Gue enggak pernah menyangka, kalau tempelengan tas mama adalah awal dari kesialan hidup gue di bumi. Setelah malam yang gue lewati tanpa pernah kembali ke rumah Mbah Darmo, keesokan harinya perut gue mules.
Gue mencret tanpa alasan yang jelas. Kayak kamu, iya kamoh!
Please ya gue, bisa saja nasi goreng yang semalam gue makan kurang higienis. Secara gue pesan nasi goreng bukan di tempat langganan. Asal saja kang nasgor lewat, gue stop. Maklum semalam Mama sudah mulai aksi mogok makan, jadi semua penghuni rumah turut kelaparan. Oke, positif ya, nasi goreng yang membawa bakteri ke perut gue. Logika gue masih mencoba menawar, bahwa mencret yang gue alami sama sekali tidak ada korelasinya dengan Mbah Darmo.
Akan tetapi, lagi-lagi gue mengalami kesialan. Tepat setelah gue menuntaskan isi perut yang mules fenomenal cetar membahenol ulalayeyeye. Gue pan memutuskan untuk langsung mandi keramas. Gila men! Rambut gue sudah gimbal, ketombe mungkin nyaris satu senti. Eh, tapi jangan berpikir gue cewek jorok. Penampilan gue bisa mirip Nyai Kunti gini karena Mbah Darmo. Dukun sialan itu nyuruh gue enggak mandi keramas selama sepuluh hari. Katanya untuk mengusir jin ifrit yang bersemayam di tubuh gue.
Anyink banget 'kan tuh dukun?
Di mana-mana ngusir jin mah pakai metode ruqiyah, mana ada ngusir jin dengan cara dibacem sama bau ketek. Yang ada para jin, demit, lelembut malah ngintilin gue. Satu hal yang pasti, ritual dukun ngawur itu bikin orang-orang di sekitar gue mengira kalau gue adalah orang gila baru. Udah gelar jones mendarah da- ging enggak hilang-hilang, mana kuat hayati dikasih gelar orang gila baru. Ye elah, mending mati di rawa aja dwehhh.
Ya udin, intinya pas gue mandi keramas hari ini, kamar mandi tiba-tiba kehilangan sampo. Gue mendengkus kesal. Gue ambil tuh handuk. Melilitkannya ke tubuh, lalu gue keluar memanggil mama.
Tidak ada jawaban, dongs!
"Masa mama udah berangkat, sih?" Gue sapukan pandangan ke sekeliling ruangan. Syukurlah, gue menemukan botol sampo di sebelah rak piring.
"Njirrrr, jangan-jangan si jin ifrit yang mindahin botol sampo ini ke mari? Takut dikeramasin kali mereka," gerutu gue sambil berjalan kembali ke kamar mandi.
Gue lanjutkan mandi manja gue. Firasat gue mengatakan ada sesuatu yang aneh. Iya aneh. Masa sampo botolnya hitam rasa urang-aring, eh ekstrak urang-aring maksud gue, tapi saat gue keluarkan isinya warna hijau. Aroma lemon gituh.
Ahh, masa bodo lah. Penting gue keramas. Mencuci rambut dengan sampo beraroma jeruk nipis yang segar, membuat gue merasa rambut panjang gue jadi begitu berkilau, kuat, dan wangi, terasa lembut, sehat mengembang. Rambut sehat, rambut sehat, inilah lima tandanya rambut sehat jones! Jeng jeng....
Selesai mandi gue ke dapur untuk berburu sarapan. Tampak bibik lagi masak gulai nangka dan ayam goreng.
"Dari mana tadi, Bik?"
"Neng Alma nyariin saya?" jawab Bik Sumi yang kini mengangkat ayam gorengnya.
Wuahhh ... baru lihat penampakannya saja sudah memperbaiki mood gue yang acak-acakan sejak semalam.
"Iya, tadi. Oh ya, mama berangkat jam berapa, Bik?" Gue duduk mengisi kursi gue di meja makan.
Bibik mengambil piring dan menyendokan banyak sayur nangka untuk gue, secara gue enggak makan nasi. "Sekitar pukul tujuh, Neng. Pokoknya habis sarapan langsung berangkat."
Ibu ratu sarapan? Katanya nyonya besar mogok makan, cuihhhh semalam doang ternyata.
Lemah kamu, Mama! Huahahaha.
Gue bukan mengejek atau mengolok kelakuan mama sendiri yang hobi gertak t*i ayam, ye. Cuma senang saja mengetahui fakta bahwa mama tidak berlama-lama nyiksa lambungnya. Biar kata dia bawel en ngeselin, gue sayang banget sama Mama. Gue bakal sedih kalau beliau sakit.
"Neng, lihat botol sampo di sini?" tanya bibik menyela kegiatan lahap-melahap gue.
"Botol sampo item?" Gue balik bertanya dengan mulut penuh.
Si bibik mengangguk mantap.
"Ya di kamar mandi lah, Bik. Gue pake keramas barusan, emang kenapa?" tanya gue, tanpa menatap ekspresi bibik.
"Ya salammmm!" histeris Bik Sumi. "Itu sabun cuci piring dengan kekuatan seribu jeruk nipis, kenapa Neng Alma pakai buat keramas?"
Ayam goreng yang lagi gue kunyah langsung banting setir dongs. Putar haluan, menyembur balik baik dari lubang mulut, maupun lubang hidung. Gue syok 4G, Sist!
Sabun cuci piring yang tadi gue pake buat keramas, seriously? Jiwa missquenn gue meronta seketika. Segininya ke- luarga gue. Padahal kami kaya dan berkecukupan, apa-apaan, segala pungut botol bekas buat tempat refill.
Bedebah!
"Kenapa sabun cuci piring harus dimasuki ke botol sampo sih, BIBIK!?" geram gue kebangetan.
Bibik hanya merunduk penuh sesal sambil menjelaskan bahwa mama beli sabun cuci piring isi ulang, karena takut mudah tumpah, akhirnya bibik memanfaatkan botol sampo kosong untuk tempat sabun tersebut. Yah, bukan salah bibik, bukan pula salah mama. Salahkan saja remah-remah Malkist yang mulai sial ini.
Nafsu makan gue sudah meluap bersama emosi. Gue ber- diri dan beranjak pergi meninggalkan wajah berdosa Bik Sumi yang masih takut dan risau. Lebih baik gue ke kamar, daripada terus ketiban sial.
Gue rebahan di atas kasur. Menyalakan laptop gue, biar gue bisa selesaikan beberapa kerjaan. Begini enaknya punya usa- ha sendiri, gue bisa datang ke butik sesenggang gue. Selain itu gue juga bisa kerja dari rumah, dengan cara mengurus online shop dan order stok barang via email.
"Neng Alma, disuruh jemput Nyonya!" teriakan si bibik menggaung ke telinga.
Gue bangkit dan gegas ke garasi. Ya elah, gue lupa. Hari ini mobil lagi dipinjem adek semata k*****t. Seperti yang sudah gue katakan sebelumnya. Keluarga gue ini kaya tapi kagak raya- raya amat. Kami cuma punya dua mobil, satu mobil mewah milik ibu ratu yang hanya boleh dipakai buat datang ke kondangan pejabat doang, satunya mobil gue yang belon lunas cicilannya. Mama bukan tidak mampu membelikan kami fasilitas mobil. Mampu pake banget, tapi mama tidak suka melakukan itu. Bagi mama lebih baik memberikan peluang usaha biar anak-anaknya belajar cari uang dan bisa beli mobil dengan uang mereka sendiri, daripada langsung memberi kami mobil. Gue salut sih sama pemikiran nyokap gue. Terbukti berkat cara beliau, gue tumbuh jadi anak orkay yang tidak segan bekerja keras.
Udah, deh. Ini gimana gue harus jemput ibu negara? Pakai motor? Oh Tuhan, perasaan gue enggak enak. Sumpah, enggak enak banget. Mana sejak tadi pagi gue ketiban sial. Apa jadinya kalau gue pergi bawa motor? Ehh, ralat, bukan bawa deng, me- ngendarai maksud gue.
"Mama suruh naik taksi aja, Bi. Enggak ada mobil, tele- ponin gih." Gue berkata sambil naik tangga untuk kembali menuju kamar gue.
Beberapa menit kemudian, Bibi ke kamar gue dan mem- berikan gagang telepon dengan bunyi-bunyian magis. Ya, suara mama gue sedang mencak-mencak menunggu kedatangan gue.
"Alma! Mau kamu naik motor, mau naik odong-odong, atau naik pesawat Cessna dengan nol gravity. Pokoknya kamu harus ke sini sebelum jam makan siang!"
Gue jauhkan sejenak telepon terkutuk itu dari telinga gue.
"Jangan lupa dandan yang cantik!" Suara mama tetap terdengar meski samar Intuisi gue mengatakan ada udang di balik bakwan. Tumben mama menyuruh gue dandan? Jelas beliau memiliki maksud dan tujuan terselubung. Roman-romannya bakal ada seekor manusia berbatang yang akan dikenalkan ke gue siang ini.
Gue bete!
Sebenarnya dijodoh-jodohkan bukan hal baru dalam hidup kelam gue sebagai sebangsa jones. Namun tetap saja, ritual berkenalan dengan cowok-cowok itu selalu membuat gue kesal. Mereka rata-rata sok dan perfectionist. Jadi ya, jarang-jarang atau bahkan hampir tidak ada calon dari mama yang mampu terima modelan gue yang nyablak.
Kenapa mama kebelet banget nikahin gue? Padahal gue aman-aman saja dalam kondisi perawan. Apalagi, nikah itu bukan sekadar perkara mendapatkan akta. Bukan urusan s**********n doang. Kalau cuma ngejar dua biji telor dan sebatang sosis jumbo mah gue sudah nikah sama siapa saja sejak zaman megalitikum.
Layaknya cewek lain, gue pengen nikah cuma sekali. Enggak mau kawin cerai kayak selebriti. Jadi, meski sudah kepepet usia, gue tetap punya standar tinggi.
Salah? Oke, gue agak salah. Seharusnya gue nggak banyak memilih. Tapi sedikit banyak juga harus tetap pakai hati, dong. Urusan jodoh kok main-main. Buat seumur hidup, Genks. Mesti terstruktur, sistematis, dan masif.
Sebenarnya gue nggak b***k-b***k amat jadi cewek, cuma bacot doang yang kurang filter. Gitu kok susah banget dapet yang sesuai kriteria gue ya. Apa kabar kalau tampang gue turut blang- sak?
"Neng, Nyonya telepon lagi." Bibik menghentikan gerakan tangan gue yang asyik mencepol asal rambut pirang gue.
Ckck.
Ibu negara sudah tidak sabar. Gue harus meluncur sebelum beliau mengganti kelamin gue.
_-_