Tahun 2004 (Kelas III.1)
Doa adalah suatu cara meminta kepada Tuhan agar apa yang kita inginkan terkabul. Siapa sangka, doa yang aku panjatkan kepada Tuhan dengan sepenuh hati saat itu, terkabulkan. Aku dan dia disatukan didalam satu kelas. Tak bisa digambarkan bagaimana bahagianya aku saat tau kebenaran ini. Aku tak henti-hentinya mengucapkan syukurku kepada Tuhan. Walau permintaan sederhana, namun sangat berarti untukku. Tapi, aku tak mau dia meyadari itu. Untuk itulah aku tak akan menatapnya lekat-lekat seperti biasa aku lakukan dikejauhan. Ini berbeda, jarak kita seolah terkikis karena keaadaan ini. Aku tak mau semua tindakanku akan menjadi bencana besar untukku. Aku akan lebih berhati-hati kali ini.
Namun apa boleh buat, rencana hanya tinggal rencana saja. Logika yang aku katakan, seolah tak ada artinya lagi. Ini bukanlah salah siapa-siapa. Hanya aku ingin sedikit perubahan. Aku tak mau hidup didalam ketakutan yang aku ciptakan sendiri. Aku tak mau menyimpulkan sendiri apa yang akan terjadi dengan asumsi-asumsi aneh ku itu. Bila aku ingin bahagia, maka aku sendirilah yang akan mencarinya. Bukan malah berdiam diri dengan berpangku tangan begini. Dunia ini bukanlah sulap. Dengan kata ‘abra kadabra’ saja semua yang kita inginkan akan terjadi.
Aku pernah mendengar sebuah pengajian. Kata ustadz, 'tidak akan berubah nasib suatu kaum, bila tidak kaum itu sendiri, yang berusaha untuk mengubahnya'. Sudah jelaskan, nasib kita tergantung dengan usaha kita sendiri. Semua yang kita inginkan akan terjadi bila kita berusaha. Bukannya menunggu keajaiban datang. Sampai ayam jantan bertelurpun tak akan pernah terjadi. Jadi sadarlah, semua butuh usaha.
Masih kuingat waktu itu, pertama kalinya aku mencoba memberanikan diri untuk bertegur sapa dengannya. Kejadian itu begitu konyol menurutku. Sebelumnya aku hanya duduk dikursi panjang depan koridor. Aku melihatnya sedang bercengkrama dengan temannya. Ingin rasanya aku berjabat tangan dan bertegur sapa dengannya. Namun ketakutan yang sama tetap menghantuiku. Lama rasanya aku memantapkan hati sekedar melakukan keinginan kecilku ini. Entah apa yang terjadi aku memberanikan diri berjalan mendekatinya.
Ya... keberanian itu datang begitu saja. Kakiku seolah tau apa yang harus dia lakukan. Dorongan itu begitu kuat, kesempatan tak akan ada untuk kedua kalinya. Aku harus memulainya hari ini. Langkah demi langkah aku tetap berjalan ke arah suara itu. Debaran jantungku bertalu dengan kerasnya. Semakin aku mendekat, semakin keras debaran itu. Namun semua itu aku abaikan. Tak ada salahnya aku bertegur sapa.
Memang benar tak ada yang salah hanya sekedar bertegur sapa saja. Dia tak akan mendengar debaran jantungku ini, bila tak dia rasakan sendiri dengan tangannya. Tapi aku yakin, dia tak akan melakukan hal itu. Tak ada alasan baginya melakukan itu, kan? Kami tidak pernah dekat. Tidak pernah berteman. Bertegur sapapun baru akan dimulai. Jadi, apa yang harus aku takutkan? Aku tidak mau kalah lagi.
Aku tepat dihadapannya saat ini. Aku hanya diam menunduk. Aku tak berani menatapnya langsung. Debaran jantungku begitu menggila. Aku takut dia bisa merasakannya. Lama aku terdiam, aku mematung ditempat. Entah kekonyolan apa yang aku lakukan. “Hei, kamu kenapa?”, tanyanya. Suara berat itu membuat aku tersentak. Entah dia sadar atau tidak, aku tak peduli. Aku hanya ingin berjabat tangan, tapi tanganku begitu kaku rasanya. Hingga hanya suara lirih yang terdengar dari mulutku. “Aku pinjam catatan sejarah mu, boleh?”, pintaku. Entah apa yang kupikirkan saat itu.
Ingin rasanya aku tarik apa yang aku ucapkan tadi. Bukan begini yang aku rencanakan. Kenapa begitu sulit bagiku hanya sekedar bercakap-cakap dengannya? Kenapa mereka dengan mudahnya tertawa riang sambil saling melontarkan candaan? Sedangkan aku, seolah lidahku kelu, hingga kata-kata itu saja yang dapat aku katakan. Kata-kata yang tak ada gunanya. Kata-kata yang tak butuh tanggapan sama sekali. Aku bodoh memang, tapi mau bagaimana lagi. Aku saja tak bisa apa-apa bila didepannya.
Lalu, kenapa aku bicara sambil menunduk? Ya ampun, dia manusia aku pun juga manusia. Kenapa aku tak sanggup menatapnya saat aku bicara dengannya? Ah... sudah dua hal yang membuatku begitu bodoh didepannya. Aku rasa, aku pantas dikatakan aneh olehnya. Tapi aku mohon, jangan pernah mengungkitnya atau menjadikan ini semua hanya candaan semata.
Saat aku masih dilanda kebimbangan antara menarik ucapan tadi atau tidak, tiba tiba saja suara berat itu membuat aku menoleh, “Boleh. Nanti pulang sekolah kamu ingatkan aku lagi ya…”, katanya. Itulah jawaban yang keluar dari mulutnya. ‘Ingat kan lagi?’ Itu artinya aku akan ngobrol lagi dengannya? Ya Tuhan betapa bahagianya aku.
Tak bisa aku lukiskan betapa senangnya aku. Kebimbangan yang tadi melandaku seolah hilang tak berbekas. Siapa yang tak kan senang, bila sang pujaan hatinya sendiri yang seolah memberikan celah agar aku bisa dekat dengannya. Aku bagaikan mendapatkan air setelah berhari-hari lamanya berjalan digurun pasir. Yang pasti sangat melegakan. Hingga tanpa aku sadari mengembanglah senyumku didepannya kala itu.
Aku tak ada maksud untuk tersenyum didepannya. Aku mati-matian bersikap biasa saja bila didepannya. Tak pernah ada rencana untuk menampilkan senyum manisku didepannya. Aku masih waras, aku tak akan melakukan hal gila seperti itu. Namun rencana hanya rencana, aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Reflekku begitu cepat saat kata-kata manis itu keluar begitu saja dari bibirnya.
Ingin rasanya aku terjunkan diriku kejurang yang tak berdasar saat ini juga atau menghilang dari bumi ini. Masih terngiang jelas ucapannya ditelingaku, “kenapa senyum-senyum?”. Itulah yang ia katakan dengan tatapan datarnya. Tak ada senyuman. Tak ada ekpresi apapun yang aku lihat. Aku yang tersentak berlari menjauh darinya. Aku tak mau melihat tatapan tanpa ekspresi itu. Malu? Iya. Malu, tak akan cukup rasanya untuk mengungkapkan perasaan ini. Aku tak akan sanggup lagi bertemu dengannya.
Namun seribu namun, aku tak bisa menjauh dari masalah yang aku ciptakan sendiri. Seandainya aku tak mendekatinya. Seandainya aku tak meminjam buku catatannya. Seandainya rasa takutku yang menang saat itu. Banyak seandainya-seandainya yang aku pikirkan saat ini. Memang benar adanya, penyesalan akan datang diakhir. Akhirnya semua ketakutan bukanlah angan semata. Ketakutanku nyata adanya, aku hanya pasrah akan hal yang terjadi nanti. Aku akan tetap hadapi dengan lapang d**a.
Ketakutan yang aku rasakan, sirna begitu saja kala suara berat itu menginterupsiku. “kamu jadikan pinjam catatanku? Nihh...”, ujarnya sambil memberikan buku tulis itu ketanganku. Dengan jantung berdebar aku menerima buku itu. Entah untuk apa, pikirku. Namun apa daya, memang benar adanya aku yang memintanya. “makasih ya, ntar aku balikin lagi”. Akhirnya kalimat itulah yang bisa aku lontarkan. Tadinya aku akan pulang saja dengan berpura-pura lupa akan insiden istirahat siang tadi. Tapi rencana hanyalah rencana. Dia sendiri yang mengingatkanku. Tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Tak mungkin kan aku bilang aku tak jadi minjam catatannya? ‘Akan aneh rasanya’, pikirku. “Biarlah, aku bawa saja. Toh nantinya akan kukembalikan juga”, monologku.
Ada sedikit kelegaan dihatiku saat ini, ternyata dia tak membahas insiden tadi. Malah dia sendiri yang datang mengingatkanku. Memang benar kan? Ketakutanku tak berdasar. Hah... aku selalu saja mengasumsikan sendiri apa yang akan terjadi padahal itu semua hanya dipikiranku saja. Belum tentu benar-benar terjadi. Seperti hari ini, tadinya aku pikir aku akan dipermalukan. Tapi apa yang terjadi, dia tak membahasnya lagi.
Aku harus bisa mengalahkan rasa takutku, agar aku tidak berlarut-larut dalam rasa takut itu sendiri. Semua belum tentu seperti apa yang aku bayangkan, bisa saja sebaliknya. Hanya butuh keberanian saja agar aku mampu mengatasi masalah. Tapi aku tak yakin, aku punya keberanian seperti itu. Namun semua itu harus aku coba kan? Terlepas dari bagaimana hasilnya nanti.
---------------------------------------ooooooo--------------------------------------