bisa menebak perasaanku saat ini. Kugelengkan kepalaku perlahan. "Udah gue coba googling dan sosmed. Gak ada yang namanya Lintang. Lagian itu sudah tiga belas tahun lalu, wajahnya sudah berubah kali Kak. Lo waktu umur 16 tahun dengan sekarang juga sudah beda." lihirku. Leo menarik napas dalam dalam, terlihat dia sedikit kesal dengan sikapku. "Di Jakarta memang gak ada cowok yang menarik perhatian lo?" Leo menarik kursi meja makan dan menyenderkan punggungnya. "Apa perlu gue kenalin Nov? Biar lo bisa lupain dia?" Memang sejak kecil aku dan Leo tidak memiliki rahasia apa pun. Segalanya aku dapat bercerita padanya, termasuk urusan hati. Kuputuskan untuk menceritakan tentang Wlliam dan meminta pendapatnya. "Gimana menurut Lo? Sebagai cowok nih...atau gue hanya ke GR an aja?" Leo diam, keningnya sedikit berkerut. "Feeling gue sih dia suka sama lo. Kalau cowok gak suka, dia gak bakal repot repot mau nelepon, ngajak jalan. Kecuali...." kini aku penasaran dengan kelanjutan ucapannya. "Kecuali dia cowok hidung belang." Wajahnya terlihat mengeras. "Dia kakaknya Dewi sahabatku. Seharusnya sih bukan hidung belang. Hahahah..." aku tertawa terbahak bahak mendengar tuduhannya. "Kalau gue ke Jakarta, kenalin ya. Gue mau tau seperti apa orangnya. Gak selamat kalau ada cowok yang bikin adik gue merana!" "Dia juga kemarin bilang kalau ke sini mau ketemu sama kalian kok..." "Baguslah, itu tandanya dia serius mau menjalin hubungan sama lo. Sudah malam, tidur deh. Besok jam berapa pesawat ke Jakarta?" "Jam 2 siang" "Ok, besok gue yang antar ke bandara. Tidurlah" Leo membalikkan tubuhnya dan berjalan menaiki tangga. *** Biasanya hari Senin manjadi hari yang tidak menyenangkan bagiku, tapi semanjak ada Alex berubah. Senin dan Kamis adalah hari yang kutunggu tunggu sekarang karena aku akan bertemu dengannya walaupun hanya sebentar saja. Seperti hari ini, dari pagi aku sudah nongkrong di kampus menunggu kelas Ekonomi jam 10, Aku sudah membawa pie s**u oleh oleh dari Bali yang rencananya akan kuberikan untuk Dewi dan Alex. "Dew, gue bawain lo pie s**u ya...ntar jangan lupa ada di mobil gue." "Trus..itu di kantong plastik apaan? Bukan buat gue?" tangannya menunjukkan kantong plastik yang kuletakan di mejaku. "Buat Alex." jawabku santai. "Rel, dia udah tunangan dan mau nikah. Lo masih belum nyerah?" bisiknya karena kelas Alex sudah memulai pelajaran "Memang kasih oleh oleh harus ke orang yang masih single? Dia kemarin udah nganterin gue waktu mobil mogok. Yah..itung itung balas jasalah.." Dewi menaikkan bahunya lalu kembali mengikuti pelajaran. Ketika kulihat Alex hendak keluar kelas, segera kususul langkahnya dan memanggil namanya. "Lex...Lex...tunggu!" Alex menghentikan langkah dan berbalik. Kuberikan kantong berisi pie s**u padanya. "Buat kamu, kemarin aku baru dari Bali." ucapku tersenyum manis padanya. "Ohh..repot repot, thanks ya. Tamara sangat suka pie s**u dari Bali loh." seketika air muka ku berubah, namun kusembunyikan dengan melempar senyumku lagi. "Bagus lah...ini sebagai tanda terima kasih ku kemarin karena sudah merepotkanmu waktu mobilku mogok." "Wah...it's okay...gak ngerepotin kok. Kamu masih ada kelas lagi?" kugelengkan kepalaku "Boleh minta tolong? bisa temani aku membeli hadiah ulang tahun untuk temanku." Dalam hati aku berteriak kegirangan. "Ok." jawabku singkat sambil menyembunyikan senyumku. Sesampainya di Mall, kami langsung menuju ke salah satu department store dan mencari section perhiasan. Dia belum bercerita kadonya untuk siapa dan aku pun tidak mempunyai niat untuk mencari tahu. Yang penting sekarang aku dapat bersama dengan dia saja sudah cukup. "Hm..Lex..kamu mencari kalung, cincin atau giwang ya?" tanyaku sambil melihat lihat perhiasaan yang ada di etalase. "Sebenarnya aku mencari kalung dengan lionting berbentuk bintang untuk sahabatku yang sudah lama tidak kutemui. Mungkin dia juga sudah lupa denganku, tapi entah kenapa beberapa hari belakangan ini aku selalu teringat padanya." Tanpa kusadari kusentuh liontin yang kukenakan dan mendadak teringat Lintang. Namun kutepis memory lamaku dan membantu Alex mencari liontin bintang. "Lex...kalau seperti ini gimana?" tanyaku dan menunjukkan sebuah liontin berbentuk bulan sabit. Alex menggelengkan kepalanya dan kembali melihat lihat koleksi liontin lainnya. "Siang Mbak, bisa dibantu mencari liontin?" seorang wanita pramuniaga menegurku. "Mbak, saya cari liontin berbentuk bintang, apakah ada?" Terlihat Mbak pramuniaganya sedikit bingung. "Ini loh Mbak...lionting nya kira kira mirip seperti ini." kutunjukkan liontin yang kukenakan dari dalam baju yang kukenakan. "Aurel...da..dari mana kamu mendapatkan liontin itu?" teriakan Alex membuatku terkejut dan beberapa pramuniaga memandangi kami. Alex menari liontinku dan secara reflek kudekatkan tubuhku padanya karena takut kalung yang kukenakan putus. "Ini...dari mana kamu dapatkan?" sekali lagi Alex bertanya namun nada suaranya sudah biasa lagi. "A..aku..." belum selesai aku menjawab tiba tiba terdengar suara wanita memanggil nama Alex. "Ma..mara?" reflek Alex menjahuhi tubuhnya dari tubuhku. "Ngapain kamu disini? Dan siapa wanita ini?" wajahnya memerah menahan amarah. Aku hanya diam, sulit menjelaskannya karena memang posisi kami tadi seakan akan Alex hendak menciumku. "Biar kujelaskan Mara." Alex menghampirinya namun Tamara mundur beberapa langkah. "Jangan..jangan dekati aku." Lalu dia membalikan badan berjalan cepat meninggalkan kami yang terpaku. Alex pun mengikuti Tamara dari belakang sambil beberapa kali memanggil namanya. Ketika mereka sudah menghilang, aku baru menyadari bahwa Alex meninggalkanku. Dengan wajah merah aku bergegas meninggalkan tempat itu, malu menyelimuti perasaanku seakan akan aku adalah pelakor. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN