Ting..sebuah pesan masuk ke ponsel ku dari nomor yang tak kukenal. Kubuka pesan itu "Aurel, bisa kita ketemu? Alex." seketika tubuhku sedikit mengigil. Dari mana ia mendapatkan nomorku? Untuk apa dia ingin bertemu? Melihat kejadian kemarin sepertinya aku harus menghindari Alex untuk sementara agar tidak terjadi kesalahpahaman antara dia dan Tamara.
"Lebih baik kita tidak bertemu, nanti akan semakin runyam miss understanding kamu dengan Tamara."
"Aku sudah didepan rumahmu, kutunggu." Haizz...pemaksaan ini namanya. Untuk apa dia bertanya kaalu sudah ada di depan rumahku? Segera aku turun dan membuka pintu pagar. Alex dengan kaca mata hitam nya menungguku di dalam mobilnya.
Kututup pintu mobil dan masuk tanpa bicara apa apa. Suasana sedikit menyeramkan bagiku. Wajah Alex seperti ingin memakanku hidup hidup.
Mobilnya dilajukan entah kemana, aku tidak bertanya tapi yang pasti menuju keluar Jakarta. Karena sedikit mengantuk akhirnya aku tertidur selama perjalanan dan terbangun ketika mobil berhenti.
Kubuka mataku perlahan "Ehm..dimanakah kita?"
"Turunlah, kita sudah sampai."
Kubuka pintu mobil dan merasakan angin sejuk menerpa wajahku.
"Indah sekali pemandangan cafe ini ya?" kulihat lembah dengan pohon pohon besar menyelimutinya. Alex hanya diam lalu memesan minuman untuk kami tanpa menanyakan terlebih dahulu padaku.
Sepanjang menunggu minuman kami, aku hanya memanjakan mataku dengan pemandangan dan menghirup dalam dalam angin sejuk yang jarang kudapatkan di Jakarta. Dari ujung mataku, kulihat Alex hanya diam mematung memandangiku.
Pramusaji datang dengan membawa 2 gelas minuman untuk kami. Diletakkan keduanya di meja lalu mempersilahkan kami untuk menikmatinya. Hm...jus alpukat dan jus jeruk, yang mana yang dipesankan untukku? Aku berdoa semoga Alex mengambil gelas yang berisi jus jeruk karena aku paling tidak suka dengan rasa asam di mulutku.
"Minumlah" perintah Alex. Aku ragu hendak mengambil yang mana, jadi lebih baik aku menunggu dia terlebih dahulu.
"Kamu saja duluan." jawabku tanpa melihatnya. Lalu kulihat Alex mengambil gelas berisi jus alpukat kesukaanku. Dengan menghela napas akhirnya dengan terpaksa kuambil jus jeruk yang paling kubenci dan pura pura menghirupnya padahal aku hanya menyentuhkan bibirku di bibir gelas. Aku tahu Alex sedang memperhatikanku.
Akhrinya karena tidak tahan dengan sikap Alex yang mendiamkanku semenjak kami berangkat, kubuka mulutku hendak bertanya tujuan dia mengajaku kesini.
"Ada yang hendak kamu bicarakan deganku?" Alex yang sejak tadi duduk dihadapanku semakin menajamkan pandangannya dan membuatku risih.
"Kenapa memandangiku terus dari tadi? Menyeramkan." ucapku sedikit merinding.
"Kamu belum menjawab dari mana kau dapatkan liontin itu?" nada suaranya sangat menuntut jawabanku.
"Tidak ada urusannya denganmu." jawabku ketus.
"Jawablah. Kita tidak akan pulang kalau kau belum memberikan jawaban padaku." Alex tidak mau kalah dan mengancamku.
Aku diam, memikirkan ucapannya. Sedikit heran kenapa dia tiba tiba ingin tahu mengenai hal itu.
"Kenapa kamu mendadak ingin mengetahuinya? Bagaimana dengan Tamara? Apakah perlu aku menjelaskan padanya?" tanyaku hendak mengalihkan perhatiannya, aku tidak ingin menceritakan hal pribadi pada Alex yang baru saja kukenal.
"Tidak perlu, aku sudah jelaskan padanya. Biarkan dia berpikir dan mengambil keputusan." kumiringkan kepalaku tidak mengerti.
"Maksudnya? kalian putus?" tanyaku dengan bodohnya.
"Tidak, kami sedang break untuk berpikir dengan kepala dingin" Kini tatapan Alex tidak sedingin tadi.
"Jadi, apa jawabanmu?" kembali Alex menerorku.
Kutatap matanya dalam dalam, menerka nerka maksud dari pertanyaannya. Akhirnya karena tidak ada pilihan kujawab "Hadiah"
"Dari?" tubuhnya menegak dan rahangnya terlihat mengeras. Aku semakin penasaran dengan sikapnya itu.
"Dari pacarku!' sekenanya saja aku menjawab lalu membuang mukaku.
"Kamu sudah punya kekasih? Siapa dia? William?" akupun melotot padanya.
"Aku dan William hanya berteman." jawabku.
"Jadi, siapa kekasihmu?"
"Aku pun tidak tahu dia dimana. Sudah lebih dari sepuluh tahun dia menghilang." setetes air mata bergulir dari mataku. Kulihat Alex duduk dengan gelisah lalu berdiri dan duduk tepat disampingku.
"Boleh kulihat liontinmu?" kuanggukan kepalaku dan mencoba untuk melepas rantai dari leherku lalu memberikannya pada Alex.
Kulihat Alex meneliti dan membolak balikkan liontin itu lalu menggenggamnya. Napasnya mulai bertambah cepat dan wajahnya memerah.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Kamu masih mencari kekasihmu itu?" Aku terdiam, bingung mau jawab apa. Kalau kukatakan ya nanti dia akan meledeku tapi jika kukatakan tidak artinya aku membohongi diriku sendiri.
"Menurutmu?" akhirnya kuputuskan untuk menanyakan pendapatnya.
"Apakah kamu masih mencintainya?" matanya tidak lepas memandangiku lekat lekat.
Kupejamkan mataku, sekilas peristiwa tiga belas tahun lalu hadir dalam pikiranku, masih dapat kurasakan kehangatan ciuman Lintang setelah mengutarakan perasaannya padaku. Ketika kubuka mataku kembali, baru kusadari wajah Alex sudah sangat dekat dengan ku dan bibirnya menyentuh bibirku. Kudorong perlahan dadanya untuk menjauhiku, otakku menolak karena Alex sudah ada yang punya, Tamara.
"Apa yang kau lakukan!" emosiku meletup letup antara malu, marah dan tersanjung mendapatkan ciuman darinya.
"Nova..." mataku terbelak karena terkejut
"Ka..kamu..dari mana kau tahu namaku?"
"Karena kamu adalah Novaku, dan aku adalah Lintang mu." Tak percaya apa yang kudengar barusan,
"Kamu jangan bohong padaku, dari mana kau tau namaku dan Lintang Hah? suaraku meninggi, aku merasa dipermainkan.
Alex menggelengkan kepalanya lalu dengan jari telunjuknya menyentuh keningku lalu turun sampai ke daguku, hal yang sering Lintang lakukan tiga belas tahun yang lalu.
"Da.darimana kau tahu itu?" kurasakan air mata mulai menggenangi pelupuk mataku.
"Karena aku Lintang, Nova...." Kutatap matanya lekat lekat, mencari sorot mata yang selama ini kurindukan seakan masih tak percaya kalau pria dihadapanku ini adalah Lintang,
"Benarkah kamu Lintang?" Alex tersenyum dan mengangguk.
"Kamu jahat!!" kupukul lengannya cukup keras, melampiaskan emosiku. "Tiba tiba menghilang tanpa kabar."
"Maafkan, aku tidak bisa mengucapkan perpisahaan padamu." Alex menggenggam tanganku erat erat lalu tak disangka ia memelukku dan mencium rambutku.
"Kamu berubah Nova, aku tidak mengenalimu jika kau tidak menunjukkan liontin yang kuberikan. Tiga belas tahun berlalu begitu cepat."
"Ya, sangat cepat bagimu karena telah melupakanku.Betapa bodohnya aku berharap kamu masih seperti yang dulu." wajahku kembali sedih mengingat kalau Lintang sudah memiliki Tamara.
Lintang menggelengkan kepalanya dan menatap kedua mataku, "Aku tidak pernah melupakan cinta pertamaku, perasaanku padamu masih seperti yang dulu. Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku."
Indah dan mudah diucapkan tapi sulit untuk dipraktekkan. Aku mendengus kesal "Gombal!! Tamara buktinya."
"Tamara dan aku dijodohkan oleh Papa agar perusahaannya dengan perusahaan orang tua Tamara dapat bergabung dan menjadi lebih besar."
"Sinetron sekali..." ucapku dengan nada sinis. Ini bukanlah pertemuan yang kumimpikan selama ini. Sakit hatiku seperti dikhiananti oleh kekasihku, padahal sebenarnya Lintang tidak salah mengingat kami sudah tidak bertemu lebih dari tiga belas tahun lamanya. Aku saja yang bodoh dengan menutup pintu hatiku untuk pria lain dan menunggunya.
"Nova, kau tahu kenapa tiba tiba aku menghilang?" kugelengkan kepalaku.
"Karena Papamu menuduh Papaku telah melakukan penggelapan uang dan meminta Papaku untuk pergi untuk selamanya kalau tidak dia akan melaporkannya." Mataku terbelak kaget sekali. Tidak mungkin Om Wahyu melakukan hal itu, Beliau sudah lama menjadi asisten papa.
"Aku tidak percaya Om Wahyu melakukan hal itu. Dan...malam itu juga kamu pergi?" ucapku masih tidak percaya. Lintang menganggukan kepalanya.
"Malam itu juga dengan membawa barang seadanya kami pergi meninggalkan Bali." Kulihat kilat kemarahan dari kedua matanya.
"Maafkan, kurasa Papa melakukan kesalahan. Pasti ada kesalahpahaman diantara mereka." aku tertuduk menyesali peristiwa itu.
"Bukan salahmu, kau dan aku tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka." Disentuh daguku dan memaksaku untuk menatapnya.
"Jadi, selama ini kau menungguku? mengapa tidak mencariku?"
"Aku sudah mencoba, setiap orang yang mengenal Om Wahyu kutanyakan tapi mereka membungkam. Kurasa Papa mengancam mereka. Lalu tahun tahun berikutnya aku mencarimu melalui sosmed. Tapi tidak ada nama Lintang dengan profilmu." jelasku panjang lebar.
"Ya, aku tidak menggunakan nama itu lagi semenjak pindah ke Jakarta. Dan kamu kenapa dipanggil Aurel?"
"Hm..nama Nova terkesan kampungan untuk orang Jakarta, jadi kupakai nama depanku." jawabku tersenyum malu.
"Hahahaha...Nova adalah nama yang cantik, sesuai dengan pemiliknya."
Percakapan kami terus bergulir tanpa terasa sore beranjak malam. Mentarai senja berganti dengan bintang dan bulan.
"Kamu tahu Lintang, setiap malam aku memandangi bintang dan berharap dapat bertemu denganmu."
"Maafkan aku, kita tidak mungkin bisa besama Nova." perkataannya membuatku kembali menangis.
"Apakah aku sudah tidak boleh berharap Lintang? Rasanya lebih baik kita tidak saling mengetahui indentitas masing masing jika akhirnya seperti ini. Setidaknya aku masih dapat merasakan kebahagiaan dengan memikirkanmu. Sekarang...memikirkanmu pun sudah tidak ada gunanya. Harapanku terbang terbawa angin.
"Terima kasih telah mencintaiku Nova, percayalah cintakupun sama besarnya deganmu. Tapi takdir menentukan lain, aku sudah terikat dengan Tamara. Bukalah pintu hatimu kembali untuk pria lain, aku yakin kau akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku."
Kutepis tangannya yang masih menggengam tanganku. "Tidak ada gunanya kita berbicara panjang lebar lagi Alex. Bagiku Lintang sudah mati, seiring dengan perasaanku padanya." ucapku ketus.
Lintang menghela napas dalam dalam sebelum berdiri dan menyusulku yang berjalan cepat menuju mobil.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, bermain dengan pikiran masing masing. Aku kecewa, marah dan sakit hati dengan keputusannya. Selama ini aku memperjuangkan cintaku padanya sementara dia dengan mudahnya menyerah pada apa yang dikatakannya dengan Takdir.