Bab 6

1308 Kata
Hari ini aku datang ke sekolah lebih awal. Tak ada siapa-siapa didalam kelas, karena memang masih sangat pagi. Aku sengaja datang pagi-pagi karena ada jadwal piket hari ini. Kebiasaanku memang, piket dipagi hari. Seharusnya piket dilakukan sepulang sekolah kemarin. Tujuannya agar tak ada debu yang beterbangan didalam kelas. Yang mana dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. Tapi aku lupa, sama sekali tak mengingat kalau hari ini aku piket. Mudah-mudahan debunya sudah lenyap sebelum belajar nanti.   Aku berjalan kebelakang kelas untuk mengambil sapu. Aku akan membersihkan debu di lantai kelas ini dengan pelan, agar debunya tak terlalu menguar. Selesai menyapu, aku pun hendak merapikan meja dan kursi yang memang berantakan saat aku menyapu tadi. Ini memang kebiasaanku, aku tak mau ada satu pun debu tertinggal dibawah celah meja atau kursi. Jadilah aku tadi menggeser meja dan kursi ini kebelakang agar aku lebih leluasa. Kegiatan nyusun menyusun ini, aku kurang begitu bisa. Terbukti, ada saja yang komplain nantinya. Ada yang bilang susunannya kayak ularlah, tak rapilah, dan masih banyak lagi ejekan-ejekan yang keluar dari mulut mereka. Tapi mau bagaimana lagi. Sekarang kan tugas piketnya aku. Yang lain juga belum datang. Daripada ada yang ribut karena susunan meja ini tak teratur mending aku kerjakan saja. Hasilnya urusan belakanganlah. Baru akan memulai dideretan paling kiri, suara berat itu mengagetkanku. “biar aku saja. Aku hari ini juga piket.”, ujarnya. Aku tak kuasa untuk berbalik, aku tau suara siapa itu. Aku sangat mengenal suara itu. Tanpa berkata apapun, aku hanya berjalan menjauh dari meja itu. Membiarkan dia melakukan pekerjaannya. Aku yang tepat dibelakangnya hanya menatapnya tanpa mampu bersuara. Terlihat dengan jelas, dia sudah terbiasa melakukannya. Hasil kerjanya sangat lah rapi. Berbeda sekali denganku yang suka mencong sana mencong sini. Semakin hari semakin aku kagum padanya. Dan terlebih lagi, debaran ini tak kunjung menghilang dari jantungku. Sepertinya aku perlu dokter spesialis jantung untuk meredakan debaran ini.   ---------------------------------------ooooooo-------------------------------------- Semakin hari aku semakin dekat saja dengannya. Dalam arti berinteraksi lebih. Jangan pernah berpikir, kita dekat sebagai gebetan atau yang parahnya sebagai sepasang kekasih. Itu tak akan pernah terjadi. Karena kedekatan kita murni karena teman sekelas. Apalagi aku dan dia sering disatukan dalam tugas kelompok. Tugas yang tadinya membosankan akan menyenangkan bagiku. Berapa lamapun waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas itu, selalu singkat kurasa. Tak pernah ada kata bosan untuk berlama-lama dengan nya. Tak ada kecanggungan darinya yang kurasakan. Tapi apa dia merasakan kecanggunganku kala beradu pandang dengannya? Entahlah, mungkin saja dia tau dan berpura-pura tak tau, atau mungkin dia memang tak pernah tau. Aku tak tau dengan pasti, karena memang aku tak bisa tau isi hati orang lain. Aku bersyukur Tuhan menciptakan kita dengan segala keterbatasan. Keterbatasan dalam melihat, keterbatasan dalam mendengar. Tak bisa kubayangkan, seandainya aku bisa mendengar isi hatinya. Apakah aku akan bahagia ataukah sebaliknya. Didunia ini selalu ada dua kemungkinan, baik atau buruk, bahagia atau sedih. Kemungkinan baiknya aku akan sangat bahagia bila tau perasaanku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi bila yang terjadi kemungkinan yang kedua, tak hanya sedih yang kurasakan. Aku juga pasti hancur, hancur sehancur-hancurnya. Sampai tak berbentuk. Aku tak sanggup hanya membayangkannya saja. Aku tak akan, bahkan tak akan pernah mau ambil resiko sebesar itu. Sudah aku katakan kan,  aku tak siap untuk kecewa. Seperti ini saja sudah sangat indah. Aku tak mau mengacaukan saat-saat indah ini dengan bertindak konyol. Tindakan yang akan kusesali seumur hidupku. Katakanlah aku pengecut, tak masalah bagiku. Lagian aku seorang perempuan. Tak pantas rasanya aku yang memulai mengatakannya atau bertindak seolah mengatakan aku menyukainya. Aku tak mau melakukan hal konyol seperti itu. Seorang perempuan sudah kodratnya untuk dipilih bukan memilih. Jadi, bila aku menyukainya, belum tentu aku perempuan yang dia pilih. Toh, memang ada yang bilang cinta tak harus memiliki. Terkadang mencintai dalam diam pun, akan lebih terasa menyenangkan bagi yang merasakannya. Contohnya, aku. Bila ditanya apa aku tak berharap lebih padanya? Jawabnya tak mungkin rasanya aku tak mengharapkan dia ada disisiku saat ini, esok, lusa dan selamanya. Namun, balik lagi aku ini seorang perempuan, tak mungkin aku yang memulai. Ya, aku sadar aku bukanlah perempuan yang dia pilih. Karena aku yakin dia tau akan perasaanku pada dirinya. Hmmmm... aku tak mau sakit hati nantinya setelah tau kenyataan yang sesungguhnya. Biarlah begini saja, toh setelah lulus kami tak akan bertemu lagi. Seperti yang sudah-sudah aku selalu ditakdirkan untuk satu kelompok dengannya. Entah sudah jalanNya atau bagaimana, kali ini aku dan dia disatukan dalam kelompok memasak mie goreng. Aku bertugas membawa kompor minyak sedangkan dia membawa mie yang sudah direbus. “Indra mah pinter masak. Enak lagi,”, celetuk teman kelompokku. Aku yang memang tertarik semua hal yang berkaitan dengan dirinya, hanya diam saja tanpa maksud menyela omongannya. Namun sayang tak ada omongan lagi, hanya sekedar itu. Aku yang tak puas akan omongannya, tanpa sengaja menimpalinya. “Emang iya? Dia kan cowok,”, timpalku. Temanku yang terpancing dengan omonganku tak sengaja membalasnya. “Aku tau lah. Kan aku sama dia tetanggaan,”, katanya. Sontak saja aku membelalakkan mataku tanda kaget, aku tak habis pikir ‘ternyata dunia ini begitu sempit’ pikirku. Aku sedang sibuk mempersiapkan alat-alat makan teman kelompokku. Mulai dari me-lap piring, gelas, sendok dan garpu. Setelahnya aku hendak menyusun peralatan makan diatas meja yang sudah beralaskan tamplak meja dan vas berisi bunga kertas untuk mempercantik meja makan kami. Sebenarnya ini bukanlah meja makan yang sesungguhnya. Hanya beberapa meja belajar yang disusun seperti layaknya meja makan. Baru akan memulai, suara berat dari arah belakangku menghentikan aktifitasku. “Aku bantu ya, aku gak tau mau ngapain.”, ijinnya. Belum sempat aku menjawab, dia sudah menyusun gelas dan piring itu diatas meja makan. Aku hanya menatapnya saja tanpa membantunya. “Kenapa bengong? Sini bantu aku.”, ujarnya lagi sambil melambaikan tangannya agar aku mendekat. Aku langsung kikuk, tak tau mau bagaimana. Tapi aku bisa mengontrol emosiku, dengan langkah pasti aku mendekat kearahnya. Jadilah kita berdua menyusun peralatan makan itu. Tak butuh waktu lama, semua peralatannya sudah tampak rapi. Jangan ditanya bagaimana rasanya berdekatan seperti itu tanpa ada jarak lagi diantara kami. Hmmm... senang, gelisah, gugup dan takut. Itu lah yang aku rasakan. Namun rasa senanglah yang lebih mendominasiku saat itu. Debaran jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya seakan copot dari tempat seharusnya. Entah aku yang pandai mengatur emosi, atau dia yang pandai bersikap, aku tak tau. Jarak kami sangatlah dekat, tidak mungkin rasanya dia tak mendengarkan debaran jantungku. Aku berharap dia tak pernah dengar debaran itu. Sekalipun dia dengar, aku harap dia tak pernah mengungkitnya. Selesai sudah pekerjaan kami, sekarang waktunya kami akan makan bersama. Aku sengaja berdiri saja dibelakang meja. Memperhatikan dimana dia duduk agar aku dapat memposisikan diriku agar tak berdekatan dengannya. Namun, belum sempat dia duduk, teman-temanku sudah duduk dikursi mereka masing-masing meninggalkan satu kursi disamping laki-laki itu. s**l, umpatku dalam hati. Bukan ini yang aku harapkan. “Mi, bisa pindah tempat gak?”, pintaku kepada salah satu temanku yang bernama Rahmi. Dia hanya menggeleng pelan sebagai jawabannya. Aduh, memang tidak bisa diandalkan. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya. Mungkin tersinggung akan ucapanku. Tapi percaya lah, bukan maksudku begitu. Kalian mengerti kan mengapa aku begitu? Tak mau dia salah paham, aku berjalan ke arah kursi itu. Saat ini aku sudah duduk tepat disampingnya. Aku mati-matian bersikap sewajarnya saja. Tapi s**l, jantungku tak bisa diajak kompromi. Debarannya begitu keras. Aku ingin acara makan-makan ini cepat berlalu. Aku tak mau berlama-lama diposisiku sekarang. Katakanlah aku begitu naif. Tapi berlama-lama begini aku bisa serangan jantung dadakan. Aku belum siap mati muda. Masih banyak hal yang belum aku lakukan. Setelah acara makan-makan itu selesai, aku bersiap pulang. Kegiatan masak memasak tadi memang di jam terakhir. Aku mau menormalkan debaran jantungku. Malu rasanya bila ketahuan teman-temanku. Akan seperti apa jadinya nanti bila mereka semua tau. Bisa-bisa aku tak punya muka lagi berhadapan dengannya. Aku tak mau semua itu terjadi. Mulai sekarang aku harus benar-benar menjaga jarak dengannya, setidaknya satu meter dariku. ---------------------------------------ooooooo--------------------------------------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN