SF 02

1798 Kata
Satu bulan kemudian. Helaan napas lega dikeluarkan oleh gadis muda keturunan Spanyol yang baru saja turun dari pesawat. Ia menghirup dalam-dalam udara hangat serta panas di negara yang selama tiga bulan kedepan akan menjadi rumahnya. “Lebih panas dari delapan tahun yang lalu,” gumam gadis muda yang tak lain adalah Alice tersebut. Ia pun melanjutkan perjalanannya menyusul orang-orang lain yang sudah lebih dulu menuju pemeriksaan imigrasi. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya ia bisa juga keluar dari area bandara dan kehadirannya langsung disambut oleh seseorang yang dirindukannya. “Gimana perjalanannya?” Tanya Ara yang menjemput adik iparnya tersebut. “Gak enak banget, Kak! Masa’ ya orang dibelakang kursiku naik-naikin kakinya, mana bau banget lagi. Sampek pengen muntah saking gak tahannya,” cerita Alice dengan wajah yang tampak sangat tidak nyaman. Sayangnya, sang kakak ipar tidak menunjukkan simpati dan malah menertawakannya. “Kamu sih, suruh naik kelas satu gak mau,” seloroh Ara. “Kalau kelas satu bisa memangkas waktu perjalanan, aku gak bakal nolak,” sahut Alice. “Tapi ‘kan lebih nyaman.” “Iya sih, daripada ketemu penumpang yang macem tadi,” Alice menggerutu kesal. “Oh ya, Mas Juna sama Angela kok gak ikut nyusul?” “Angela masih di sekolah, ntar kita sekalian nyusul dia. Kalau mas Juna ada kerjaan diluar kota, sore nanti baru balik,” jelas Ara. Kedua bersaudara itu telah sampai di area parkir. Setelah memasukkan semua barang bawaan Alice kedalam bagasi, mereka segera beranjak pergi dari area bandara. “Kamu beneran mau tinggal sendiri selama disini?” tanya Ara memastikan. “Aku pengen belajar mandiri, ‘kak,” jawab Alice yakin. “Harusnya malah sejak lulus sekolah menengah atas aku udah bisa mulai belajar tinggal sendiri kayak anak-anak yang lain, tapi belum diizinin sama mommy, daddy.” “Tinggal di rumah kakak aja dulu lah, Al. Kamu ‘kan juga butuh adaptasi lingkungan. Kalau langsung sendirian, terus kaget malah kakak yang khawatir,” bujuk Ara sambil sesekali melirik sang adik ipar. “Iya deh iya, aku tinggal di rumah kakak beberapa hari,” pasrah Alice. “Tapi jangan sering pamer mesra-mesraan, ya! Kasihanilah jomlo ini yang setiap hari sudah disuguhi pemandangan bucinnya si mantan playboy.” Ara tergelak oleh rengekan adik iparnya. Ia bahkan sampai menitikkan air mata saking kerasnya tertawa. “Ih, malah diketawain,” kesal Alice. “Kamu tuh, bahasa Indonesia udah lancar, bahkan kosakata gaul juga udah paham, tapi aksen Spanyolmu itu loh Al, lucu tau gak?” “Lah, dia gak ngaca! Kak Ara tuh kalau lagi ngomong Spanyol aksennya medok, sama aja,” dengus Alice. “Sorry deh, abis gak tahan mau ketawa,” sahut Ara masih sambil terkekeh. “Dan janji juga gak bakal pamer mesra di depan kamu. Lagian aku sama Mas Juna gak bisa bebas mesra-mesraan lagi, orang Angela suka cemburu kalau lihat papanya nempel ke mamanya, kayak yang mau direbut gitu reaksinya.” Keduanya kembali tertawa dan membicarakan apapun yang bahkan sangat random. Memang sedekat itulah hubungan kedua ipar ini. Jarak umur belasan tahun keduanya sepertinya juga tak menjadi penghalang dari kedekatan tersebut. Lagipula, seperti yang pernah Ara ungkapkan sebelumnya, Alice adalah wanita yang supel, ceria, dan selalu ramah. Sehingga tidak heran jika ia bisa dengan mudah akrab dengan orang yang bahkan baru ditemuinya. ===== Hari Senin kembali menyapa. Seperti para pekerja pada umumnya, hari senin juga merupakan hari yang cukup sibuk bahkan untuk Andra yang merupakan CEO dari perusahaan korporasi milik keluarganya. Cukup banyak jadwal meeting dengan berbagai divisi untuk mengevaluasi perkembangan perusahaan, sehingga tidak heran jika pemuda yang memang selalu tepat waktu tersebut sudah menginjakkan kakinya di gedung berlantai tiga puluh lebih itu sejak sebelum jam kerja dimulai. Ia menaiki lift khusus direksi yang akan mengantarkannya ke lantai tertinggi dimana ruangannya berada. Disampingnya ada asisten pribadi serta sekretaris yang memang selalu mengekor. Sifatnya yang terlalu pendiam dan dingin membuat kedua orang dibelakangnya tersebut juga sungkan untuk barang sekedar menyapa. Sayangnya, sebelum lift tertutup seorang perempuan dengan setelan kerja serta sepatu hak setinggi sepuluh sentimeter berlari kearah mereka. Wanita itu juga mengulurkan tangannya meminta agar pintu lift tidak ditutup. Hanya saja, Andra bukanlah seorang atasan yang mau menunggu pegawainya sehingga tak ada seorang pun yang berani menghentikan laju pintu besi itu untuk merapat. “Mierda,” umpat wanita yang tak lain adalah Alice tersebut. Masih terlalu pagi untuknya merasa kesal. Sesekali ia juga mengomel dalam bahasa Spanyol sambil menunggu lift selanjutnya datang. Wajahnya yang seratus persen bule serta perawakan yang tinggi semampai membuatnya menjadi pusat perhatian karyawan lain yang juga akan memulai harinya di kantor ini. Tatapan memuja dari para pria serta iri dari para wanita sama sekali tak membuatnya terganggu. Ia malah tanpa sungkan menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. “Good morning, have a great day,” ujarnya sambil melemparkan senyum terbaiknya. Beberapa pria tampak salah tingkah mendapatkan sapaan dari Alice. Tak jarang dari mereka yang saling memukul dengan gemas atau bahkan dengan berani mengajak berkenalan. “Do you need something? We can help you,” ujar salah seorang diantara mereka yang berperawakan cukup tampan. Sayangnya, Alicia bisa dengan mudah mengetahui tipe pria seperti apa yang sedang mengajaknya berbicara tersebut. Pengalaman yang mengajarkannya demikian. “Tidak perlu, aku tahu tujuanku,” sahut Alice tanpa menanggalkan keramahannya. “Wah, kamu bisa bahasa Indonesia?” Tanya si pria tadi tak percaya, pun dengan teman-temannya yang semakin menatap Alice dengan kagum. “Aku bahkan bisa bahasa Jawa. Dikit-dikit, sih,” jawab Alice menggunakan gestur tangan yang menunjukkan betapa lentik jemarinya. Ting Pintu lift kembali terbuka dan Alice terlebih dahulu berpamitan pada teman-teman berbicaranya tadi sebelum masuk kedalam balok besi tersebut. Untung saja di hari pertama magangnya ini ia berangkat lebih awal meskipun dengan paksaan dari kakaknya yang hapal dengan kemacetan Jakarta. Jika tidak, mungkin Alice sudah terlambat. Apalagi ia juga sempat tertinggal lift yang akan membawanya ke lantai teratas. Tak butuh waktu lama akhirnya Alice sampai di lantai tujuannya. Berbeda dengan lantai-lantai lain yang cukup ramai hilir-mudik pekerja, lantai teratas ini cukup sepi. Hanya ada beberapa ruangan penting khusus direksi, meja sekretaris, pantri, ruang tunggu, serta toilet umum. Tak ada yang berlalu-lalang kecuali OB atau OG yang sedang melakukan tugasnya. Dengan langkah tegap, Alice segera menuju ke meja sekretaris. Perempuan berusia beberapa tahun lebih tua darinya tersebut bernama Wildan dan akan menjadi supervisor Alice nanti. Administrasi yang sebelumnya sudah diurus oleh kakak serta kakak iparnya membuat Alice tak perlu lagi mendatangi ruang HRD dihari pertamanya bekerja ini. “Good morning, Ma’am,” sapa Alice dengan sopan. Sayangnya, wanita yang akan menjadi atasannya itu hanya melirik sekilas lalu kembali larut pada komputer dihadapannya. Alice sempat mengerucutkan bibirnya kecewa karena tak disambut dengan baik. “Ma’am, dia pikir gue udah emak-emak apa?” Ketus Wildan lirih. “You’re summoned by Mr. Sagara. Go to his room!” Alice tersenyum getir mendengarnya. Mungkin Wildan kira Alice tidak memahami kalimatnya yang pertama. “Terima kasih,” sahut Alicia ramah dan membuat Wildan mengalihkan perhatian padanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Saya lancar bahasa Indonesia, bu. Tidak perlu pakai bahasa Inggris. Kalau begitu saya permisi.” Wildan tampak terkesiap bahkan menggerutu selepas kepergian Alice. Ia merasa dipermainkan oleh bule itu yang tak menggunakan bahasa Indonesia sejak awal. ===== Sebelum masuk ke ruangan khusus CEO, terlebih dahulu Alice mengetuk pintunya yang terbuat dari kaca tebal. Dari jarak ini ia bisa melihat jika pemuda yang menduduki posisi paling tinggi di perusahaan ini tengah fokus dengan pekerjaannya. Untuk sesaat, Alice tampak terkesima dengan pemandangan dihadapannya. Memorinya dari delapan tahun lalu kembali berputar dan menghasilkan seulas senyum cerah di wajah cantik nan eksotisnya. “You’re aging like a fine wine, Andra,” gumam Alice tepat sebelum ia dipersilahkan masuk. Jantung gadis itu bertalu saat ia kembali bertatapan dengan seseorang yang pernah menyita perhatiannya diawal usia remajanya dulu. Alice pikir, ia tak akan merasakan perasaan apapun jika kembali bertemu dengan Andra. Pasalnya selama delapan tahun ini ia sama sekali tak pernah bertemu ataupun mendengar kabar tentang pemuda itu. Namun, nyatanya debar jantung Alice sama kerasnya dengan suara tumbukan lantai keramin dan hak sepatu yang ia kenakan. Meski demikian, tatapannya tak sekalipun lepas dari sosok pemuda dengan ketampanan khas Indonesia tersebut. Setelan jas berwarna marun yang dikenakannya tampak begitu pas menyokong bentuk tubuh Andra yang gagah. Wajahnya yang semakin matang dengan rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu membuatnya tampak begitu maskulin. Belum lagi mata tajam yang terbalut kacamata bening itu. Ternyata Andra masih memiliki efek buruk untuk kesehatan jantung seorang Alicia Noella Sanchez. Andra yang awalnya sedang duduk dibalik meja kerjanya pun bangkit dan memutari benda terbuat dari kayu tersebut. Langkahnya berhenti didepan meja dan ia bersandar disana dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana, menambah kesan misterius serta menguatkan aura bos yang dimilikinya. Tatapan matanya bertemu dengan netra abu-abu kehijauan milik Alice yang kini berjalan mendekat padanya. Gadis remaja yang dulunya hanya setinggi bahu Andra itu kini menjelma menjadi wanita berparas cantik bak model dengan tinggi semampai yang mampu menarik perhatian setiap tatapan kaum adam. Tak terkecuali Andra. “Ini akan sulit,” batin Andra tanpa mengubah ekspresi wajah yang tetap datar. “Hai,” sapa Alice ramah begitu sampai dihadapan Andra. Senyum indah itu tak sedikitpun luntur bahkan tampak semakin mempesona. “Soy tu jefe! Comportarse,” tegur Andra menggunakan bahasa Spanyol yang cukup lancar dan membuat Alice agak tercengang. Ia memperingatkan Alice untuk menjaga sikapnya. “Maaf, ini pertama kalinya aku belajar untuk bekerja,” sahut Alice kembali pada mode sopan. “Bahasa Indonesiamu sudah lancar,” komentar Andra tetap datar. “Kamu juga bisa bahasa Spanyol,” balas Alice. “Perbaiki cara penyebutanmu! Bukan aku dan kamu, tapi saya dan anda. Gunakan bahasa formal karena ini di kantor,” sekali lagi Andra mengoreksi. “Ah, baik. Terima kasih sudah mengingatkan, saya akan terus belajar, Pak Andra,” balas Alice dengan senyum yang menampilkan barisan gigi putihnya. “Tapi setelah jam kerja saya boleh bicara informal, ‘kan? Bagaimanapun kita juga bukan orang lain meskipun sudah lama tidak bertemu.” Seperti kebiasaan Andra, pemuda itu sangat jarang menjawab pertanyaan atau permintaan yang menurutnya tidak penting, termasuk permintaan Alice barusan. Ia hanya merespon dengan menatap tajam iris kehijauan itu yang membuat si empunya mengerucutkan bibir kesal. “Maaf,” cicit Alice. “Apa kamu sudah tahu deskripsi pekerjaan yang harus kamu kerjakan?” tanya Andra kemudian. “Belum,” jawab Alice. “Nanti saja tanyakan pada Wildan. Sekarang aku akan memberitahukan apa-apa saja yang tidak boleh kamu lakukan selama bekerja disini. Contohnya sepatu itu. Jangan lagi menggunakan sepatu yang bisa menimbulkan suara, berisik!” Alice menurunkan pandangannya pada sepatu bermerek Louboutin yang baru dibelinya sebelum berangkat ke Indonesia beberapa hari lalu. “Tapi karyawan yang lain juga pakai,” protes Alice. “Jangan membantah!” “Baik,” Alice kembali mengerucutkan bibirnya dengan kepala tertunduk. Ia merasa sayang pada sepatu barunya yang begitu pas melapisi kaki jenjangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN