PART 4

1602 Kata
Hari ini jadwal olah raga, Tentu saja Nadira beraktivitas di luar kelas bersama yang lain. Seperti biasa, Maura selalu berganti baju lebih awal dengan Nadira dibanding anak lain nya. Alasannya sederhana, kata Maura dengan begitu kita akan bersantai lebih lama dari anak lain. Sementara jika memilih waktu yang sama saja, jika saat mereka berganti yang lain bersantai lalu itu berlaku sebalik nya. Nadira masih tak mau beranjak dari tempat duduknya, sedangkan Maura sudah membawa seragam olahraga di tangan nya. Lalu, berdiri di hadapan Nadira. "Nanti aja deh, bareng sama mereka aja." Tolak Nadira. "Lama, waktu santai kita berkurang nih." Cemas Maura, sambil merengek-rengek. "Kita? Itu mah kamu aja biar bisa santai terus liatin deretan cogan Spensa di lantai bawah." Protes Nadira. "Sama aja, lagian juga jomblo. Ga ada salahnya Nad, kalau kita nyoba jatuh cinta pas kelas satu." Nadira berdecak kesal, menopang dagu di tangan kanannya. Sambil menatap Maura dengan sinis. "Kamu tuh, cowo terus. Kamu itung deh, mantan kamu itu udah banyak banget, Ra." Maura menggebrak meja nya agak keras, lalu bekacak pinggang. "Ck, malah ceramah ah. Udah ayo buruan." Maura menarik lengan Nadira yang masih duduk di bangku nya. Karna Nadira kewalahan, akhirnya dia mengalah kali ini dan menerima Maura. Akhirnya mereka berganti pakaian lebih dulu, dan berjalan dengan santai ke lantai bawah, tepat ke lapangan. Karena mereka lebih dulu, Nadira dan Maura kedapatan untuk mengambil bola basket yang saat ini sedang dimainkan oleh anak-anak kelas 3, mereka anak-anak Basket. Karena Nadira melihat ada Ale di sana. "Kamu gih yang ngambil, kamu kan kenal sama mereka." Nadira berusaha membujuk Maura. Bukan apa-apa, masalah nya saat ini Nadira tidak mengenali siapapun. "Ih masa cuma sendiri, udah aku bilang kalau mereka tuh kaya patung." Kesal nya. "Ya terus gimana?" Mereka bernegoisasi sambil berjalan ke Arah di mana anak Basket sedang bermain, dan mereka tidak sadar. Irham menatap lekat Maura, bukan tanda menarik, Maura tahu itu. Irham jarang bicara, pasti tahu, Irham pasti sudah hafal dengan tatapannya. "Aduh ka, maaf. Ini, gue nganter temen gue ngambil bola basket." Jawabnya setengah gugup. Nadira sempat kaget, karna Maura malah memojokan nya di sana. "Disuruh siapa?" Itu jelas bukan suara Irham, tapi Daffa. "Pak Jodi." Kini beralih Nadira yang bersuara. Bola yang saat itu dipegang oleh Irham begitu saja ke arah Maura, tanpa aba-aba. Untung saja Maura sudah biasa akan hal itu. Berbeda lagi dengan bola yang sekarang ada di tangan Ale. Dia berjalan ke Nadira dan Maura membuat mereka salah tingkah. "Ka Ale, kesini." Jawab Maura. "Aku tau, apa kita lari aja ya?" Sambil diam-diam melirik ke Arah Ale yang mulai berjalan ke Arahnya. "Jangan, sana ambil bola! Ini giliran lo sekarang." Mereka berbicara sedikit pelan, sambil menunduk. Sampai sepasang sepatu sudah ada di depan nya. "Ini." Itu suara Ale, terdengar sangat dingin tapi ramah. "Nama lo siapa?" Tanya nya. "Aku, Ka?" Tanya Nadira. "Iya lah, yakali Maura." Senang sekali Ale bisa berbicara sepanjang itu, setidak nya Ale mengenal nya sebagai Maura anak Basket. "Nadira." Jawab nya kikuk. "Oh, lain kali jangan pulang lebih dari Jam 5." Maura mematung mendengarnya, "Kalau hari Selasa boleh." Lanjut nya tanpa menoleh lagi. "Mba Alm. Larasati meninggalnya selasa ya, ka?" Pertanyaan polos berhasil membuat Ale membalikan badan nya. Ada yang menggelitik di hati nya saat itu, "Kata siapa?" "Kata Kaka kecuali hari selasa, pasti dia meninggal hari itu, jadi ga angker kan jalanan? Soalnya kan hari itu Alm nya meninggal, jadi belum bisa gentayangan. Gitu ya, Ka?" Ale tidak menjawab, dia hanya tertawa kecil dengan akhiran senyum miring yang tampak sinis. Lalu, menggelengkan kepala sambil meninggalkan Nadira dan Maura. Sebenarnya Ale sendiri tidak tahu kenapa, bisa-bisa dia kemarin mengarang cerita tentang korban Larasati yang padahal tidak ada. Seadanya pun, Ale tidak peduli dan dia siswa baru di sini belum cukup paham tentang daerah ini. Dan, kenapa harus hari selasa? Maura masih mematung memandangi Nadira, saat dilihat dilihatnya di tempat saat itu. "Lo belum cerita sama gue." Maura setengah berteriak karna Nadira sudah lebih dulu bertanya tentang dirimu sebelum Maura melontarkan pertanyaannya. "Iya, nanti aku cerita." Jawab nya dari kejauhan. "Tungguin gue!" Teriak nya lagi. Nadira hanya tertawa, lalu melanjutkan langkahnya dengan berjalan. * Dari awal Nadira becerita soal Ale, dari situ lah suara heboh Maura terdengar.  "Gila! Ka Ale beneran anter lo balik?" Histeris nya Maura, hingga orang yang melewati lalang di depan gerbang menoleh kepada nya. "Jangan berisik napa." Kesal Nadira, ia segera menunduk atau sesekali mengangkat kepala nya dan tersenyum malu pada orang-orang yang ia lewati. "Maaf, abis gue kaget banget. Soalnya ya, dia itu cuek sama cewe, gue bisa jadi elo gaakan bisa nafas sampe nyampe rumah lagi." Maura berbicara dengan ekspresi yang sangat berlebihan, dua tangan yang menunjuk kesana-sini, mulut-nya yang bervolume maksimal. "Aku ga tau kalau dia itu Ale yang kamu maksud waktu istirahat, aku inget dia itu bikin aku bengong kemaren di kantin. Jadi tuh, mata aku ga sengaja pindah ke arah dia." Iya, Nadira masih ingat sepasang mata itu adalah milik Ale. Laki-laki yang mengantarnya pulang sore kemarin. "Terus-terus?" Cecar nya. "Asli si asli! Itu udah tanda lo emang ada chemistry sama dia, Nad." Balas nya heboh. Padahal Nadira belum melanjutkan lagi cerita nya. "Tapi, emang jalan sekolah angker ya?" Selidik Nadira. "Angker? Angker gimana maksud lo? Atau bentar dulu, yang lo bahas soal larasati tadi di lapangan itu apa?" Karna nada bicara Maura yang begitu nyaring, jelas orang-orang yang menunggu untuk pulang tau jika mereka sedang berbicara apa. Kadang, Nadira sendiri kesal dengan Maura. Kalau begini begitu, nyatakan Nadira amanat saat upacara saja. Semua orang mendengar dengan jelas. "Rumah kamu kan ga jauh dari sini, kamu gatau soal larasati?" Tanya nya, sepolos itu ia percaya pada cerita Ale. "Larasati sapa dah? Gua gatau, gua dulu tinggal di sini, gua gatau soal larasati." Lagi-lagi Maura selalu heboh dengan suara nya, sampai pemilik ninja hitam menghampiri mereka berdua. Antisipasi ditakutkan Maura menjelaskan bahwa larasati itu memang tidak ada. "Maura!" "Apa si-" Baru saja ingin memarahi tuan yang memintanya, tetapi setelah tahu siapa. Entah ada sihir apa, Maura hanya terpaku menatap orang itu. "Nah, tanya aja sama Ka Ale. Dia yang ngasih tau aku soal larasati." Dengan polosnya Nadira bertanya langsung, secara langsung ia memberi tahu kalau ia sedang membicarakan mereka Ale. "Lo berdua lagi ngomongin gue, ya?"  "Engga ka, aku cuma cerita soal larasati aja kok. Kalau soal kaka udah tadi sebelum sampe di sini. Jelas deh ka ke dia, masa dia gatau soal larasati.  Lucu banget si  , batinnya. "Ka Ale boong ya soal larasati?" Tanya Maura to the point. "Boong apa nya?" "Mana ada yang meninggal nama larasati nya." "Ya, semua orang di muka bumi itu pasti meninggal." Takut berlama-lama mereka mencerna lalu berpikir ada kejanggalan dari kisahnya, Aldebaran langsung melirik Nadira. "Lo berdua balik bareng?" "Engga, Maura Rumah ada di sebrang sana." Aldebaran melirik jam tangan hitam di tangan-nya, jika benar-benar memperhatikan wajah-nya ada senyum tipis di muka Aldebaran. "Tadi kamu bilang, kalau orang memutuskan di hari itu berarti belum bisa gentayangan ya?" Tanya nya melirik Nadira, dengan jelas yang bertanya mengangguk cepat. "Terus kapan gentayangannya?" "Besok nya ka, iya kan?" Nadira dengan mantap menjawab pertanyaan itu, namun wajah raut menjawab berubah. "Kemarin selasa, sekarang kan rabu. Tandanya?" Nadira melirik Maura yang masih diam tak berekspresi, "Hari ini larasati gentayangan!" Teriaknya. Polos bener punya temen  , batin Maura. "Ka." Ale mendadak ingin tertawa, sudah dipastikan Nadira mau pulang bareng dengan nya. "Kenapa?" Jawabnya sangat keren, coba pertahankan spekulasi nya saat ini. "Punya aplikasi ojek online engga? Aku mau pinjem." "Ga punya." Lagian memang benar, Ale tidak memiliki aplikasi semacam itu. "Ra, aku pulang gimana?" "Ke rumah gue aja dulu, nanti lo minta mama lo jemput. Gampang kan?" Apalagi nih si Maura  , batin Ale. "Le?" Siapa pun yang berhasil berhasil membuat Maura ternganga tanpa sadar. "Oy, kenapa?" Iya, orang itu adalah Irham. Sosok yang selama ini mendiami hati Maura secara diam-diam. "Bukannya hari ini pengarahan buat pertandingan lusa?" Ale menggaruk yang tidak beres, kenapa ia bisa selupa itu. "Aduh, gue lupa. Tadi nyokap nelpon soalnya suruh balik cepet." "Bisa atau engga?" Irham memang tidak melihat siapa orangnya, sikap dingin tetap saja menentang. "Bisa kok bisa, gue puter balik deh." Kenapa Irham harus datang seperti ini. Irham hanya mengangkat satu alisnya, lalu mengangguk dan berlalu begitu saja. "Ka Irham?" Mumpung belum jauh  , batin Maura. Yang memiliki nama menoleh, tanpa sepatah kata kata pun. "Pertandingan nya dimana?" "Semua anak Basket tau, mangkannya lo latian. Gausah kabur-kaburan." Sumpah, itu Irham mengubah beberapa kata untuknya. Senangnya bukan kepalang ya Tuhan. "Lusa, lo harus dateng." Bukan, bukan karna. Irham jatuh hati pada nya. Tapi memang ini cara satu-satunya agar kemauannya terpenuhi. Jahat memang, sebenarnya Irham sudah mulai membawa terbang perasaan Maura. Hanya untuk tujuan nya sendiri, tidak menutup kemungkinan untuk nya mengehempaskan Maura ke dasar yang paling bawah. "Iya, ka." Jawab nya gugup. "Nad? Lo liat kan? Lo denger kan? Ka Irham nyuruh gue datang!" Bukan lagi heboh, dan nyaring tapi Maura kini sedang tersenyum-senyum sendiri. Nadira hanya ikut tersenyum, melihat sahabat nya senang pun sudah cukup.Namun, memang Nadira tidak pandai mengekspresikan nya. "Ra, aku malu diliatin banyak orang. Ayo pulang." Sadar karena banyak pasang mata memperhatikan nya, Nadira segera menarik lengan Maura. "Tapi lo harus janji dulu." Maura justru menahan nya, membuat Nadira menatapnya sangat malas. "Apa?" "Lo harus ikut, temenin gue." Maura memberi jeda pada ucapannya, "Sekalian ketemu Ale, oke?" Sudah Nadira pastikan, pasti permintaan nya akan aneh-aneh. "Kalau latian ku selesai lebih cepat, aku pasti temenin kamu." Jawabannya sebenarnya tidak menjanjikan, hanya kalimat penenang agar Maura segera diam dan mau diajak untuk pulang. "Ayo kita pulang." Akhirnya Nadira berhasil mengajak Maura pulang. * "Semoga lo dateng ya, Ra." Gumam nya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN