SF 03

1296 Kata
Saat keluar dari ruangan CEO, raut wajah Alice berubah seratus delapan puluh derajat dibandingkan tadi saat ia masuk. Kini ia tampak menekuk wajahnya dengan bibir yang mengerucut. Langkahnya gontai menghampiri meja Wildan yang sedang sibuk dengan laptop dihadapannya. “Bu, apa ibu punya ikat rambut lebih?” tanya Alice dengan wajah cemberut. Konsentrasi Wildan pun terganggu dan ia beralih menatap Alice yang kini sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang diletakkan diatas meja menopang dagunya. Kelopak mata gadis dua puluh tahun itu tampak berkedip-kedip bagaikan anak kucing yang memelas. “Untuk apa?” Wildan balik bertanya dengan datar. “Pak Andra protes karena rambut saya tidak diikat,” jelas Alice. “Memangnya ada peraturan tentang dress code, Bu? Pak Andra juga memprotes sepatu saya, padahal ini masih baru.” Wildan mengusap pelipisnya mencerna kalimat si pemagang yang tampak menyedihkan. Ia tak langsung menjawab dan terus memperhatikan penampilan Alice dari atas ke bawah. Penampilan gadis itu tampak normal. Rambut coklat terangnya yang tak agak tipis itu memang tergerai begitu saja, tetapi cukup rapi dengan model loose curl yang sangat cocok dengan bentuk rahang Alicia. Pakaian yang dikenakan gadis itu juga cukup sopan meskipun masih bisa memamerkan kaki jenjangnya, karena ia mengenakan rok model skort berwarna hitam. Untuk atasan, ia mengenakan blouse lengan panjang motif bunga dan berwarna mocca. Sedangkan sepatu yang Alice kenakan memang bermodel stilleto dengan hak setinggi dua belas sentimeter. Pantas saja Andra mengatai sepatu itu berisik, tetapi selama bekerja di perusahaan ini, Wildan tak pernah mendengar Andra mengajukan protes hanya karena sebuah sepatu. Pria dua puluh enam tahun itu bahkan cenderung tak acuh dengan sekitarnya. Wildan menghela napasnya beberapa saat lalu membuka laci mejanya. Ia mengambil sebuah ikat rambut berwarna hitam dari dalamnya. Seulas senyum mereka langsung terbit dari bibir si gadis muda dan ia tampak berbinar. Namun, saat Alice akan meraih ikat rambut tersebut, Wildan kembali menariknya dan membuat Alice kembali mengerucutkan bibir. “Dengan satu syarat!” seru Wildan tajam. Alice mengangkat sebelah alisnya, menunggu kalimat Wildan lebih lanjut. “Jangan panggil saya Bu, karena saya belum menikah. Panggil Mbak atau Kakak saja, kecuali saat ada agenda resmi baru boleh panggil Bu,” pinta Wildan. “Si, Kak Wildan,” sahut Alice girang dan Wildan pun memberikan ikat rambutnya. “Ah, jangan juga pakai bahasa negaramu, saya tidak mengerti.” “Iya, Kak. Maaf kalau nanti suka kecampur-campur. Masalah klasik multilingual,” seloroh gadis itu sambil mengikat kuda rambutnya. Hal itu membuat leher jenjang Alice yang dihiasi sebuah kalung kecil berliontin safir tampak semakin jenjang. “Kalungmu cantik,” puji Wildan jujur. “Terima kasih,” balas gadis itu. “Oh ya, apakah ada toko sepatu di dekat sini? Aku harus menggantinya.” “Nanti saja saat jam makan siang. Kamu perlu di briefing dulu,” ujar Wildan yang siap memberikan pelatihannya. “Tidak, Kak! Pak Andra melarang saya bekerja sampai saya mengganti sepatu,” bantah Alice yang membuat Wildan mengernyit heran. “Ngarang kamu! Pak Andra tidak pernah berkomentar tentang pakaian,” Wildan menyangkal. “Benar, Kak! Sungguh, saya tidak bohong,” ujar Alice membela diri. Bersamaan dengan itu, telepon duduk yang ada di meja Wildan berdering. Sekretaris senior itu segera mengalihkan pandangan dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari ruang CEO. Tak butuh waktu lama sampai ia kembali menutup teleponnya dan kembali menatap Alice yang masih setia berdiri disamping meja. “Pak Andra minta dibuatkan kopi,” ujar Wildan. Alice berkedip beberapa kali lalu menepuk dadanya pelan dengan sebelah tangan, “Saya?” “Ya, itu tugas sekretaris baru,” jawab Wildan singkat. “Pantri ada di sebelah sana. Ingat, Pak Andra hanya menyukai espresso. Kamu bisa membuatnya, ‘kan?” Alice tampak ragu dan mengusap tengkuknya. “Akan saya coba.” “Ya sudah, sana!” Alice mengangguk singkat, lalu bergerak kearah yang Wildan tunjukkan. Di Barcelona sana ia memang cukup sering membuat kopi tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga keluarganya. Namun, Alice tidak terlalu yakin apakah kopi buatannya akan cocok untuk Andra yang katanya terlalu ruwet tersebut. ===== Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya pesanan yang Andra minta telah sampai di mejanya. Alice sendiri yang mengantarkan setelah ia meminjam sandal Wildan untuk mengganti sepatunya. “Maaf, saya memakai sandal santai,” ujar Alice tanpa menjelaskan alasannya. Andra menatap kaki Alice beberapa saat lalu kembali beralih menatap lurus iris berwarna hazel dihadapannya. Tatapan Andra tetap datar tanpa ekspresi dan ia juga tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. “Saya permisi,” lanjut Alice seraya mengangguk singkat dan berbalik badan. “Buang ini!” seru Andra singkat, tajam, dan dingin. Kalimat itu menghentikan langkah Alice yang kini kembali menatap bos sekaligus sepupu kakak iparnya tersebut. Sebelah Alice mengernyit saat Andra kembali mengulurkan gelas kopi yang tadi dibawakannya. “Kenapa dibuang?” tanya Alice bingung, tak juga mengambil gelas tersebut dari tangan Andra. “Jangan banyak tanya dan buatkan yang baru!” Alice menerima gelas itu dengan heran. Benar dugaannya, Andra tidak menyukai kopi buatannya. Ia melangkah keluar dengan lemah lalu kembali membuatkan minuman pesanan si bos. Kejadian serupa terus terulang sebanyak lima kali yang mana Alice bahkan tidak mengetahui dimana letak kesalahannya. Andra sama sekali tak memberikan petunjuk hingga Alice harus mondar-mandir berkali-kali. Sempat bertanya pada Wildan mengenai selera Andra, tetapi Wildan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kopi buatan Alice. Wildan bahkan sudah mencicipi kopi yang ditolak oleh bosnya tersebut. Alice benar-benar merasa di kerjai oleh pria itu. Seandainya saja bukan seorang bos, Alice mungkin sudah akan memaki Andra yang membuat hari pertamanya bekerja menjadi begitu buruk. “Menyebalkan! Awas kalau salah lagi, kulempar saja cangkir ini ke wajahnya yang sedatar tembok itu,” gerutu Alice. Gadis itu memasuki ruangan Andra setelah dipersilakan. Netranya menangkap sosok Andra yang masih anteng diatas kursi keberasannya memeriksa berkas-berkas sekaligus layar datar monitor komputer. “Pesanan anda, Pak,” ujar Alice sesopan mungkin. Andra tak mengucapkan apapun. Pria itu hanya menghentikan kegiatannya lalu menyesap kopinya seperti yang ia lakukan sebelumnya. Pelipisnya bertaut begitu rasa kopi menyapa lidahnya. Setelah itu dengan cepat dan kasar ia kembali meletakkan cangkir tersebut diatas meja. “Ulangi!” Cukup sudah kesabaran Alice diuji. Gadis itu menghela napasnya panjang dengan kedua telapak tangan yang menggenggam erat serta rahang yang mengeras. Tak lama kemudian ia menghembuskan napas panjang, lalu menarik kedua ujung bibirnya membentuk segaris senyum terpaksa. “Bisakah anda mengatakan bagian mana yang harus saya perbaiki?” tanya Alice tak ingin kalah. Andra mengangkat pandangannya dan menatap Alice datar, sebuah ekspresi standar yang mungkin tak akan bisa berubah akibat otot wajahnya yang telah membeku. “Pakai Robusta, bukan Arabica,” sahut Andra tak acuh seraya kembali fokus pada kegiatannya. Sekali lagi Alice menggeram kesal, “Apa terlalu sulit untuk mengatakan hal itu? Kalau saja kamu bilang daritadi, aku tidak akan capek mondar-mandir seperti ini! Lagipula apa bedanya Robusta dan Arabica? Sama-sama biji kopi yang rasanya pahit.” Andra kembali menatap Alice dengan alis yang bertaut. Ekpresi kesal dan marah Alice tampak menggemaskan dimatanya, tetapi Andra tetaplah Andra yang tak bisa berekspresi. “Sudah selesai?” tanya Andra datar. “Hah?” “Cepat lakukan pekerjaanmu,” perintah Andra tak ingin berbasa-basi. Alice berdecak kesal seraya meraih cangkir di meja Andra dengan wajah yang cemberut. Setelah mengucapkan permisi, ia segera berbalik arah dan meninggalkan ruangan tersebut. “Alice?” panggil Andra saat gadis itu hampir meraih gagang pintu ruangannya. “Apa?” tanya Alice ketus. “Apa saya harus memperingatkan kembali bagaimana caramu berbicara pada atasan? Kalau kamu terus seceroboh itu, saya tidak akan segan memberikan hukuman,” peringat Andra. Alice menahan keinginannya yang ingin memutar kedua bola matanya sebagai ungkapan kekesalan. “Baik, Pak! Maaf saya sudah tidak sopan,” sahut Alice seraya mengangguk singkat dan buru-buru pergi dari ruangan Andra. Pria yang masih duduk di kursi kebesarannya itu mengulas senyum singkat sebelum kembali larut pada pekerjaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN