PART 5

1689 Kata
Keringat sudah seperti air yang mengalir di wajah Nadira, sejak pukul 8 pagi ia sudah berlatih untuk mempersiapkan pertandingannya nanti. Dilirik jam dinding aula sekolahnya, sudah menunjukkan pukul 10. Sudah 2 jam ia berkutat dengan gerakannya, pasti yang dibutuhkan hari ini hanya istirahat dan tidur sepuasnya. Nadira mengambil tas yang ada di atas bangku, mengambil botol minuman lalu meneguk sesekali. "Kamu ada acara hari ini?" Nadira menghentikan gerakannya, lalu menoleh setelah mendengar seseorang bertanya. "Aku, Ka?" Takut saja orang yang memilih bukan diri sendiri, lebih baik menerima Nadira. "Iya lah, Nad. Siapa lagi yang ada di sini, masa aku ngomong sama tembok." Dia Rafka, teman sekelas Nadira. Yang tidak lain adalah adik dari seorang Irham Leoza, kaka kelas yang diundang oleh Maura. Nadira mengedarkan pandangannya, di dalam ruangan ini bukan hanya mereka berdua. Banyak anak berbaring, tetapi mengapa Rafka berusaha lebih akrab. Tidak jauh berbeda dengan Irham, Rafka adalah sosok yang banyak diincar. Kabar memang terletak dekat keranjang anak, tapi entahlah siapa. Nadira juga tidak peduli. "Kenapa?" Sembari merapihkan barang-barangnya, Nadira hanya melirik sekilas ke Arah Rafka. "Abis ini ada acara lagi?" Tanya nya sedikit gugup. "Nemenin Maura ke pertandingan basket, ke Smansa." Nadira menyiratkan bahwa hari ini tidak bisa diajak kemana-mana, bukan mau pergi. Tapi memang sebenarnya kalaupun tidak pergi, Nadira tidak mau diajak kemana-mana. "Oh, aku juga tadinya mau ngajak kamu ke sana. Bareng aja, gimana?" Ini sih bukan tawaran, tapi lebih untuk jebakan. "Kaya nya engga deh, aku kan nemenin Maura jadi ya berangkat pasti sama Maura. Maaf ya." Nadira memberi senyum tipis sebelum pergi meninggalkan Rafka yang hanya bisa menghela napas nya. "Kalau Maura mau berangkat sendiri, alesan lagi buat kamu nolak ajakan aku?" Langkahnya terhenti, ia membuang napas sebelum menjawab. Ya memang tidak ada alasan lagi. "Iya." Rafka tersenyum penuh kemenangan, jelas saja Nadira pasti akan pergi bersama kali ini. Rafka mengetahui satu hal yang Nadira tidak tahu akan hal itu. * "Lo bisa ga sih fokus sama pertandingan, Le? Kalau gini terus kita bisa kalah." Teguran Daffa saat istirahat sebelum melanjutkan ke babak 2. Memang tidak kalah jauh skornya, tapi perbedaan 3 poin cukup sulit dikejar jika Ale tidak berubah. Ale yang ditegur hanya terdiam, sebagai kapten keranjang memang ia punya tanggung jawab lebih. Lebih banyak melamun, dan sulit berkomunikasi dengan timnya. Entah kenapa, konsentrasi Ale terlihat jelas terbagi. "Lo lagi, emang pada b*****t!" Daffa mendorong bahu Irham yang sama kacau nya. Bukan sekacau Ale, tapi Irham sulit dikendalikan. Itu terlalu log, sampai-sampai tembakannya saja tidak pernah tepat. "Apaan si, emang dengan ribut kita bisa menang?" Kevin salah satu dari anggota nya, menoleh ke Arah Ale. "Le, gua mohon sama lo. Di sini kita bener-bener butuh lo sebagai kapten." Lalu berganti ke Arah Irham, "Dan, Ham. Tolong banget gue, kerja sama nya. Gimana pun juga lo dulu kapten basket kita, dan lo lebih paham dengan kaya gini." Dari kejauhan Maura hanya menggerakkan-gerakkan sendok kayu di tempat es krimnya. Dia bisa melihat dari sini, bahwa Irham sama sekali tidak fokus. "Nad, dong ale ale dong. Gua yakin dia beneran nunggu lo ngelakuin hal itu, lagian kok si pake acara dateng bareng Rafka." Kesal Maura. "Urusan nya sama Rafka apa, Ra? Kan aku cuma bareng. " Iya, rencana Rafka. Maura pergi lebih dulu bersama anak keranjang lain nya. Benar saja, Ale menoleh ke Arah Nadira. Dengan wajah yang sangat sulit, Nadira artikan. Dia memberi senyum, lalu mengatakan semangat Meskipun Ale tidak akan mendengarnya. Tapi, gerakan bibirnya cukup membuat senyum Ale kembali lagi. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menghampiri Nadira, fakta senyumnya berhasil membuat Ale gembira lagi. Meskipun belum lama mereka kenal, ia selalu menepis semua laporan Maura tentang Ale. Mana mungkin disimpan itu Ale Suka dirinya. Suara ponselnya berdering tiba-tiba. Menampilkan satu nama di sana, dan itu membuat Nadira tersenyum. "Halo, Ka?" "Haii!" "Ada apa, Ka?" "Nad, aku kangen Aska." Suara itu sukses membuat Nadira mengerucut bibirnya. "Kamu belum ada kabar ya?" "Belum, aku kan ga tau pasti ka Aska itu apa. Belum lagi ini Surabaya, Ka. Bukan tempat di mana ka Aska pindah." "Kamu lagi di mana? Kok rame?" "Aku lagi ada di Smansa, Ka. Lagi nonton pertandingan Basket. Sekalian siapa tau aku nemu pentunjuk soal ka Aska." "Kamu datang buat siapa, Nad? Hayo kamu ngaku? Pasti ada alasan lain dong selain buat Aska?" Anira menarik adiknya. "Nad, ka Ale nyetak poin tuh. Lo liat deh, dia liat ke arah sini." Hebohnya suara Maura berhasil menembus dan terdengar hingga ke telinga Anira. "Nah, Ale? Kamu ga mau cerita sama Kaka?" "Ssstttt, diem dong. Ka Anira lagi nelpon nih." Nadira memberi isyarat kepada Maura untuk diam. "Temen kok, dia kaka kelas ku." Jawab nya gugup. "Kaka kelas kok liat ke arah kamu?" Goda nya lagi. "Karna aku ditrimbun suporter sekolah ku, jelas dong dia liat ke arah suporter." "Gamau tau, kaka mau kamu cerita nanti malam. Kamu lanjutin sana nonton nya, salam ya untuk Ale. Dahh!" Tutt ..... "Ah, Maura sih. Ka Anira jadi nanya soal ka Ale kan." Kesal Nadira, sambil menampilkan wajah kesalnya di Maura. Maura hanya tertawa tanpa dosa, bukan Maura jika tidak bertindak seenaknya seperti ini. * "Lo balik sama gue." Ucap Irham pada Rafka. "Bikin dateng kesini bukan sama lo, Bang. Jadi gue gaada tanggungan buat balik bareng sama lo." Rafka mencari melupakan Nadira, setelah menemukan ia langsung mengundangnya. "Nadira!" Yang menyenangkan dibuka datang, tak lupa Maura di sebelahnya yang enggan dibuka di sini. "Dapatkan dateng sama dia tadi, jadi balik ya sama dia juga." "Gapapa, Ka. Kalau kamu pulang sama Ka Irham, biar aku pulang sama Maura aja." "Gabisa gitu dong, atauga gini aja. Kamu tetep balik sama aku, biar Maura dianter Bang Irham." Ada saja rencana aneh dari adiknya ini. "Irham!" Lebih dari kejauhan diundangnya. "Lo kosong kan? Gue bisa nitip Anna sama lo? Gue harus anter Audrey pulang." Siapa lagi jika bukan Daffa, satu-satunya anak keranjang yang memiliki pacar se-pereskulan. "Bang Irham udah ada yang nebengin, cari cari aja tuh buat ka Anna." Jelas Rafka pada Daffa. "Ale kosong kok, lo bisa balik nebeng sama dia." Jawab Daffa sambil memandang ke Arah Maura yang masih diam sejak tadi. Maura melirik ke Arah Nadira, "Sebentar ya, beri izin ke toilet sama Nadira. Ayo, Nad!" Tanpa menunggu diantarkan, Maura langsung membawa Nadira ke toilet. Nadira melepaskan tangan yang ditarik Maura sejak tadi, "Kamu kenapa si?" "Ini ketuker, Nad. Harusnya Ka Anna pulang sama Rafka, gue sama ka Irham dan lo sama ka Ale." "Ya ampun, udah bersyukur kamu dapet tebengan pulang. Kok jadi nawar?" Kesal Nadira. "Atau gini deh, gue sama Rafka lo sama ka Ale. Gua tau ka Ale tuh ada rasa sama lu, gaenak gue kalau sama dia takut lu sakit hati." "Itu modus kamu aja, Ra. Tapi kan kita engga mungkin nawar gitu di depan mereka, bisa malu aku." Maura berjalan masuk ke kamar mandi, tak lupa ia menarik Nadira untuk ikut bersama nya. "Apa-apaan si kamu, Ra?" Sadar akan tingkah Maura, ia menyipratkan udara cukup banyak ke baju Nadira. "Gausah panik, lo cukup jangan pergi sebelum 10 menit. Kalau nanti orang nanya sama lo, tinggal jawab aja iya, oke?" Nadira berdecak sebal, "Apa-apaan sih, Ra? Aku gamau ah." "Ah lo ga temen sekarang, ga ngerti posisi gue." "Yaudah iya deh, 10 menit ya." Maura mengangguk cepat, lalu meninggalkan Nadira sendiri di toilet. "Nadira mana, Ra?" Tanya Rafka. "Dia lagi bersihin baju nya, tadi kena genangan air gitu." "Kenapa lo tinggalin dia sendiri?" "Gue buru-buru soalnya nyokap udah nelpon terus dianter belanja, gue nebeng sama lo aja ya?" Sambil meratap ke Arah Rafka, dalam hati Maura memohon agar Rafka mengiyakan permintaannya. Rafka menggeleng cepat, "Lo sama ka Ale aja, biar gue nunggu Nadira." "Udah, dia buru-buru, Ka. Ale masih lama, lagian dia lagi briefing untuk pertandingan selanjutnya, biar gue sama Audrey nunggu Nadira sekalian kabarin ke Ale. Lo anter aja dia." Cinta sekali Maura pada ka Daffa, kenapa dia selalu memberi saran pada waktu yang sangat tepat. Meski tidak tepat sih, Irham tetap saja tidak pulang bersama-sama. "Ada-ada aja sih lo, Ra." Kesal Rafka. Lalu berikan helmnya kepada Maura, dengan berat hati apa boleh buat. Maura hanya terkekeh kecil tak berdosa di depan Rafka sekarang, rencana nya berhasil kali ini. * "Temen kamu kemana?" Tanya Ale saat memberikan helm kepada Maura. "Pulang duluan dianter Rafka." Ale hanya ber oh ria saja, untung kali ini Nadira tidak bersama Rafka lagi. "Mau langsung pulang?" "Emang mau kemana dulu, Ka?" "Aku mau membeli sesuatu dulu, kamu mau ikut dulu?" Nadira menoleh, "Boleh." "Ayo naik!" Tidak ingin berlama-lama lagi, Ale segera pergi dari tempat yang menuju Mall. Sekarang, Ale sudah membeli hoodie dicetak biru langit. Tapi entah untuk siapa, Nadira hanya tahu itu hoodie untuk perempuan. "Hoodie nya bagus kan, Nad?" Nadira yang sedang berpikir, langsung mengangguk cepat sambil mencerna ucapan Ale tadi. "Kita beli eskrim aja ya, Ra." Tanpa sadar Ale mengenggam tangan Nadira. "Ra?" Tanya Nadira ulang. "Hah? Oh iya maksudnya, Nad. Aku lebih sederhana manggil kamu, Ra. Maaf ya." "Gapapa." Tidak, Nadira tidak berhak berkomentar apa pun yang Ale beli dan Ale lakukan saat ini. "Kamu percaya ga sama bintang jatuh?" Tanya Ale, saat Nadira menunggu eskrim pesanannya. "Engga, aku ga pernah lihat." "Tapi, kamu akan percaya kalau ada buktinya?" "Mungkin, iya." "Bintang itu beneran bisa jatuh, jatuh di hati misal nya." "Ga keliatan dong kalau di hati." Balasnya tak mau kalah. "Keliatan kok." "Buktinya mana?" "Nanti aku tunjukan, kita tunggu pesanan dulu ya." Ale tidak sedingin yang orang-orang bilang, menurut Nadira mungkin. Setelah menerima pesanan, Ale membawa Nadira berkeliling lagi. Jadi mereka terhenti di satu tempat di mana ada cermin besar di sana. "Bintang jatuh itu bukan cuma bisa ngabulin satu permintaan, tapi kali ini bintang jatuh yang aku maksud lebih dari itu." "Terus apa?" "Memang Bintang ini ga bisa mengabulkan permintaan ku, tapi dia bisa menjadi tanya jawab setiap hari ku. Intinya, dia lebih dari itu." "Intinya juga, mana yang mau kaka tunjukin sama aku?" "Lihat ke sini." Ale menunjukkan pantulan diri mereka pada cermin. "Iya ini liat. Terus?" "Siapa yang kamu lihat selain aku?" "Ya aku." Jawabnya bingung. "Itu tandanya kamu udah lihat bintang jatuh versi ku." Nadira paham maksudnya, dia tidak bisa menahan rona merah di pipi karna malu. "Nad, jadi pacar aku ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN