Tahun 2003 (Kelas II.2)
Tak terasa sudah tahun kedua aku menjalani masa putih biruku. Tak ada banyak perubahan dimasa ini, hanya saja tak ada lagi permainan yang aku mainkan kala istirahat tiba. Tak seperti dimana aku masih mengenakan seragam putih merah, aku dengan leluasa bermain dengan teman-temanku saat istirahat. Bahkan sepulang sekolahpun kami masih bermain bersama. Semua itu tak aku rasa kan lagi setelah umurku beranjak remaja. Entah aku tak ingin lagi bermain atau memang sudah tidak masanya bagiku untuk bermain seperti anak kecil. Aku sudah remaja sekarang. Tak pantas lagi bermain layaknya bocah. Aku tak mengerti akan perubahan sikapku.
Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa remaja disebut pula masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar seperti perubahan fisik, psikis, dan sosial. Mungkin sedikit banyaknya aku mulai mengalami perubahan-perubahan itu, sehingga mengubah cara pikirku.
Awalnya aku pikir masa SMP ini akan ku jalani dengan biasa saja. Dimana aku datang dan pergi kesekolah untuk menimba ilmu. Tak ada sedikitpun dihatiku akan satu keinginan. Yang ada dipikiranku bagaimana bisa aku sekolah dengan baik dan memperoleh nilai bagus. Namun siapa sangka semua ceritaku yang biasa saja berubah menjadi luar biasa dengan kenangan yang begitu indah.
Dimana semua ini dimulai dari rasa penasaranku akan sosok Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang dibicarakan banyak orang. Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah lain dan tidak menjadi bagian/alat dari organisasi lain yang ada di luar sekolah. Aku sendiri tidak pernah ikut organisasi seperti ini, karena memang aku tidak aktif disekolah selain dari belajar.
Entah apa yang aku pikirkan, aku benar-benar penasaran pada laki-laki itu. Apalagi banyak siswa-siswi membicarakan betapa tampannya dia. Sebenarnya aku tak mau terlalu ingin tau, karena memang sikapku yang masa bodo. Namun, ada dorongan yang kuat untuk mengenal sosok itu. Ah, apa yang terjadi dengan ku? Kenapa aku penasaran dengannya? Padahalkan, aku tak kenal dengannya. Memangnya siapa dia?
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------
“Ran, lu tau gak Ketua OSIS baru kita ganteng lho, katanya sih anak guru, seumuran lagi.”, ujar teman sebangkuku. “Oh ya, guru yang mana? Dia pinter pasti.”, timpalku. Jangan salahkan aku jika aku mengatakan itu. Karena dulu waktu aku SD, kakak dan adik kelasku yang memang orangtuanya bekerja sebagai guru disekolahku. Setiap semesternya mereka selalu saja juara. Makanya aku langsung berpikir seperti itu kala mendengar kata ‘anak guru’. Kata ‘pintar’, pasti akan tersemat diotakku. Ya, tapi tak semuanya begitu sih. Tapi aku yakin anak guru yang temanku katakan, dia pasti pintar. Entah pikiranku saja, tapi aku yakin dengan pemikiranku ini. Aneh bin ajaib.
“Yoi, dia kan juara umum kemaren.”, balasnya lagi. Mendengar jawaban temanku, aku membelalakkan mataku. Bukan jawabannya yang membuatku kaget tapi pemikiranku tentang Ketua OSIS itu benar adanya. Tak ada yang meleset, seperti dugaanku. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa aku mempunyai keyakinan seperti itu. Biasanya orang hanya akan menduga-duga, bukan sepertiku yang langsung yakin begitu. Aku saja tak kenal dengannya, seandainya kami berpapasanpun, aku tak akan sadar karena memang aku tak pernah bertemu dengannya. Hmmm... Aku penasaran seganteng apa sih dia? Kenapa temanku bisa bilang begitu? Aku ingin tau siapa sih orangnya. Ah... rasa penasaranku akhirnya mengalahkan egoku.
Sejak obrolanku dan teman sebangkuku waktu itu, aku semakin penasaran saja. Entah kenapa aku juga tak mengerti. Tapi yang pasti aku ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Mungkin tuhan mendengar doa ku, siswa-siswi sedang mengikuti acara kultum di Jum'at pagi. Aku duduk paling depan bersama dengan temanku. Hingga sampailah saat pidato singkat, terdengar dari pembawa acara yang menyampaikan pidato itu, Indra Hardianto. Nama yang asing bagiku, namun detik selanjutnya nampaklah sosok seorang siswa laki laki tampan dengan baju koko biru, rambutnya yang tampak basah dengan jambul yang disisir rapi, mata yang teduh seakan tersenyum, alis yang hitam pekat, hidung yang tak pesek dan tak pula mancung tapi pas di wajahnya, kulit yang tak terlalu putih. Dipergelangan tangan kanannya bertengger sebuah jam tangan, terlihat sangat maskulin dimataku.
Entah apa yang terjadi denganku, saat menatapnya ada getaran aneh saat melihat senyum itu menghiasi wajahnya. Setiap kata yang diucapkannya, bak nyanyian merdu ditelingaku. Suara berat khas laki-laki, sangat memanjakan indra pendengaranku. Sedangkan mataku seolah tak mampu berkedip sedetikpun. Seakan takut sosok itu akan menghilang dari pandanganku. Tak ada yang dapat kukatakan. Aku kagum akan sosok ini. Tapi perasaan aneh itu tetap saja tak mau hilang dari hatiku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi kenapa kali ini ada perasaan tak biasa pada hatiku. Aku memang aneh, padahal kan aku baru pertama kali melihatnya. Hingga bisikan temanku menyadarkanku.
“Ran, itu tuh Ketua OSIS baru kita.”, bisik temanku. Aku hanya ber-o ria menimpali perkataannya. Entah pikiran darimana, aku ingin sekali sekelas dengan laki-laki itu agar aku bisa lebih kenal dekat dengannya. Sudah dapat kubayangkan, hari-hariku akan lebih indah bila bisa dekat dengan laki-laki tampan itu. Setiap hari mataku ini akan melihat makhluk ciptaan tuhan yang begitu sempurna menurutku. Oh, tiada hari tanpa senyuman akan aku lalui. Langsung saja aku tepiskan bayangan itu. Bagaimana bisa aku memikirkan hal itu saat kultum begini? ‘Aduh, otakku memang sudah agak bergeser’, batinku.
Selama penyampaian pidatonya, mataku tak pernah lepas untuk memandangnya dan bibirku tak berhenti tersenyum. Katakanlah aku gila, karena aku begitu terpesona akan sosok pria tampan itu. Tapi memang begitulah hatiku. Entah apa yang kurasakan aku tak mengerti, yang jelas aku tak kuasa untuk berpaling darinya barang sedetikpun.
Dia bagaikan magnet yang dapat menarikku pada pesonanya. Aku terjatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona laki-laki itu, bahkan pada saat pertama kali kami bertemu. ‘Dosakah aku ya Tuhan? Tapi aku yakin perasaan ini ada, juga karena kehendakMu’. Aku yakin dan percaya, ada maksud dan tujuan Tuhan kenapa perasaan ini ada saat aku memandangnya.
Katakanlah aku bukan muslimah yang baik, karena aku tak bisa menjaga pandanganku. Namun dapatkah aku mengabaikan pemandangan indah ini? Aku yakin, saat-saat seperti ini akan sangat langka bagiku, dimana jarak kami yang begitu dekat. Aku tak mampu berpikir dengan baik, aku hanya menuruti kehendak hatiku, walau jelas-jelas menentangnya. Tapi aku tak menyesal, soal dosa atau tidak aku tak tau, hanya Tuhan yang bisa menentukannya. Yang jelas, aku tak melanggar norma yang ada.
Sejak itu, aku selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengannya. Membuat situasi seperti kebetulan, padahal aku lah yang merencanakannya. Seperti hari ini, aku pura-pura duduk di bangku panjang didepan kelasku, tapi mataku tak pernah berhenti mencari sosok yang sangat ingin aku lihat. Sepuluh menit berlalu, aku melirik sosok itu keluar dari kelasnya. Aku melihat kemana dia berjalan. Tau kemana arahnya, aku sekuat tenaga berlari kencang memutari koridor kelas agar aku bisa berpapasan dengannya.
Aku mengabaikan pandangan orang-orang, akan apa yang aku lakukan. Yang ada diotakku hanya satu, aku ingin berpapasan dengannya, agar aku dapat memandang wajahnya lebih dekat lagi. Biarlah orang-orang menganggap aku gila. Aku tak peduli. Yang penting hari ini tujuanku berhasil. Tak ada hal yang kuinginkan saat ini. Perasaan ini membuat aku tak bisa berpikir logis lagi. Persetan dengan logika, aku hanya ingin menuruti kata hatiku.
Tak ada salahnya kan aku ingin bahagia? Bahagia memang sesederhana itu. Apa yang aku lakukan, sudah bisa dikatakan kebahagiaan bagiku. Biar saja sekali ini saja hatiku yang mendominasi. Aku tak mampu menanggung perasaan lain, saat aku tak bertemu dengannya walau hanya sehari saja. Ada perasaan aneh yang menyelimutiku kala jauh darinya.
Saat kami perpapasan, aku membuat keadaan seolah tampak kebetulan baginya. Kami beradu pandang hanya sepersekian detik, tapi mampu membuat hatiku tak karuan. Hanya dengan beradu pandang begitu, aku merasa badanku panas dingin. Sungguh, perasaan yang tak dapat aku jelaskan. Perasaan ini hanya ada saat ada sosok itu didekatku. Iya, sosok itu adalah Ketua OSIS ku, Indra Hardianto.
Hanya dengan melihatnya saja, dunia serasa milikku. Aku tak peduli dengan beberapa pasang mata yang memandang aneh kearahku. Aku ingin detik ini juga, waktu berhenti bergerak agar saat-saat indah ini tak sirna begitu saja didepan mataku. Katakanlah aku lebay, namun apa yang kurasakan mengalahkan akal sehatku. Apalagi perasaan aneh yang menyelimuti saat jauh darinya itu, tak kurasakan lagi saat kami bertemu. Walau hanya beberapa detik saja, namun dapat kurasakan kelegaan dihatiku.
Tak bisa kulukiskan kelegaan seperti apa yang kumaksud, namun rasa lega ini seolah jawaban dari perasaan aneh kala kami berjauhan. Katakanlah aku gila, mana mungkin dalam hitungan detik saja, rasa aneh itu berganti dengan rasa lega begini. Seolah memang aku menemukan obat yang aku cari. Obat yang benar-benar ampuh. Ah… aku sangat menikmati kegiatan ini. Ini akan jadi kegiatan favoritku kala istirahat tiba.
Kegiatan yang sama aku lakukan hampir di setiap harinya. Hanya sebatas berpapasan, tidak lebih. Tak pernah ada interaksi antara kita, entah itu obrolan atau sapaan. Bukannya aku tak mau, tapi aku takut untuk memulai. Melihatnya sebagai sosok yang sempuna, membuatku merasa rendah diri. Aku tak cantik, aku tak menarik. Aku hanya gadis yang bertubuh kecil, berkulit sawo matang, kaki yang tak sempurna. Sungguh aku tak pantas mengharapkan ciptaan Tuhan yang indah itu walau hanya sekedar bertegur sapa. Aku bagaikan pungguk merindukan bulan. Cih... bermimpipun aku tak pantas!
Jangan katakan aku gadis buruk rupa, karena memang aku tak seburuk itu. Tapi melihat ketampanannya membuatku minder. Apalagi pada saat aku tau siapa saja yang pernah menjadi kekasihnya. Tak ada yang tak cantik. Sepertinya memang tipe begitu yang dia inginkan. Kulit putih, dengan wajah cantik berbanding terbalik denganku yang berkulit sawo matang dan wajah pas-pasan. Kurasa, mimpiku terlalu tinggi. Jadi temannya saja, aku tak pantas apalagi jadi kekasihnya. Mana mau dia dengan gadis pas-pasan sepertiku. Dia pasti akan berpikir jutaan kali bila mau berdekatan denganku.
Perasaan ini lah yang selalu menghantuiku setiap harinya. Bisa saja pikiranku salah. Dia tak pernah melihat orang dari penampilannya. Namun pikiran-pikiran buruk itu mampu menggerogotiku. Rasa rendah dirilah yang mendominasiku. Hingga aku tak berdaya dalam kesendirianku. Aku tak mau orang merendahkanku nantinya, apalagi orang itu orang yang begitu aku puja. Biarlah, begini saja. Tak perlu dia tau. Bila dia peka, dia juga akan tau.
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------