EX FIANCE | 1

2173 Kata
    “Yakin mau berangkat sekarang? Kita baru sampai satu jam yang lalu, Del,” entah sudah berapa kali teman satu Apartemen Adelia menanyakan hal yang sama sejak tadi.                                                      “Gue nggak punya waktu lagi. Semua harus gue selesaikan hari ini,” jawab Adelia sambil merapikan top outher yang melapisi sport bra miliknya, outfit yang sering dia gunakan ketika menyambangi tempat gym.  Outfit itu terlihat sangat pas di tubuh proposionalnya.     “Lo nggak capek? Penerbangan dari New York ke Indonesia bukan penerbangan yang singkat Melva Adelia Cetta. Gue tahu lo frustasi. Gue tahu lo mau cepat-cepat pulih. Tapi nggak dengan memaksakan diri seperti ini.” Stephani menatap gadis di depannya dengan raut wajah khawatir.     “Step, please, jangan sebut nama itu lagi. Melva Adelia Cetta sudah lama tiada. Orang yang berdiri di hadapan lo ini adalah nyonya Whalen. Adelia Whalen. Cukup panggil gue dengan nama itu,” ucap Adelia dengan wajah datarnya.     “Mel.”     “Adelia, please!” seru Adelia     Stephani menatap punggung Adelia dengan nanar. Sudah tiga tahun berlalu namun Adelia masih tetap sama. Bahkan Adelia tampak tidak berniat untuk bangkit lagi. Wanita itu terlalu asik dengan lukanya.     “Pulang jam berapa?” tanya Stephani. Gadis berambut pirang itu memilih menyerah. Melawan sikap keras kepala Adelia bukanlah pilihan yang tepat. Stephani akan selalu kalah.     “Setelah makan malam, mungkin,” jawab Adelia seadanya. Dia kembali menatap ke arah cermin besar di hadapannya. Meneliti penampilannya. Rambut panjang kecoklatan yang di ikat tinggi, outfit olahraga yang pernah di belikan oleh Lucas saat mereka jalan-jalan di kota New York, Legging hitam yang membungkus kaki jenjangnya dengan sempurna dan sepatu olahraga yang pernah di berikan Lucas beberapa tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun membuat penampilan Adelia benar-benar terlihat sangat sempurna.     “Mau ke tempat gym juga?” tanya Stephani ketika kembali dari dapur dengan secangkir teh hijau di tangannya.     “Nggak ada waktu yang boleh terbuang sia-sia. Lucas nggak suka liat gue malas-malasan. Dia selalu berpesan. Berolahraga setelah beraktivitas itu sangat bagus dan membuat tubuh jadi releks. Gue nggak mungkin melupakan nasehat suami gue gitu aja.”     “Del!” seru Stephani.     “Gue tahu lo mau ngomong apa. Jangan di lanjutin. Gue nggak mau mood gue jadi jelek di hari pertama gue kembali ke Indonesia. Gue mau menikmati hari pertama gue dengan datang ke kantor tempat gue bekerja besok dan mendaftar di salah satu tempat gym di sini. Gue akan pulang setelah jam makan malam. See you,” Adelia mengecup kilat pipi Stephani lalu berlalu menuju pintu apartemen dengan tas olahraga  yang jelas-jelas itu milik Lucas. Semuanya. Semua adalah tentang Lucas. Apapun yang dia lakukan sepertinya Adelia memang selalu melibatkan Lucas di dalamnya, terbukti sekali bahwa wanita itu tidak berniat untuk melupakan.     “Gue dinner sama Daniel malam ini,” ucap Stepani yang di balas lambaian tangan oleh Adelia. Stephani hanya bisa menghela napasnya. Adelia Whalen benar-benar sulit di kendalikan.     ***     Adelia  melebarkan senyumnya ketika kakinya menginjak lobi apartemen yang cukup ramai sore ini. Wanita berusia 28 tahun itu terus melangkah hingga kebisingan ibukota menyambutnya. Tiba-tiba Adelia merindukan Manhattan. Merindukan sosok yang selalu memeluknya dengan hangat. Merindukan canda tawa saat mereka mengomentari lalu lintas atau beberapa orang yang menurut mereka menarik. Adelia benar-benar sangat merindukan Lucas Whalen.     Adelia terus melangkahkan kakinya dengan santai. Adelia hanya ingin tahu berapa banyak waktu yang harus dia habiskan untuk sampai ke kantor tempatnya bekerja dengan berjalan kaki. Adelia memilih berjalan kaki karena gedung kantornya yang baru tidak terlalu jauh dari gedung apartemen milik Stephani.     Lalu lintas yang padat, pedagang kaki lima yang semangat menjajakan dagangannya dengan senyum cerah yang tampak kelelahan. Pengamen jalanan yang terus memetik gitar dan menyanyi tanpa lelah. Adelia tersenyum tipis. Para pekerja keras itu membuat hatinya tersentuh. Semangat yang tidak pernah pudar untuk mengais rupiah. Adelia sangat yakin pasti anak-anak mereka akan sangat beruntung memiliki orangtua yang sangat gigih dalam bekerja. Adelia tahu hasilnya tidak seberapa tapi dari hasil yang tak seberapa itulah mereka memberikan kehidupan pada keluarganya di rumah.     Langkah Adelia tiba-tiba terhenti saat dia meyadari sudah berada di depan gedung pencakar langit. Adelia tersenyum. Dulu dia sangat sering datang ke tempat ini, ikut dengan ayahnya untuk menemui rekan bisnis. Sudah hampir delapan tahun berlalu dan Adelia merasa dia sudah melewatkan banyak hal. Gedung yang dulunya memang sudah besar kini berubah sangat besar dan terlihat sangat megah. Adelia  diam-diam kembali tersenyum. Setidaknya dia bisa menemukan suatu yang sangat baik setelah dia kembali.     Di pintu masuk langkah Adelia di halangi oleh dua orang security. Dua orang dengan seragam khas itu menatap Adelia penuh curiga. Adelia mengeryitkan keningnya. Alisnya menukik dalam sebelum dia menyadari suatu hal. Adelia menepuk keningnya pelan. Buru-buru wanita itu menunjukkan kartu identitasnya. Di sana tertulis dengan jelas. Adelia Whalen. Manajer keuangan. Levine Group.     Security itu mengangguk walau terlihat sangat ragu. Adelia melemparkan senyum tipisnya lalu melangkah  ke dalam gedung. Adel menatap dirinya saat melewati kaca besar di lobi kantor. Adelia tanpa sadar meringis pelan. Dia melupakan sesuatu. Selain ini gedung perkantoran, ini juga Indonesia. Hanya orang gila yang datang dengan top outher yang melapisi sport bra yang bahkan memperlihatkan sebagian punggung ke gedung ini. Tanpa banyak pikir lagi, Adelia langsung melanjutkan langkahnya. Lagian ini sudah sore. Kantor pun sudah sepi, jadi tidak akan ada yang memperhatikan Adelia. Adelia semakin cepat melanjutkan langkahnya. Adelia hanya ingin sampai di ruang kerjanya dan melanjutkan kegiatannya untuk pergi ke tempat Gym yang sempat di sarankan Daniel saat mereka masih di New York.     Adelia berdiri di depan pintu lift. Menunggu benda pergi panjang itu sampai ke lantai dasar. Hanya butuh waktu beberapa detik. Pintu lift terbuka. Adelia masuk dengan gerakan santai lalu menekan lantai tujuannya. Lantai 30. Di sanalah departemen keuangan berada. Saat sampai di lantai 30 pintu lift terbuka lebar. Ruang luas yang tampak begitu nyaman menyambut Adelia. Ruang-ruang dengan dinding terbuat dari kaca membuat Adelia bisa menatap dengan jelas kota Jakarta dari atas. Adelia berjalan mendekat kearah kaca. Dia tersenyum lembut berusaha menghalau keraguan dalam hatinya.     “Semua akan baik-baik saja,” ucap Adelia sambil menatap cincin yang melingkar di dari manisnya.     “Aku akan baik-baik saja. Kamu harus percaya sama aku. Aku akan baik-baik saja,” ucap Adelia lagi sebelum membawa cincin itu mendekat kearah bibirnya dan mengecup cincin itu dengan mata terpejam.     Puas memandangi kota Jakarta, Adelia mendorong pintu kaca dengan tulisan Manager Fiance di depannya. Adelia lagi-lagi berdecak kagum. Ruangnya benar-benar di desain dengan sedemikian rupa. Meja kerja dengan komputer lengkap. Kursi yang tampak benar-benar nyaman. Sofa melingkar dekat dinding kaca. Pohon buatan yang membuat ruangan ini benar-benar tampak asri. Adelia sangat bersyukur. Ruang ini seolah di buat khusus untuknya. Bahkan warna semua perabotan di sini adalah warna favorit Adelia. Rose gold. Benar-benar sempurna.     Adelia memilih menjatuhkan dirinya di sofa. Mengecek beberapa notifikasi di ponselnya. Sebelum mengangkat telpon dari seseroang di ujung sana.     “Aku akan segera datang, Ruth,” ucap Adel saat menyadari hampir pukul 6 sore.     “Kamu tunggu sebentar lagi. Aku sedang mengunjungi kantor baruku.”     “Oke baiklah. Aku akan segera sampai,” tutup Adelia.     Adelia menyambar tas olahraganya lalu kaki jenjang itu segera melangkah keluar ruangan. Ruang departemen nya benar-benar sudah sepi. Saat sampai di depan lift. Lift-nya sudah mati. Adelia berdecak kesal.     “Perusahaan sebesar ini dan lift nya sudah di matikan di pukul 6 sore? Benar-benar menyebalkan,” runtuk Adelia. Dia memilih berbelok menuju tangga darurat.     Penerangan remang-remang menyambut Adelia. Turun menggunakan tangga darurat dari lantai 30 benar-benar bukan pilihan yang baik. Adelia melirik jam di ponselnya. Hari semakin beranjak malam. Perempuan itu memilih mengirim pesan pada Ruth kalau dia terjebak di kantor dan akan benar-benar terlambat untuk datang ke tempat Gym. Adelia meminta maaf pada Ruth kalau membuat pria itu menunggu lebih lama lagi.     Adelia terus berusaha dengan cepat menuruni tangga. Beberapa kali memilih berhenti karena napasnya tersenggal. Adelia melirik keCatas. Baru lantai 15. Sambil mengatur napasnya yang memburu Adelia terus menuruni tangga dengan kaki jenjangnya. Keringat membanjiri pelipis dan mengalir menuju wajah. Seharusnya Adelia mendengarkan ucapan Stephani sebelum berangkat. Sekarang Adelia benar-benar menyesal.     Di lantai 10, Adelia melihat sosok dengan jas lengkap juga menuruni tangga darurat. Pria dengan tubuh tegap itu tampak santai sambil memainkan ponselnya. Adelia memilih memelankan langkahnya. Matanya terus menatap punggung tegap yang tampak nyaman itu. Lengan kekar, bahu lebar. Benar-benar terlihat sempurna di tutupi dengan jas yang terlihat mahal.     Adelia tanpa sadar menelan ludahnya. Adelia meruntuki dirinya. Bisa-bisanya mengaggumi sosok pria yang tidak dia kenal di situasi seperti ini. Jarak Adelia dengan pria dengan tubuh sempurna itu hanya tersisa dua tangga. Adelia tanpa sadar menahan napasnya. Di tangga ini hanya ada mereka berdua. Sepi. Bahkan Adelia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Adelia sangat yakin. Pria yang terus melangkah di depannya ini bukanlah orang sembarangan. Pasti dia memiliki posisi yang sangat penting di perusahaan ini. Melihat jas, celana , sepatu bahkan jam tangan yang melingar di perggelangan tangannya. Adelia sudah bisa menyimpulkan. Semuanya terlihat sangat mahal dan sempurna.     Langkah Adelia tiba-tiba terhenti saat orang di hadapannya juga menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Adelia bahkan meruntuki dirinya saat keningnya terbentur punggung tegap yang terasa sangat keras.     “Maaf,” ucap Adelia secara refleks. Adelia mengelus keningnya. Bahkan dia tidak menyadari seseorang yang dia tabrak sudah menatapnya dengan tatapan bingung. Menyadari ada seorang yang menatapnya. Adelia mengangkat wajahnya. Matanya langsung menagkap sosok sempurna yang sempat membuat Adelia menelan ludahnya susah payah.     Mata Adelia terpaku. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Tatapan itu seolah membunuh Adelia di tempatnya. Napasnya tiba-tiba tercekat. Adelia secara refleks membuang tatapannya.     Seolah di tarik kembali ke alam sadarnya. Adelia memilih melangkah cepat menuruni tangga. Namun, langkah Adelia tiba-tiba kembali terhenti saat tangan besar menahan lengannya. Tubuhnya seolah tersengat. Adelia merasakan tubuhnya tiba-tiba dialiri aliran listrik dengan jutaan volt. Adelia tidak berkutik. Bahkan untuk menolehpun Adelia seolah tidak memiliki kekuatan.     “Mba Whalen ya?” Duarrr. Seolah tersambar petir di siang bolong Adelia hanya bisa melongo tidak percaya menatap kearah Aiden. Benarkah orang di hadapannya ini Aiden Narendra Levine? Mantan tunangannya? Dan apa katanya tadi? Mbak Whalen? Astaga! Adelia merasa ingin mengundurkan diri saja dari perusahaan ini. Adelia berPikir Aiden akan memanggilnya dengan embel-embel miss atau mrs  tadi karena nama itu memang lebih cocok diawali dengan kata itu namun apa yang terjadi, Aiden dengan seenaknya menggunakan awalan ‘mbak’.     “Maaf, Tuan. Anda mengenal saya?” tanya Adelia penuh penekanan. Emosi Adelia semakin naik kektika dia melihat seorang di hadapannya tersenyum. “Kamu kenal saya?” tanya suara itu, terdengar dalam dan sialnya suara itu benar-benar sangat seksi. Adelia meruntuki dirinya dalam hati. Adelia seharusnya tidak memikirkan hal ini. Sedari tadi otaknya bertingkah saat liar.     “Tentu saja tidak, Tuan,” jawab Adelia dengan sinis. Pria di hadapannya lagi-lagi tersenyum bahkan hampir tekekeh.     “Selamat datang  mbak Whalen. Senang bertemu dengan anda. Saya kira kita akan bertemu besok pagi,” ucap pria di hadapannya. Bahkan orang itu menjulurkan tangannya.     Adelia menatap tangan di hadapannya dengan ragu-ragu sebelum dia menjabat tangan besar itu.  Mbak Whalen? Itu benar-benar terdengar aneh di telinga Adelia. Adelia rasanya ingin tertawa dengan keras lalu menangis. Dia merasa miris.     “Terimakasih, Tuan,” jawab Adelia. Adelia benar-benar harus menahan emosinya.     “Saya Aiden Narendra Levine. Anda bisa memanggil saya Aiden atau Bapak.  Jangan panggil Tuan karena kamu bukan anak buah saya. Kamu adalah rekan saya. Kita akan bekerja sama untuk memajukan perusahaan ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik mbak Whalen,” ucap Aiden. Adelia bahkan membulatkan matanya seolah tidak percaya dengan situasi yang dia hadapi sekarang. Ini di luar perkiraannya. Adelia merasa sedang di permainkan.     Adelia berusaha melebarkan senyumnya namun gagal. Bibir itu hanya berhasil membentuk garis lurus. Adelia benar-benar kehilangan kata-katanya.     “Kalau begitu saya permisi. Maaf membuat kening anda memerah. Semoga lekas pulih mbak Whalen,” ucap Aiden sambil melemparkan senyum tipisnya lalu pria dengan tubuh ideal itu menuruni tangga dengan cepat.     Adelia masih melongo di tempatnya. Sejak kapan pria itu berubah jadi ramah? Sejak kapan seorang Aiden Narendra Levine mengucapkan lekas sembuh pada bawahannya? Sejak kapan dia tidak mau di panggil, Tuan? Sejak kapan Aidan memanggil seseorang dengan embel-embel, Mbak? Ini benar-benar di luar perkiraan Adelia. Apa Aiden mengalami geger otak hingga pria itu bersikap aneh. Adelia menggelengkan kepalanya. Adelia tidak boleh terjebak dalam permainan pria itu lagi. Aiden Narendra Levine tetap akan menjadi pria paling Adelia benci sepanjang hidupnya.     Sadar dari situasi aneh yang baru saja terjadi, Adelia memilih melangkah cepat. Dia benar-benar berhasil membuat Ruth menunggu lama. Semua ini gara-gara Aiden sialan dan sialnya pria itu akan menjadi bosnya mulai esok.     Kantor benar-benar sudah sepi namun langkah Adelia lagi-lagi di paksa berhenti. Matanya menangkap dua sosok yang saling mendekap dengan hangat. Sang wanita yang tersenyum lebar saat pipinya di hujani  ciuman bertubi-tubi.     Adelia tersenyum miris. Lagi-lagi dia harus sadar sekarang. Semua sudah berubah. Waktu delapan tahun seharusnya benar-benar menghapus jejak luka yang pernah dia dapatkan di masa lalu. Adelia hanya pernah jadi bagian kecil dari dua orang yang udah bahagia dengan kehidupan yang baru.     Tatapan Adelia lagi-lagi jatuh pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Dia tersenyum lembut.     “Luke, bisakah kamu datang sekarang?”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN