ADC ~ Kemalangan Casey

1810 Kata
Dua Bulan kemudian. Sepuluh menit setelah kelas berakhir, Casey memutuskan untuk duduk di sudut kantin dengan segelas teh dingin di hadapannya. Gadis cantik berambut panjang, berperawakan bagus, berpostur tinggi, namun tertutup pakaian dengan Hoodie hitam dan celana jeans lusuh itu masih sibuk memusatkan pikiran pada buku yang di bacanya. Merupakan sebuah buku tentang Psikologi dengan materi yang baru saja Bu Diana sampaikan di dalam kelas. Dia terlalu fokus dengan bacaannya sampai tidak menyadari kalau kantin sudah hampir penuh, sesak dan riuh. Semua bangku terisi dengan para mahasiswa dan meja terisi dengan makanan, minuman, buku, laptop ataupun hp yang mereka letakan secara asal. Namun, Casey tetaplah Casey. Jenis manusia yang menyukai seni untuk bersikap acuh tak acuh. Bukan Casey namanya kalau keramaian bisa memecah konsentrasinya. "Ca." Casey mendongak saat mendengar namanya di panggil. Suara ini adalah suara seorang gadis yang terdengar merdu di telinga. Rambutnya lurus tergerai sampai bahu. Gaya berpakaiannya casual namun anggun karena gadis itu mengenakan sepatu bertumit tinggi. Wajahnya juga cantik dengan riasan yang tipis natural. Seperti sebuah goncangan yang mampu mendebarkan hati para pria, Amira adalah Ratunya. "Apa kamu sudah menunggu lama?" Amira meletakkan pantatnya pada bangku yang berhadapan dengan Casey. Memang tidak berhadapan secara langsung karena mereka masih terhalang meja panjang sepanjang bangku yang di duduki. Bunyi derit yang terdengar kala Amira mendudukkan diri membuat Casey menyipitkan mata. Tubuh Amira tidak gendut, bahkan sangat proposional, mungkin bangkunya yang sudah tua. Pikir Casey di dalam hati. "Kamu kenapa? Aku bertanya dengan serius, kamu justru tidak menjawab?" Amira meletakan tasnya di atas meja. Adalah tas kulit asli yang di belinya dengan harga yang cukup mahal, dua bulan yang lalu. Di impor dari luar negri untuk di pasarkan lagi. Dan sebagai penjual online, dia menggunakan brand itu untuk menarik perhatian khalayak agar dagangannya laku. Amira menyebutnya.. trik marketing. "Maaf." Casey meminta maaf. Dia merasa letih akhir akhir ini. Dia butuh istirahat dan tidur di ranjang empuk di tempat kostnya. Tapi, itu hanya mimpi. Belakangan ini dia justru lebih sering menginap di rumah sakit untuk menemani Mama dan tidak memiliki kesempatan untuk sekedar meluruskan punggung di atas kasurnya sendiri. "Tadi kamu tanya apa?" Casey menambahkan sembari menyunggingkan senyum manis yang terkesan tidak ikhlas, palsu dan terlalu di paksakan. "Kamu sudah lama?" Amira kembali mengulang pertanyaannya yang memang belum Casey jawab. Raut lelah tergambar jelas pada wajah cantik Casey yang pucat dan sayu. Casey melihat jam tangan kuno yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. "Sekitar sepuluh menit." Casey menjawab dengan suara berat. Akhir akhir ini, kondisi Mama tidak membaik. Dan saat ada kabar dari dr. Yosh tentang transplantasi ginjal, Casey justru tidak memiliki biaya. Membuat dirinya tidak bisa terlelap saat memikirkannya. Menurutnya.. kabar baik itu terdengar percuma karena Casey tidak bisa mengupayakan apapun pada akhirnya. Rumah satu satunya peninggalan Papa sudah di jual. Uangnya pun sudah di gunakan untuk biaya cuci darah Mama yang dua bulan terakhir menjadi lebih sering. Melihat raut wajah Casey yang seperti itu, ekspresi Amira juga murung. Dia mengerti kalau sahabatnya ini sedang tidak baik baik saja. Dia mengetahui semua permasalahan itu dan dia juga sudah menawarkan rumah dan mobilnya untuk di jual, namun dengan tingkat keras kepala Casey yang sudah di atas normal, Casey menolak niat baiknya. Membuat dirinya juga bingung, tidak tau bagaimana cara membantu. "Aku tidak tau bagaimana cara membantumu, Ca? Kamu bisa menjual mobil dan rumahku. Aku tidak masalah, asal Mama Rianti bisa sembuh dan sehat lagi." Amira menyuarakan pendapatnya meski dia tau kalau saran seperti ini, Casey tidak akan menerimanya, tapi tidak tau kenapa tetap saja dia menawarkan solusi ini meski tau kalau ini percuma. "Rumah, mobil, itu kerja keras kamu. Kamu susah payah mendapatkannya dan aku.. tidak berhak mengusik apapun yang kamu miliki." Casey gigih dengan pemikirannya. Dia tau kalau Amira tulus ingin membantunya, namun nominal uang yang dia butuhkan sampai ratusan juta, bukan uang yang sedikit. Dia akan berhutang sangat banyak kalau sampai menerima kebaikan Amira, dan itu akan membebani dirinya. "Ca, ayolah! Meski rumah dan mobilku termasuk kuno dan harganya tidak mahal, tapi itu masih lumayan. Kamu tidak boleh egois. Ingat! Nyawa Mama Rianti lebih penting dari apapun." Casey menghela nafas panjang. Ini benar benar berat untuk dirinya. Niatnya mengajak Amira bertemu bukan untuk berdebat atau dikasihani. Dia hanya ingin meminta tolong satu hal kepada Amira, dan itu juga bukan tentang dia ingin meminjam uang. Tapi, yang ingin dia bicarakan jauh lebih penting dari sekedar meminjam uang. "Lalu kamu mau apa? Aku tidak mau di cap sebagai orang yang buruk karena tidak membantu seorang sahabat yang sedang kesulitan." Amira menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Semua bukan karena aku tidak peduli. Aku benar benar peduli, tapi kamu sendiri yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan ku. Iya kan? Ucapan aku benar, bukan? Amira menambahkan dengan meminta Casey untuk mengoreksi kata perkata yang dia ucapkan. Dia ingin Casey tau kalau bukan dia yang tidak peduli, tapi Casey sendiri yang menolak niat baiknya. Sejauh ini, Casey hanya mendengarkan. Dia tidak menyela ataupun menghentikan Amira dari celotehannya. Dia tau Amira baik dan perhatian, namun.. itu pula yang membuat Casey semakin tidak berdaya. Casey menutup buku Psikologinya kemudian menyingkirkannya ke pinggir. "Kamu udah selesai ngomongnya?" Amira menganggukkan kepala tanpa jawaban. "Kalau kamu sudah, biar aku yang kali ini berbicara." "Baiklah, silahkan bicara! Aku akan mendengarkan tanpa bantahan." Amira memasang telinganya baik baik. "Aku.." Casey kesusahan untuk mengatakan keinginannya. Dia masih berusaha merangkai kata yang sekiranya Amira tidak akan syok saat mendengarnya. "Aku ingin seperti kamu, Mir." Casey melanjutkan dengan suara lemah. "Apa?" Amira membulatkan mata. Casey ingin seperti dirinya? Apa maksudnya berjualan online? "Tentu. Kalau kamu memang ingin berjualan, aku akan sangat senang karena mempunyai partner." Amira menjawab cepat. Casey menggelengkan kepala. "Bukan itu." "Em?" Mendengar kata 'bukan' dari Casey, Amira menyernyit. Masih dengan tanda tanya di kepala dengan seribu pertanyaan yang ingin dia lontarkan kepada bocah tengil yang duduk di hadapannya, Casey sudah lebih dulu melanjutkan. "Tidur." Ucap Casey dengan maksud terselubung. "Tidur?" Mendengar satu kata yang terlontar dari mulut Casey, Amira langsung bisa menangkap apa artinya. Yaitu, Casey tidak ingin berjualan online seperti dirinya, tapi Casey menginginkan yang lebih dari sekedar jualan online, yaitu.. tidur dengan pria yang berani membayar mahal seperti dirinya juga, tapi.. itu dulu. Sekarang dia tidak lagi melakukan hal itu. "Iya, tidur." Casey menjawab malu malu. Tidur dengan pria, tidak pernah masuk ke dalam daftar keinginannya. Namun, kata dan niat itu terbesit begitu saja saat dokter Yoshua, atau yang biasa di panggil Yosh mengatakan kalau Mama beruntung bisa melakukan transplantasi ginjal. Kesempatan baik ini, harus di manfaatkan. Itulah kalimat yang selalu berputar di dalam kepalanya untuk selalu di pikirkan. Membuatnya memilih jalan keluar ini karena dia tidak memiliki jalan keluar lain. "Tidak!" Amira segera menolak tanpa memikirkannya. Hal seperti itu tidak pernah baik untuk di lakukan. Terlebih, dia pernah tercebur ke ranah prostitusi dan dia tidak ingin Casey mengikuti jejaknya. "Kenapa?" "Kenapa? Kenapa kamu masih bertanya?" Amira tidak ingin menjelaskan apapun, namun kalau keinginan Casey adalah seperti itu, dia akan menjadi orang pertama yang menentangnya. "Aku membutuhkan beberapa ratus juta, Mir. Dan aku tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan uang itu dalam waktu beberapa minggu. Kamu sendiri juga tau kalau operasi ini sangat penting untuk Mama, apa lagi kondisi Mama belakangan ini tidak terlalu baik. Aku tidak memiliki pilihan, Mir, aku serius." Casey membela diri. Bukan sebuah alasan, tapi sebuah keharusan. Dia harus melakukannya, harus. "Tidak." Amira tetap gigih menolaknya. "Kamu masih memiliki pilihan lain. Jual rumah dan mobil aku. Mungkin itu cukup buat biaya operasi Mama Rianti, dan untuk perawatan pasca transplantasi, kita akan cari jalan lain." Amira tetap dengan keputusannya. Amira paham betul bagaimana kehidupan di lembah hitam yang dia pernah bernaung di dalamnya. Itu pula alasan dirinya gigih menolak usul abnormal Casey. Dia tidak ingin Casey menderita, dan dia tidak ingin Casey seperti dirinya. Cukup dirinya dan tidak ada yang lain. Itu adalah keputusannya. Entah dengan alasan apapun, Amira tidak akan merubah keputusan itu. "Itu bukan pilihan bagus. Aku dan Mama sudah tidak memiliki rumah, kalau rumah kamu di jual, kalau kami di usir dari kost karena tidak bisa membayar, aku dan Mama akan berteduh dimana? Kamu juga tidak boleh memandang sesuatu hanya dari sudut pandang kamu. Minimal, perhatikan afternya juga, jangan hanya memperhatikan beforenya saja." Casey selalu bersandar pada realita dan jarang menggunakan ekspektasi. Tapi, meski demikian, Casey tetaplah gadis yang teliti dan cermat tentang before dan afternya, tentang baik dan buruknya, juga tentang konsekuensi dari segala pilihan. Dia selalu memikirkan sepuluh langkah ke depan untuk meminimalisir resiko buruknya. Jadi, kalau dia sudah mengambil keputusan ini, itu artinya, dia siap menanggung apapun akibatnya. "Aku harus memikirkannya dulu." Selesai berkata, Amira menelusupkan tangan ke rambut. Dia sedikit frustasi. Apa yang Casey katakan adalah benar. Mereka perlu tempat tinggal. Rumah Mama Rianti sudah di jual dua bulan yang lalu, dan itu membuat Casey harus berputar putar mencari kost yang murah untuk di tempati. Dari sini, Amira yang berstatus sebagai sahabat Casey, juga bisa merasakan kesedihan itu. Namun, kalau seandainya di beri pilihan lain, dia tetap akan memberikan opsi pertama kepada Casey, yaitu menjual rumah dan mobil. Bukan pilihan lain yang mengharuskan Casey untuk hidup dengan berkutat pada lumpur dan kubangan dosa. Tapi, sekali lagi dirinya sadar kalau Casey tidak memiliki tempat untuk memilih ataupun bernegosiasi. Ini tentang nyawa, dan itu sudah tidak ada tawar menawar. Sejenak hening. Hanya suara riuh dari sekitar yang memenuhi kantin dengan udara pengap yang menyelubungi. Namun, entah itu Amira atau Casey, keduanya tidak bergeming. Mereka masih sibuk dengan pikiran masing masing yang mengharuskan mereka untuk memilih meski hati menolaknya. Pada situasi seperti ini, orang seringkali menggunakan otak dan melupakan hati yang sebenarnya meronta hebat di d**a. "Tabunganku sudah habis, Mir. Biaya cuci darah, mahal. Biaya transplantasi, lebih mahal lagi. Minimal, aku melakukan ini buat Mama. Kamu tau? Aku akan sangat menyesal kalau sampai tidak melakukan apapun selagi aku memiliki kesempatan meski itu menggunakan cara yang salah." Casey tidak berhenti membujuk Amira. Dia tau kalau itu cukup sulit. Namun, dia tidak memiliki banyak waktu karena kesempatan transplantasi sudah di depan mata. Sangat sulit mendapatkan donor ginjal untuk di cangkok dari pendonor hidup, dan kalau sudah ada, Casey tidak ingin melewatkannya meski tau kalau biaya transplantasi bisa sampai ratusan juta di salah satu Rumah Sakit swasta terbaik di Jakarta. Sebenarnya, biaya transplantasi cukup bervariasi di beberapa Rumah Sakit yang berbeda, tapi Casey yang selalu mengandalkan dokter Yosh, tidak mungkin menggunakan Rumah Sakit lain meski harganya jauh lebih terjangkau. Harga fantastis yang harus di bayar untuk sebuah kehidupan.. adalah sebanding. Pikirnya. Terlebih, satu satunya cara agar Mama tetap hidup, hanya dengan transplantasi mengingat kalau penyakit yang Mama derita merupakan gagal ginjal kronis stadium akhir. Jadi.. beberapa ratus juta, adalah sepadan kalau itu tentang nyawa dan kehidupan. BRAAKK.. Amira menggebrak meja dengan suara keras. "Aku sudah memutuskan, itu tidak akan terjadi!" Selesai berkata, Amira bangkit dari duduknya, dia meraih tas kemudian melangkah pergi meninggalkan Casey yang sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja saat mendengar jawaban darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN