"Hati-hati, Bisma. Kamu tahu kan istilah ipar itu maut?"
______
Bukan Istri Idaman
Bisma Ardhana
Aku keluar kamar karena takut tidak bisa mengandalikan diri, Aulia berubah jauh dari perkiraanku. Aku senang melihat perubahannya, siapa sangka gadis kampung yang kumel bisa berubah seperti itu.
Kuambil kunci mobil, untuk keluar sekedar memahami perasaanku. Entah apa yang harus aku lakukan, persepsiku tentang istri idaman membuatku terjebak dalam perasaan yang membingungkan.
Teman-temanku nongkrong sudah berkumpul, kami biasa di kafe itu hingga menjelang pagi. Kafe milik temanku juga yang buka 24 jam.
"Bisma, dengar-dengar kamu sudah menikah ya," tanya Arfan, dia duda yang selalu kesepian makanya dia selalu di kafe ini sampai menjelang pagi.
"Iya," jawabku singkat.
"Lha, terus kenapa kamu disini?"
"Aku bingung dengan perasaanku." Akhirnya kuungkapkan perasaanku pada Arfan, aku tahu berani mengatakan ini padanya karena dia bisa dipercaya untuk tidak mudah menceritakan pada orang lain.
"Memangnya kenapa?"
"Kamu tahu 'kan kriteria istriku seperti apa?"
"Iya, semua orang juga tahu kalau kamu terobsesi sama Risa."
"Nah itu masalahnya, istriku itu jauh sekali dengan kriteriaku."
"Istrimu 'kan cantik, seorang model iklan juga."
Ternyata Arfan tahu Aulia, ya mungkin Kevin yang mengatakannya.
"Iya sekarang, tapi dulu asalnya dia gadis kampung."
"Memang kenapa kalau dari kampung?"
"Sejak pertama bertemu dengannya aku sudah illfeel, dulu nggak seperti itu."
Arfan tertawa mendengar ucapanku.
"Yang penting sekarang sudah cantik 'kan? Aku tahu, kamu hanya gengsi saja menerima istrimu," ucap Arfan yang seketika membuatku tersadar, apa memang benar yang dikatakan Arfan.
"Tapi aku juga tidak mencintainya," ucapku sambil menghembuskan nafas kasar.
"Cinta itu bisa datang seiring dengan berjalannya waktu. Aku dulu juga tidak mencintai istriku, aku menikah karena perjodohan tapi seiring berjalannya waktu aku mencintainya, bahkan terlalu mencintainya hingga tidak bisa melupakannya."
Arfan mengenang masa bersama istrinya yang meninggal karena kecelakaan, sampai sekarang dia tidak mau menikah lagi dengan alasan cintanya terlalu besar pada istrinya.
"Terus aku harus bagaimana?" tanyaku gundah.
"Ya, jalani saja pernikahanmu, nggak usah gengsi,"
Gengsi? Apa aku gengsi, ah masa sih.
"Memangnya siapa yang menjadikan istrimu model?" tanya Arfan lagi.
"Kevin, waktu aku tinggal ke Surabaya Kevin menjadikan Aulia model, aku juga tidak tahu awalnya bagaimana," jawabku.
"Hati-hati Bisma, kamu tahu 'kan istilah ipar itu maut?"
"Maksudnya?"
"Jangan kamu biarkan Kevin dan istrimu terlalu dekat, takutnya mereka bisa jauh cinta."
Deg! Mendengar ucapan Arfan aku jadi khawatir karena tadi sore kulihat mereka sangat akrab, kenapa aku bodoh sekali membiarkan mereka seakrab itu.
"Mereka berdua memang terlihat akrab," ucapku.
"Memangnya hubunganmu dengan Aulia itu sejauh mana? Kalian sudah melakukannya 'kan?"
Aku menggeleng, karena memang aku belum pernah melakukannya, aku kesini saja hanya karena menghindarinya.
"Gila, kamu bisa kuat gitu, tiga bulan lho," ucap Arfan sambil geleng-geleng.
"Aku ini laki-laki normal, makanya aku kesini agar aku tidak khilaf."
"Bisma … Bisma, kalian itu sudah resmi jadi suami istri, kamu boleh melakukannya, bahkan itu kewajiban," Terang Arfan.
Kewajiban, iya aku tahu kewajiban sebagai suami istri tapi aku masih ragu untuk melakukannya. Apa aku harus izin Aulia dulu atau bagaimana. Ah, memikirkannya saja aku bingung.
"Sudah pulang sana, jangan sampai kamu menyesal. Apalagi istrimu sudah dekat dengan Kevin, apa kamu nggak takut mereka bisa melakukan itu."
Mendengar ucapan Arfan hatiku panas, apa mungkin mereka bisa melakukannya. Tapi semua bisa saja terjadi.
Aku menyadari kesalahanku yang telah mengabaikan Aulia selama ini, aku harus mulai membuka hati untuk Aulia.
"Jangan bengong saja, sana pulang datangi istrimu," usir Arfan.
Aku langsung beranjak meninggalkan Afran.
"Bisma, jangan lupa minum jamu dulu!"
Sial, kenapa Arfan bicara kencang sekali, bahkan seluruh penghuni kafe tertawa melihatku. Awas kamu ya.
Segera kulajukan mobilku, aku benar-benar ingin menemui Aulia. Senyumannya selalu membayangiku, ah kenapa aku bodoh sekali membiarkannya hingga tiga bulan. Apakah dia mengharapkannya dan kecewa padaku.
Memasuki rumah hatiku makin berdebar, bagaimana aku akan melakukannya. Kenapa aku jadi bodoh begini.
Kubuka pintu kamar, kulihat Aulia sudah tertidur. Kutatap wajahnya lekat, kenapa aku lebih suka Aulia yang polos. Dia menarik, tapi aku merasa dia sekarang terlalu pintar.
Bisma, kenapa kamu bodoh sekali.
Kutelusuri setiap inci tubuhnya, tiba-tiba Aulia membuka matanya dan terperanjat.
"Mas Bisma!" pekiknya.
Aku terpaku tidak tahu harus berbuat apa, kenapa bodoh sekali sih, gara-gara Arfan aku sampai melakukan hal yang memalukan.
"Maaf, Aulia."
Aulia tampak tersenyum entah apa yang dia pikirkan, apakah dia menertawakan kebodohanku.
"Tidurlah," ucapku akhirnya.
Aulia merebahkan tubuhnya, dadaku masih berdebar. Kenapa susah sekali untuk melakukannya.
Satu ranjang bersama Aulia membuatku gelisah, dia terlalu cantik untuk di abaikan, akhirnya keberanikan diri untuk memeluknya.
Aulia tidak menolak saat aku peluk, dia makin mendekatkan tubuhnya padaku. Wangi tubuhnya membuatku nyaman hingga tak lama akhirnya aku tertidur.
***
Aulia membangunkanku saat adzan subuh berkumandang, aku masih menikmati harum tubuh Aulia. Memeluknya seperti ini memang membuatku nyaman.
Aulia masih menggoyangkan tubuhku untuk segera bangun, karena sudah adzan akhirnya aku bangun dan membersihkan diri setelah itu aku segera ke masjid.
Saat aku melewati dapur karena haus, terdengar suara orang sedang muntah di kamar mandi belakang, apa mungkin Mbok Sumi, apa dia sakit.
Kuketuk pintu kamar mandi itu, ternyata Niken yang keluar dari kamar mandi dalam keadaan pucat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Niken masuk angin, Mas," jawab Niken gugup. Sudahlah, kalau aku memperhatikannya dia pasti akan ngelunjak.
Akhirnya aku biarkan dia dalam keadaan seperti itu, aku sendiri sudah banyak pikiran ngapain juga ikut campur urusan pembantu.
"Kak, senyum-senyum sendiri, ada apa nih?" tanya Kevin.
"Kepo," jawabku.
Kevin menjajari langkahku, sepertinya masih penasaran denganku.
"Sepertinya seneng banget, emang ada apa sih?"
Aku tahu Kevin akan terus bertanya jika belum dapat jawabnya, kubiarkan dia bertanya-tanya. Ternyata memeluk Aulia membuatku makin semangat pagi ini. Membayangkannya saja sebahagia ini, rasanya pengen cepat pulang lagi ingin memeluknya sekali lagi.
Selesai Shalat subuh aku segera pulang, padahal biasanya aku keliling komplek. Entahlah kenapa aku ingin selalu dekat dengannya.
Saat aku masuk ke kamar Aulia sedang menyisir rambutnya, kudekati dia kuhirup harum rambutnya, ah seharusnya tadi malam aku melakukannya. Kenapa aku tidak berani.
Aulia berhenti menyisir rambutnya saat aku mendekat, kuambil sisir rambutnya lalu kusisir rambut panjangnya.
Terlihat ekspresi wajahnya seperti bingung, saat aku mendekatinya dia diam saja dan satu kecupan kudaratkan di pipinya.
Seketika wajahnya berubah merona, dia makin manis.
"Aulia, apa kamu senang dengan pekerjaanmu?" tanyaku.
Aulia diam seperti sedang memikirkan sesuatu, apa itu?