"Bukankah banyak yang bilang, habis hujan ada pelangi yang menghiasi langit? Tapi bagiku tidak sehabis hujan saja akan tampak pelangi."
Bagi Anastasia, pelangi itu muncul di saat yang tidak tepat. Kenapa bisa seperti itu? Tampak sosok pria yang berdiri di depan bias cahaya sinar matahari. Seperti warna-warni pelangi, tubuh pria itu tidak tampak jelas di balik mata sendu yang berkilat.
Air mata yang menggenang di kedua bulatan mata Anastasia, membuat jarak pandang matanya tidak terlalu jelas. Hanya saja, suaranya tidaklah asing.
"Apa Saya menggajimu hanya untuk menangis di tempat ini?"
Anastasia terkesiap, dia menoleh ke arah suara, dan mencoba memperjelas pandangannya.
"Kenapa hanya berdiam? Apa kau tuli?"
Anastasia semakin yakin itu adalah atasannya tadi yang sempat memarahinya. Dengan cepat Anastasia mengusap air matanya dan berdiri. Kakinya dengan berani melangkah untuk mendekati atasannya.
"Maaf pak." Anastasia menunduk. Kedua ibu jarinya saling bersentuhan hingga berkeringat
"Sudah dua kali, di hari pertama saya, kamu meminta maaf ke saya. Anastasia Halim!" bentak sang CEO.
Anastasia mengangkat wajahnya dan menatap sang atasan yang sedang menatapnya.
"Iya Pak." balas Anastasia gugup.
"Apa yang membuatmu menangis? Apa kata-kataku tadi menyakiti hati mu?" tiba-tiba suara pria di depannya melunak lembut.
Anastasia menggeleng.
"Tidak Pak. Bukan karena bapak, saya hanya butuh udara segar pak." balas Anastasia menunduk.
Pria itu menatap ke wajah yang menunduk. Perasaannya bukanlah bersalah, hanya membingungkan.
"Kalau begitu, cuci wajah kamu. Dan kembalilah bekerja. Saya tidak suka, melihat karyawan saya mencuri waktu di saat jam kerja." Perintahnya dengan berjalan meninggalkan Anastasia, sebelum mendapatkan jawaban darinya.
Anastasia lagi-lagi menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum dia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam gedung kantor.
Sesampainya di kubikel.
"Lo ke mana aja Nas? Pak Jaxton mencari lo." bisik Mark.
Anastasia menoleh ke arah Mark, dahinya mengerut.
"Siapa lo bilang?" tanya Anastasia memutar tubuhnya ke Mark.
"Pak Jaxton loh Anastasia. Kuping lo sewasta ya. Ingat gak lo?" tanya Denada.
"Bukankah Jaxton itu sepupunya Mark?" tanya Anastasia kaget.
"Huum... uda ingat kan?" tanya Mark lagi.
"Terusss... kenapa dia nyariin gue?" Anastasia masih belum sadar dari obrolan sahabatnya itu.
Denada dan Mark, sama-sama menarik nafas dalam bersamaan.
"Lo habis nangis sih! Jadinya, gak konek. Jaringan lo lelet Nas." Mark merasa kesal.
"Anastasia ku sayang, atasan kita itu namanya Jaxton. Pak Jaxton, yang sempat kenalan dengan kita, di rumahnya si Mark. Gitu loh beb, paham kan? Masa iya lo gak kenal?" Denada menyipitkan matanya.
Anastasia bibirnya membisu. Kepalanya mengangguk.
"Woi! Kenapa lo jadi patung?" Mark membuyarkan lamunan Anastasia.
"Bukan gitu. Gue rasa beda banget kan ya? Sekarang lebih gagah karena mengenakan pakaian formal, juga
pakai jas. Kemarin kan santai banget kelihatannya. Jadi, gue gak bisa membedakan gitu." balas Anastasia seraya menarik tubuhya, mensejajarkan pandangannya ke komputer.
"Yang penting, sama-sama tampan kan?" bisik Mark.
"Iya kan aja, biar cepat." balas Anas acuh.
Mark tertawa. Ketiganya kembali mengerjakan tugas mereka masing-masing.
***
Jam makan siang pun tiba, kini Mark mengajak Anastasia dan Denada ke kantin yang memang di sediakan oleh pihak perusahaan. Gratis, karena memang perushaan tempat mereka bekerja, memperhatikan karyawannya.
"Tumben gak ngajak makan di luar?" tanya Denada.
"Gue lagi kere. Kanker, kantung gue kering!"
"Hello... seorang Mark gitu loh! Anak dari Tuan Maxim Jones, Opa lo. Keluarga Jones yang berpengaruh di belahan dunia. Gue baru tau, kalau lo selama ini memang keturunan pembisnis ya Mark." sindir Denada.
Plakkkk....
"B aja! Gue gak suka malahan orang tau dan gue hanya beruntung saja, di lahirkan di keluarga itu." Mark menoyor kepala si Denada.
Denada mencebikkan bibirnya, dengan melototkan matanya ke arah Mark yang dengan santainya berjalan menuju kantin.
"Kenapa lo diam aja sih Nas?" Mark tiba-tiba menoleh ke Anas.
"Egh, gak apa-apa. Gue cuma bingung aja ya, sepupu lo jadi atasan lo?"
"Gak gitu, dulu kan gak ada yang megang. Om gue lagi sakit Nas, jadinya itu ya, Kak Jaxton yang di minta mengelola secara langsung." balas Mark menjelaskan.
"Tapi, muka lo pada mirip bule ya Mark. Gue kok jadi suka gitu sama sepupu lo." Denada tersenyum sendiri.
"Hemmm, kan opa kami keturunan bule."
"Duduk di sana aja ya." Anas menunjuk ke ujung.
"Kenapa di sana sepi sekali? Biasanya juga ramai." ucap Denada.
"Perasaan lo saja! Lo juga jarang makan di sini, sok tau amat lo" ketus si Mark.
"Eh bambank, lo kok cerewet amit sih?"
"Suka gue, mulut-mulut gue." kata Mark sambil mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku yang berada di pojok. Di ikuti oleh kedua sahabatnya, yang duduk di depan dan memunggungi yang lainnya.
"Lo kenapa sih Nas? Kok bisa telat tadi pagi? Gak biasanya dech?" tanya Mark.
"Pesan dulu dech, nanti gue ceritakan." balas Anas mengambil menu makanan siang itu.
Setelah menuliskan menu makan siang mereka, Denada membuka kembali pertanyaan Mark.
"Cerita ke kita! Lo di apain sama Mak lampir?!" sergah Denada.
"Dih, Lo sembarangan igh." balas Anas mengernyit.
"Emang mak lampir! adik lo gerandongnya. Gue tuh yah Nas, kalau di posisi lo, uda gue cekik tuh orang-orang." Denada mengekspresikan kebenciannya.
"Bukan seperti itu sih, gue gak mau membalas kejahatan mereka dengan kejahatan. Berarti gue kan sama aja seperti mereka Nad." balas Anas menatap sendu.
"Yang lo bilang ada benarnya sih Nas. Tapi, mau sampai kapan, pipi lo terus-terusan bercak merah kayak sekarang? Tadi lo nangis kan di atas? Gue tau banget kayak mana lo Nas. Cerita ke kita, apa yang terjadi pagi tadi?"
Anastasia mengulum senyumannya.
"Lo tau kan? Semalam gue menolak ajakan lo pada? kenapa? Karena papa gue, ada tugas di luar kota. Dan kemarin malam aja, mereka perintah gue buat bersih-bersih dapur dan buatka s**u si Savira. Gue sih sempat ngelawan, tapi gue malas ribut. Nah, tadi pagi, kunci mobil gue di ambil sama Mama Windy. Dia suru gue naik angkutan umum selama tiga hari, ya gue nolak dong. Kan itu mobil gue yang di belikan papa, karena gua memang butuh. Lo pada tau kan? Rumah gue ke sini itu jauh. Gue lagi-lagi melawan, pipi gue kena tampar sama Mama Windy. Terus si Savira narik rambut gue. Kasihan sama Mbo Sari guenya. Dia bantui gue ngelawan mereka. Semoga aja besok gue gak telat lagi ya? Gue takut kena SP sama sepupu lo Mark. Gara-gara telat mulu, gue takut." keluh Anas.
"Gue kasihan banget sama Lo Nas, lo baiknya kebangetan. Kenapa Mak lampir dan anaknya tega banget nyakiti lo." Denada menyentuh punggung tangan Anas.
"Keknya lo harus benar-benar menikah dech Nas, biar kesialan lo hilang gitu. Hapus semua kenangan buruk karena kegagalan dari pernikahan lo! biar cepat dapat penggantinya gitu. Gue yakin, kalau lo menikah nih, hidup lo bakalan bahagia selamanya." Mark berkata dengan penuh kepercayaan.
"Emang lo cenayang? Tau apa lo tentang masa depan?" sindir Denada, matanya di buat sinis.
"Yeeee gue kan cuma mendoakan Nad."
"Eleh Markonah! Lo itu ya, harusnya banyak-banyak berdoa buat diri lo sendiri! Lo kan juga jomblo! Sok-sokan lo doakan si Nanas!"
"Iyeee iyeee... Abang selalu salah di mata adik." balas Mark dengan pasrah.
Anastasia dia tersenyum, keduanya adalah kekuatan dalam dirinya. Mark dan Denada, adalah sahabatnya sejak mereka duduk di bangku SMA. Ketiganya berpisah, saat mengambil kuliah di Universitas yang berbeda.
Di pertemukan kembali, saat Denada yang duluan bekerja di Perusahaan Jonex hingga mempertemukan dirinya dengan Mark.
Alhasil, keduanya mengajak Anastasia bergabung dan di terima di bidang yang sama. Mereka bertiga, adalah juara umum di kelas mereka. Anastasia peringkat pertama, Mark kedua dan Denada ketiga.
Mereka ke mana-mana selalu bertiga. Sehingga mereka sering di juluki dengan, "Trio Kwek-Kwek."
"Tuan, mobil anda sudah siap." kata salah satu asisten pribadi atasan baru di perusahaan Jonex.
Mark, Denada, Anastasia, terkesiap dan menoleh ke arah suara.
"Baiklah." Pria jangkung di belakang Anastasia dan Denada itu beranjak dari duduknya.
Bersambung.