BAB06

1878 Kata
Dengan mengendarai mobil sedanku, aku melaju di tengah keramaian jalanan yang di padati oleh kendaraan roda empat maupun roda dua, di mana memang ini adalah jam pulang kerja. Tentu saja sangat ramai dan macet. Terhenti di persimpangan lampu merah, sejenak aku bersandar di jok kemudi. Sebenarnya, Mark dan Denada mengajakku untuk nongkrong di salah satu cafe di dekat rumah si Mark. Tapi, Aku tidak bisa mengiyakan ajakan mereka. "Nak papa berangkat ke luar kota ya. Tiga hari saja, papa mau mengurusi pekerjaan yang sempat terhenti. Kamu, jangan melupakan sarapan dan istirahat yang cukup." kata papa di pesan singkat. Aku menarik nafas dalam-dalam. "Drama apa lagi, yang akan terjadi di rumah. Tiga hari pula papa di luar kota, aku benar-benar bisa gila." ucapku menatap jalanan. Lampu hijau menyala, pertanda aku harus melajukan mobil sedanku. Dengan perasaan gunda gulana, ku bawa diri ini hingga tiba di persinggahanku. Sesampainya di rumah. "Selamat malam." sapaku saat mendapati Mama Windy dan Savira di ruang tamu. "Malam! Sudah sana naik ke atas, selesai kau bersih-bersih, turunlah." balas Mama Windy tanpa menatapku. "Baik Ma." balasku sambil berjalan menuju anak tangga. Apa lagi yang hendak mereka lakukan? Arghh... aku ingin sekali menginap di rumah Denada atau Mark. Cuma bersama mereka saja, aku bisa aman selagi gak ada papa. Di dalam kamar, ku lempar tubuh ini. Memang sangat melelahkan. Jarak dari rumah ke kantor, aku bisa menempuh satu jam lebih. Terasa banget lelahnya, di saat jam pulang kantor. Ku bawa tubuh ini ke kamar mandi. Setelah selesai melakukan ritual bersih-bersih, langsung saja aku keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Terlihat dari kejauhan, Mama Windy dan Savira tertawa bersama. Entah apa yang mereka tonton, hingga keduanya bisa tertawa dengan lepas. "Ma, Anas makan ya." ucapku sebelum aku ke meja makan. "Yaaa! Makanlah, selesai makan, kau cuci piring kotor." katanya sambil mengunyah buahnya. "Baiklah Ma." kataku sambil memutar tubuhku. "Egh tunggu dulu! Sebelum kau makan, buatkan aku s**u hangat." perintah Savira. Aku kembali memutar tubuhku, dengan tangan terkepal, aku pun berkata. "Apa kau tidak punya tangan dan kaki?" Mama Windy langsung melotot ke arahku. "Ma." ucap Savira sambil merengek. "Kau melawan?" Mama Windy beranjak dari duduknya. "Maaa! Savira uda gedek, dia bisa  membuatnya sendiri." kataku tanpa takut. Mama Windy melangkah mendekatiku dan menarik rambut panjang yang aku kuncir. "Kau seorang Kakak... harusnya kau mengalah! Cepat buatkan!" bentaknya. Aku merintih kesakitan, tapi air mataku, aku menahannya. Agar mereka tidak merasa senang, di atas penderitaanku. "Bu, biar saya saja yang buatkan. Tolong jangan kasar dengan Nona Anas." ini Mbo Sari. Sudah bekerja di rumah ini, sejak mama masih mengandung Aku. "Awas saja kamu membantu dia! Biarkan dia mencuci piring dan membuatkan s**u untuk Savira. Kalau kau berani melawan titahku, kau yang akan aku pecat!" ancam Mama Windy, sambil melepas rambutku dengan kasar. "Ayo Non." Mbo Sari gak peduli, dia tetap menarik lenganku, dan mengajakku untuk berjalan ke dapur. Di dapur, Mbo Sari memintaku untuk duduk di meja makan. Tapi, Aku menolak. Aku tidak ingin membawa masalah untuk Mbo Sari. "Tidak usah Mbo, biar Anas aja ya." "Yang sabar ya Non, selalu saja mereka membuat keributan, saat bapak gak ada di rumah." "Tidak apa-apa Mbo, semua ada waktunya. Mbo Istirahat saja, Anas antar susunya dulu ya." kataku sambil berlalu dari dapur. Sesampainya di ruangan tamu. "Gitu dong! Tunduk, jangan suka menentang permintaan kita." Savira, betapa angkuhnya dia. "Saya permisi." ucapku. "Jangan lupa! Bersihkan meja makan." teriak Mama Windy. Aku tidak menjawab, terus melangkah dengan menahan sedihku. Sesampainya di meja makan, aku menyantap makan malam hanya sendiri. Tapi aku tau, Mbo Sari ada di dapur menatapku. Hanya dia, yang tau cerita di rumah ini, saat papa tidak ada. Hanya saja, Mbo Sari di ancam jika berani-beraninya mengadu. Seusai makan, langsung saja Aku membersihkan seluruh meja makan. Meskipun rasanya sangatlah lelah, tapi ku sembunyikan dalam-dalam rasa sakit hatiku. Agar tidak ada yang tau, betapa sakitnya aku hidup selama di rumah ini. Papa menjadi kekuatanku, kalau saja bukan karena papa, aku tidak akan tinggal diam. Seusai membersihkan seluruh ruangan makan, aku pun bergegas untuk ke kamar. Ku dapati ruangan tamu itu kosong, sudah tidak ada pengacau-pengacau seperti sebelumnya . *** Keesokan paginya, di mana aku sudah mengatur Alarm ku agar terbangun lebih pagi. Aku mengingat ucapan Bu Rika, agar tidak telat di hari pertama kedatangan pimpinan. Buru-buru aku keluar kamar, dan berlari ke bawah menuruni anak tangga. Ku lihat, Mama Windy dan Savira sudah di meja makan. "Selamat pagi." sapaku dengan mengambil roti dan meneguk s**u hangat yang sudah di persiapkan Mbo Sari. "Duduk dulu." perintah Mama Savira. "Maaf Ma, hari ini Anas buru-buru. Anas berangkat dulu Ma." kataku dengan berjalan. "Kau lihat ini?" suara Mama Windy membuat kaki ku terhenti dan menoleh kembali ke arahnya. 'Kunci mobilku.' "Kau lihat ini apa?" tanyanya lagi. "Kunci mobil Anas, bisa di berikan ke Anas Ma?" "Enak saja! Selama ini kau sangat beruntung, papamu membelikan mu mobil. Sementara anakku, naik angkutan umum! Sekarang, selama papamu tidak di rumah, kau yang akan naik angkutan umum! Biar Savira, aku antar dengan mobilmu!" "Ma! Anas gak bisa naik angkutan umum. Karena hari ini ada jadwal penting di kantor Ma. Jadi tolong Ma, jangan merusak pekerjaan Anas." kataku dengan penekanan. "Lo berani melawan mama?" teriak Savira. "Bukan seperti itu! Apa kalian tidak melihat posisi kalian sendiri? Apa kalian tidak pernah puas dengan yang kalian lakukan ke Aku!" teriakku, aku tidak bisa menyimpan kemarahanku pagi ini. "Kau berani melawanku!" Mama Windy berteriak dan berjalan ke arahku. "Kalau aku tidak salah! Aku akan melawan, anda tidak berhak untuk di hormati!" Plakkkkk... Dia menamparku, semakin ku tahan rasa sakit yang selalu ku terima. Aku bukanlah Anastasia kecil, yang hanya menerima makian dan pukulannya. Meskipun aku tidak bisa membalas perbuatannya. Dengan mata berkilat, aku melototkan mataku ke arah Mama Windy. "Kau berani sekali melawanku!" bentaknya ke aku. Dari arah belakang, Savira menarik rambutku dan menolakku. "Kau tidak punya sopan santun, sama orang yang sudah membesarkanmu selama ini! Coba saja tidak ada Mamaku, apa Kau bisa seperti sekarang?!" teriaknya ke Aku yang sudah terjatuh di atas lantai. "Nona Anas, ayo berdiri Non. Tolong jangan kasar Bu Windy, Nona Savira. Kalian keterlaluan!" Mbo Sari kembali membelaku. "Mbo! Jangan ikut campur masalah keluarga kami! Mbo di sini cuma pembantu, gak lebih!" teriak Savira ke Mbo Sari yang sedang membantuku berdiri. "Non! Saya memang pembantu di rumah ini! Tapi, Bapak sudah saya anggap keluarga saya! Dan Nona Anas, sudah di titipkan ke saya, selama Bapak gak di rumah. Ayo Non, berangkat saja. Mbo akan meminta Nak Aldo mengantarkan kamu ke simpang." kata si Mbo dengan beraninya. Aldo adalah tetanggaku, teman kecilku. Kami jarang berteman, semenjak Mama Windy dan Savira menjelekkan Aku ke keluarga Aldo. "Tidak usah Mbo, Anas bisa jalan kaki. Ya sudah Mbo, Anas berangkat ya." Pamitku ke Mbo Sari yang menatapku sedih. Sebisa mungkin Aku tersenyum ke Mbo Sari, dengan membenarkan rambut dan pakaianku, Aku pun berjalan sambil tertatih menuju pintu keluar. Dengan tegar, aku melangkahkan kakiku yang terasa perih, menuju persimpangan jalan yang akan membawaku untuk mengambil angkutan umum, yang melewati perusahaan di mana tempatku  bekerja. Air mata pun menetas, entah ke berapa kalinya, aku merasa tersakiti. *** Aku benar-benar sangat takut, setelah tiba di loby perusahaan, dengan cepat aku pencet tombol lift agar terbuka. Tak lama, pintu itu terbuka, hingga membawaku tepat di lantai 10. Tingg.... Dengan kaki yang masih sakit akibat benturan ke lantai tadi, aku tetap berjalan seperti biasa. Meskipun, semua mata memandangiku saat ini. Denada dan Mark tampak sangat mengkhawatirkan Aku. Selly, dia seperti menertawakanku. Tak lama, Bu Rika datang dari belakangku. "NAS! Kenapa telat? Gak biasanya kamu bisa telat hampir 30 menit. Saya gak bisa menolong kamu. Beliau tadi tanya ke saya, saat bangku kamu kosong. Dan kamu, di suru menghadap ke ruangan beliau kalau sudah datang." Bu Rika sebenarnya sangat baik. Tapi, ini salahku, wajar Bu Rika takut. "Tidak masalah Bu, baiklah, saya akan ke ruangan beliau." kataku dengan pelan dan menunduk. Bu Rika menyentuh pundakku. "Apa kamu sedang ada masalah dengan Mamamu?" Mataku berkilat, menahan kesedihanku. Ya, Bu Rika tau kalau Aku punya Mama tiri yang jahat. "Iya Bu... gak apa-apa. Maafi saya ya Bu, uda buat Ibu jadi kewalahan. Saya ke kubikel dulu, baru menghadap." kataku pelan. "Baiklah Nas." Aku pun melangkahkan kakiku seperti biasa, agar orang-orang tidak melihat sisi kelemahanku. Aku mendudukkan sejenak tubuhku di bangku kerjaku. "Kok bisa telat sih Nas?" bisik Mark ke Aku. "Iya, apa mama dan adik lo membuat masalah?" bisik Denada. Aku tersenyum. "Nanti gue ceritakan." "Pipi lo merah Nas. Lo di tampar lagi sama Mama tiri lo!" tanya Mark. "Nanti gue ceritakan. Gue ke ruangan bos dulu." kataku sambil berjalan menuju ke ruangan yang bertuliskan, "Ruangan CEO." Tok...Tok... Tok... Aku melihat dari  depan pintu kaca, atasanku sedang menerima panggilan, tapi tangannya melambai ke arahku, untuk mengizinkan aku masuk. Dengan perlahan dan memberanikan diri, Aku membuka daun pintu yang terbuat dari kaca itu, dengan perlahan juga kaki ku melangkah ke depan mejanya. "Selamat pagi Pak." sapaku, dia mengulurkan tangannya, menahanku sejenak. Aku menunduk, tidak berani menatap wajahnya. Aku mendengar suaranya yang sedang berkomunikasi dengan lawan bicaranya di telepon. Hingga satu menit kemudian, suara gagang telepon yang di kembalikan ke posisinya mengagetkanku. Tanganku berkeringat, dengan gugup aku meminkan kuku jariku. Pertanda, aku benar-benar sangat takut. "Ada apa?" tanyanya dengan suara dingin. Aku mengangkat wajahku dengan perlahan, untuk menatapnya. "Maaf Pak, saya Anastasia. Saya di minta menghadap ke Bapak, karena saya telat." Aku dengan berani menatap wajahnya. Kedua manik matanya yang dingin, menatapku sangat dalam. Entah kenapa, tatapan ini pernah ku lihat sebelumnya. "Kau pikir ini perusahaan biasa yang tidak memiliki aturan? apa Bu Rika tidak memberitahu mu tentang kedatangan saya hari ini?!" ucapnya datar dan sedikit membentak. "Maaf Pak. Saya sudah di beritahu oleh Ibu Rika. Hanya saja, saya yang tidak mengindahkannya. Karena ada masalah di rumah saya, Pak." balasku mencoba menjelaskan. Aku takut, kalau Ibu Rika di bawa-bawa karenaku. "Saya tidak peduli! Mau urusan di rumah kamu atau pun keluarga kamu seperti apa! Jadi, ini peringatan pertama saya. Kalau kamu tidak bisa bekerja, bahkan untuk waktu saja kamu tidak bisa tepat waktu, ada baiknya kamu mengundurkan diri!" katanya sambil menatapku tajam. "Baik Pa. Saya akan mengingat ucapan bapak." balasku dengan pelan. "Oke... itu saja! Sekarang anda bisa keluar." "Terima kasih Pak, saya permisi." Aku membungkuk setengah tubuhku sebelum melangkahkan kakiku keluar ruangannya. "Oh ya! Lain kali tolong perhatikan penampilan kamu! Kalau gak bisa ber make-up, jangan membuat dirimu tampak konyol." katanya lagi. Aku memutar tubuhku ke arahnya. "Maksudnya Pak?" tanyaku. "Lihat wajahmu!" Aku menyentuh pipiku, bekas tamparan Mama Windy. Mungkin ini maksud atasanku. "Agh, maaf Pak. Saya tidak mengenakan make-up, tapi ini bekas tamp—. Agh, maaf pak... saya akan menghapusnya. Saya permisi." balasku dengan cepat berjalan keluar. Kedua manik mata pimpinan itu, seperti masih mengikutiku. "Mark, gue izin ke lantai atas ya. Sebentar saja." ucapku mengambil waktu untuk menenangkan diri. Dengan cepat aku berjalan ke arah lift, dengan air mata yang hampir tumpah, aku langsung mengusap kasar. Setelah itu, aku masuk ke dalam lift yang membawaku ke tempat yang sering aku datangi di kala aku sedih. Sesampainya di lantai yang menghubungkan taman kecil, di mana bisa untuk nongkrong di kala jam Istirahat, tempat yang paling aku suka di perusahaan megah ini. Sekedar menumpahkan perasaanku, aku berjalan menuju pinggiran pembatas yang menampakkan, keindahan kota Jakarta dari tempatku berdiri. Ku lihat, tidak ada orang di sekitarku, aku pun berjongkok. Dengan membenamkan wajahku, aku meluapkan kesedihanku. Aku menangis sangat keras, sampai tubuhku bergetar. "Sungguh hari yang sangat sial! Aku mau bunuh diri aja! Biar kalian puassss, jika aku mati, kalian hidup dengan senang. Mungkin tanpaku, kalian baru bahagia. Kalian menganggap aku musuh. Aku tidak kuat, selama ini kalian benar-benar tidak mengganggap keberadaanku." aku mengangkat wajahku dan mencoba mengusap air mataku. Tubuh ini masih bergetar, sangat sakit rasanya. Dengan memukul dadaku, serasa nafasku tertahan, masih dengan air mata yang menggenangi wajahku, seakan tidak ingin terhenti. Sinar matahari seakan memberiku semangat. Dia memancarkan sinarnya ke arahku dengan beraninya. "Apa Saya menggajimu hanya untuk menangis di tempat ini?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN