Bab 4

2101 Kata
Hari-hariku berlalu dengan senyum yang selalu mengembang dibibirku. Senyum tulus atas semua perasaanku. Aku pandai memendam rasa, hingga tak ada satu orang pun yang tau akan perasaanku. Aku tak mau bercerita ke siapapun. Aku rasa ini tak patut untuk diceritakan. Biarlah rasaku ini hanya aku dan Tuhan yang tau. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Aku akan tetap memendamnya. Orang bilang, mencurahkan isi hati kita kepada seseorang akan membuat kita sedikit tenang bahkan  mungkin akan dapat jalan keluarnya dari solusi yang dia berikan. Tapi, kalian tau kan aku tak punya teman dekat? Bagiku tak ada gunanya teman, toh aku terbiasa melakukan apa saja sendiri. Andai kata aku punya, aku tak akan menceritakan isi hatiku padanya. Aku tak mudah percaya dengan orang lain. Bagiku orang-orang yang baik padaku hanya saat ada maunya saja. Seperti waktu itu. Entah ada angin apa teman SD ku itu, datang kerumahku. Tidak biasanya dia seperti ini. Pasti ada maunya. Dan benar saja, kedatangannya hanya mau belajar bersama denganku. Aku yang tau wataknya, hanya mengiyakan saja. Toh, tidak akan lama hanya sampai tugas kami selesai. Setelah apa yang dia mau, dia dapatkan, diapun pulang tanpa mau berlama-lama dirumahku. Aku mah biasa saja. Bagiku pemandangan seperti itu sudah biasa. Bila rahasia ini aku ceritakan, sudah bisa kupastikan apa yang akan terjadi. Informasi itu akan jadi trending topic di sekolahku nanti. Dan akhirnya apa yang aku rahasiakan akan ketahuan juga. Dan yang lebih parahnya lagi akan didengar oleh orangnya langsung. Tak bisa kubayangkan bagaimana malunya aku saat orang lain mengetahui semua ini. Bayangan akan caci maki dari orang-orang, senyum merendahkan dan tawa mengejek akan perasaanku yang tak tau tempat itu. Aku tak mau itu terjadi. Aku sadar, diriku hanya gadis yang tak pantas untuk laki-laki tampan seperti dia.   ---------------------------------------ooooooo-------------------------------------- Saat ini aku duduk di bangku panjang di depan kelas. Mataku tak pernah lepas akan sosok yang sedang bermain basket itu. Senyum diwajahku tak pernah luntur. Hanya melihatnya saja aku sudah sangat bahagia. Otakku benar-benar sudah bergeser. ‘Apa yang aku pikirkan? Mana ada orang menonton basket sambil senyum-senyum sendiri. Ah... aku memang sudah gila’, batinku. Lama aku perhatikan sosok itu, bahkan berkedip pun aku tak mampu. Aku takut saat aku berkedip, sosok itu akan menghilang. Sosok yang hanya dapat aku pandangi dari kejauhan. Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri agar bisa dekat dengannya. Bagiku, seperti ini saja sudah lebih dari cukup. Bayangan-bayangan waktu itu, benar-benar membuatku takut. Makanya aku harus hati-hati bila aku tak mau terkena masalah nanti. ‘Jarak yang tak terlalu dekat begini, setidaknya masih aman’, pikirku. Mataku masih sehat, aku masih bisa melihatnya dengan jelas dari tempat aku duduk.  Dari tempatku duduk, terlihat jelas senyuman itu. Senyuman yang memabukkanku, memporak porandakan hatiku. Senyuman yang mampu menggetarkan hatiku. Senyum tulus itu digantikan dengan tawa lepasnya. Andai aku disampingnya, aku tak akan melepaskannya lagi. Akan kujaga ia dengan segenap hatiku. Karena hanya dia yang mampu memberi warna dihidupku. Tapi apalah dayaku, semua itu hanya impianku belaka. Impian yang tak akan pernah aku dapatkan, sekalipun dimimpiku. Aku masih terlalu muda untuk mengartikan perasaanku. Yang aku tau aku sangat bahagia, walau hanya seperti ini adanya. Aku tak mau semua rasa indah ini, digantikan dengan rasa sakit saat tau kebenarannya. Aku belum siap untuk kecewa apalagi terluka. Aku tau semua orang pantas bermimpi, walau hal aneh sekalipun. Tapi aku hidup didunia nyata bukan mimpi. Semua yang kita harapkan belum tentu bisa terwujud. Aku tak mau menggunakan perasaanku lagi. Aku harus menggunakan logikaku. Semua yang kita lakukan harus kita pikirkan ulang agar tak ada resiko yang kita hadapi kelak. Itu lah pemikiranku saat ini. Aku tak mau lagi lebih mementingkan perasaan daripada logika. Karena pada akhirnya logika lah yang akan menang. Logika yang mampu membuat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kelak. Aku sadar, tak akan terjadi apa-apa bila salah satu diantara kami, tak ada yang memulainya. Aku tau, dia bukan cenayang yang bisa tau apa yang kurasa. Bukan aku tak mau untuk memulai. Ingin rasanya aku mengungkapkan semua rasa yang ada dihatiku. Perasaan yang hanya ada saat dia didekatku, senyum yang tak pernah luntur hanya dengan menatapnya, hati berdebar kala mendengar suaranya. Tapi sekali lagi rasa takut menghantuiku. Takut akan penolakan darinya, takut akan orang-orang yang merendahkanku. Aku tak sanggup walau hanya membayangkannya saja. Biarlah orang bilang, aku kalah sebelum berperang. Aku memang pecundang yang tak mau menanggung  beban. Untuk apa aku jujur bila kejujuranku akan menghancurkan semuanya. Aku tak mau perasaan indah ini akan ternodai. Biarlah perasaan ini tetap suci tanpa ada noda didalamnya. Yang paling aku takutkan rasa ini akan menyakitiku. Bila sudah saatnya, rasa ini akan hilang terkikis seiring berjalannya waktu. Namun, untuk saat ini biarlah keindahan ini aku nikmati dulu sebelum benar-benar hilang tak berbekas. Dari kejauhan, aku melihatnya mendominasi permainan. Dia begitu mahir bermain basket, mendribell, mengoper dan menshoot bola dari jauh pun, dia lakukan dengan sangat sempurna. Tentu saja semua itu atas penilaian ku sendiri. Kalian tahu kan, kalau aku tak suka pelajaran Olahraga, apalagi basket dengan bola besar yang beratnya na’udzubillah itu? Jadi tidak salahkan aku bilang kalau permainannya bagus?. Karena hal kecil itu saja, aku semakin terpesona akan sosoknya. Semakin hari rasaku kepadanya semakin berkembang. Biarlah rasa ini akan aku jaga, hingga Tuhan tak mengijinkan lagi rasa itu berada didalam dihatiku. Bila rasa itu tetap ada, berarti Tuhan ingin aku tidak bosan menjalani hari-hari disekolah ini. Ada penyemangatku untuk bisa datang lebih awal dan pulang lebih akhir untuk menunggu momen-momen yang sangat mendebarkan. Bila ku ingat lagi, aku pernah diam-diam berjalan dibelakangnya. Sepertinya, dia tak menyadari kehadiranku. Terbukti ia tetap asyik bercengkrama dengan temannya yang berjalan beriringan dengannya. Aku tak bisa mengingat apa yang mereka bicarakan, karena aku terlalu fokus mengatur degub jantungku yang tak terkendali detaknya saat berada didekatnya. Aku takut detak jantungku akan bisa terdengar oleh nya. Walau aku sangsi dia bisa mendengarnya karena tawa candanya yang cukup keras itu. Tapi tetap saja, aku malu bila dia mendengarnya. Mau ditaruh dimana mukaku nanti, batinku mulai beragumen sendiri seperti ada dua kubu yang saling bertentangan. Dari jarak yang tak seberapa jauh itu, tiba-tiba dia menolehkan mukanya kebelakang. Aku spontan, melengoskan wajahku kebelakang, ‘mati aku, apa aku ketauan ngintilan dia?’, tapi hanya sanggup aku katakan didalam hati saja. Walaupun hatiku cemas, tapi sebisa mungkin aku tidak menampakkan wajah cemasku. Aku tak mau ketauan. Aku masih punya akal sehat untuk tidak mau diperlakukan semena-mena atau dipandang rendah hanya karena aku menyukai sosok yang begitu sempurna sepertinya. “Kenapa brenti? Ada lampu merah ya?”, sarkasku. Aku sengaja mengeluarkan suara agak tinggi agar terdengar kesal. Awalnya dia tak bergeming, dia hanya diam membeku ditempatnya. Entah apa yang dia pikirkan, aku juga tak tau dan aku tak mau tau. Karena aku tak mau menduga-duga kalo dia terpaku saat menatapku. Cihh… percaya diri sekali aku. Tampang sepertiku, mana bisa membuat laki-laki tampan itu terpaku. Mungkin, dia shock dengan nadaku yang agak tinggi. Mungkin juga, dia tidak terbiasa dengan kata-kata sarkas seperti itu. Ada perasaan menyesal tiba-tiba menyelinap di relung hatiku. Tapi aku tepiskan. Aku tak boleh kalah. Aku harus simpan rapat-rapat perasaanku. Aku tak mau menunjukkan semua rasa yang ada kepadanya. Biarlah, bila Tuhan menghendaki kita bersatu, kita akan disatukan dengan caraNya kelak. Aku yakin, jodoh itu sudah ada yang mengatur. Dia lah yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Sadar dari keterpakuannya, dia pun melanjutkan langkahnya tanpa bersuara sedikitpun. Aku yang berjalan dibelakangnya pun, hanya bisa diam dengan berbagai penyesalan dihatiku. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah katakan kan, aku tau mau mempermalukan diriku sendiri nanti. Biarlah dia sakit hati atau kecewa dengan kata-kataku. Toh dia juga tidak melihatku sebagai seorang perempuan. Tak berapa lama kami berjalan walau tak berdampingan, aku menyeberang karena rumahku memang melewati jalan yang berseberangan dari tempatku berada sekarang. Awalnya aku menyeberang dengan langkah pasti, agar dapat kupastikan dia tak menaruh rasa curiga kepadaku nanti. Setelah aku yakin dia tak melihatku lagi, aku menghentikan langkahku dan kembali fokus memperhatikan sosok yang pergi menjauh dari tempatku berdiri. Ada rasa sesak dihati saat ada kesempatan untuk berbicara dengannya, aku tak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Malah aku terkesan tak menyukainya. Tapi itu caraku, untuk bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya. Biarlah seperti ini. Bila dia juga merasakan hal yang sama, maka pasti dia akan berjuang untuk bisa bersama denganku. Tapi semua itu kupastikan hanyalah khayalanku saja. Siapa aku yang pantas diperjuangkan, apalagi oleh laki-laki tampan itu? Dengan ketampanannya itu, dia bisa mencari perempuan-perempuan cantik yang dia inginkan. Oh Tuhan, sepertinya mimpiku terlalu tinggi. Bantu aku, biar tak terjerumus kedalam mimpi-mimpi indah yang aku bangun sendiri didalam pikiranku, agar nanti aku tak terjerembab jatuh saat tak ada lagi penyangganya di awan sana. Aku tersentak bangun dari lamunanku, saat bel tanda istirahat telah berakhir memekakkan telingaku. Aku pun berjalan santai kekelasku, karena memang jarak dari tempat aku duduk, ke kelasku tidak lah begitu jauh. Senyum tak luput dari bibirku, akhir-akhir ini aku sering tersenyum. Sampai-sampai temanku ada yang mengeluarkan lelucon, kalau aku senyum seperti ini, terlihat lebih cantik dan imut. Aku bukanlah tipe perempuan yang langsung senang saat dipuji seperti itu. Karena pujian hanyalah dimulut saja. Belum tentu orang yang banyak memberikan pujian kepada kita, dia sudah dapat dipastikan menyukai kita. Jujur saja, aku sangsi akan pendapat ini. Jujur, aku suka dengan orang yang apa adanya, bukan orang bermulut manis dan mengumbar banyak pujian. Kadang pujian membuat kita terlena, sehingga orang lain bisa menusuk kita dari belakang. Bukannya aku berburuk sangka, tapi itu memang kenyataan yang harus kita hadapi. Aku bukanlah perempuan yang haus akan pujian, tapi aku hanya ingin pengakuan. Itu saja. Sesederhana itu tapi sangat berarti untukku. Seperti pengakuan dari dia bahwa aku kekasihnya misalnya. Ini hanya gurauanku saja yang sebenarnya sangat kutunggu-tunggu akan terjadi suatu hari nanti. Aku tak peduli berapa banyak waktu untuk dapat mendengarkan kata-kata indah itu dari bibirnya langsung yang ditujukan untukku. Dia mengklaim dan mengakui ke semua orang bahwa akulah satu-satu nya perempuan yang dia cintai dan ingin terus bersamaku hingga maut memisahkan. Sekali lagi aku katakan semua ini hanya lah angan-anganku saja. ---------------------------------------ooooooo-------------------------------------- Hari berganti begitu cepat berlalu. Tak pernah seharipun aku tak memandanginya. Aku tak tau dia sadar atau tidak atas apa yang aku lakukan. Sadar atau tidak, aku tak peduli. Aku hanya ingin menatapnya dikejauhan. Lagian, aku tak pernah mengganggunya.Apalagi berbuat yang tidak-tidak kepadanya. Hah... mana mungkin aku berani mengganggunya. Bertemu saja sudah membuat aku jantungan. Aku tak seberani itu untuk melakukan hal gila itu. Bagiku, dapat berpapasan dan memandanginya saja sudah cukup. Aku tak mau terlalu berharap lebih. Aku tak mau perasaan ini menghancurkanku. Ya... aku tak mau pada akhirnya aku menerima penolakan. Entah apa yang akan terjadi bila semua itu aku alami. Aku tak mau nantinya jadi tokoh jahat yang akan melakukan segala cara agar keinginannya tercapai. Aku tak mau perasaan yang tadinya indah dan suci ini ternodai atas penolakannya. Aku hanya ingin bahagia tanpa ada noda yang dia torehkan. Entah hari ini, esok, lusa atau kapan, yang pasti kebahagiaan akan datang menyapaku. Kebahagiaan yang semua orang impikan. Tapi satu yang pasti, hari ini, esok atau sampai kapan pastinya, kebahagiaanku ada saat dia didekatku. Saat melihat dia tertawa lepas. Aku berharap kebahagiaanku ini jangan cepat berlalu. Walau aku sadar waktu pasti akan tetap berputar sebagaimana mestinya. Hanya saja tak bisa kah aku sedikit berharap? Hanya ada satu harapan terbesarku. Harapan akan memilikinya seutuhnya. Menjadi imam dihidupku kelak. Bersama disaat suka maupun duka. Saling menguatkan satu sama lain. Mengukir kisah cinta yang indah diantara kita. Menikmati hari-hari bersama. Semua itu hanya akan menjadi angan belaka. Aku masih berkutat dengan ketakutan yang aku ciptakan sendiri. Hmmmm.… miris rasanya apa yang kurasa. Ketakutanku yang belum tentu terjadi, menghantuiku sampai aku hanya bisa pasrah. Aku tau berpasrah diri kepada Tuhan adalah tindakan yang terpuji. Namun  tanpa usaha aku rasa akan sia-sia. Aku tau dengan amat sangat jelas akan hal itu. Namun lagi-lagi ketakutan itu tak pernah bisa aku lepaskan. Pernah aku masa bodo akan ketakutan itu. Namun semakin aku mencoba menganggap masa bodo semakin kuat ketakutanku itu. Ketakutan itu sudah menjalar didarahku dan menjadi daging ditubuhku. Merasuki jiwa dan sanubariku. Mengendap diotakku bagaikan hantu yang menakutkan. Bagaimana mungkin aku bisa membuang rasa takut yang sudah mendarah daging itu? Apa lagi semua itu sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku asumsikan sendiri. Aku seolah bisa membayangkan ketakutanku itu pada akhirnya akan terjadi. Aku tau aku bukan cenayang, peramal atau sebagainya. Namun ketakutanku sangatlah beralasan. Tak ada sebab tanpa akibat. Itulah moto hidup yang selalu aku jalankan. Kali ini aku hanya ingin Tuhan mengabulkan keinginan kecilku. Aku ingin bisa melihatnya saat dia belajar dikelas. Ini berarti aku dan dia didalam kelas yang sama. Harapan sederhana yang tak ada maksud apa-apa. Semoga tuhan mengabulkannya. Amin…   ---------------------------------------ooooooo--------------------------------------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN