"Pagi, Pak."
"Pagi.Silahkan duduk, Adis."
"Saya mau nanya, Pak. Meja kerja saya kenapa enggak ada? Terus saya harus kerja di mana?"
Fariz tersenyum."Kamu kerja di hati saya aja."
Wajah Adis terlihat datar."Pak, saya lagi enggak pengen becanda. Saya lagi serius mau kerja."
"Tapi, saya enggak mau mempekerjakan kamu lagi," kata Fariz.
"Loh, saya dipecat gitu maksudnya, Pak?"
Fariz mengangguk."Ya."
"Tapi, kenapa, Pak?"
"Kamu sudah keterlaluan, bikin malu saya di depan petinggi-petinggi di kantor. Kamu tahu, saya ini sekarang adalah Direktur kamu."
"Loh, kok bisa Bapak yang jadi Direktur. Kan...waktu itu posisi kita beda dikit aja."
"Ya ... Sekarang sahamnya punya keluarga saya. Kamu enggak bakalan ngerti istilah begitu."
Adis terdiam."Tapi, saya enggak mempermalukan Bapak. Saya memang cuma menemukan celana dalam Bapak yang jatuh terus saya kembalikan. Terus...Bapak curi semua celana dalam saya dan bikin saya parno terus. Lalu salah saya dimana, Pak? Bukannya Bapak yang mempermalukan saya?"
"Tapi, terserah saya dong...saya mau pecat kamu atau tidak. Lagi pula...saya merasa enggak terima dengan perlakuan kamu," balas Fariz.
Adis berusaha menahan diri agar tidak menangis. Ia tahu kalau ia kuat. Ia bisa cari pekerjaan lain."Ya sudah, Pak. Tapi, gaji saya dibayar, kan, Pak? Setengahnya juga enggak apa-apa. Untuk menyambung hidup sampai saya dapat kerjaan lagi."
"Saya beri gaji penuh serta pesangon."
"Terima kasih, Pak." Tiba-tiba hati Adis terasa berdenyut. Rasanya sakit sekali.
Fariz menatap Adis dengan serius, membaca ekspresi wajah wanita itu.
"Tapi, Saya minta semua celana dalam saya dibalikin, Pak. Saya janji akan melupakan semua masalah ini."
"Saya enggak mau balikin.”
Adis menatap Fariz kesal."Loh enggak bisa gitu dong, Pak. Saya hanya akan keluar dari kantor ini kalau Bapak balikin celana dalam saya."
"Ya udah, kalau kamu milih itu. Kamu enggak jadi saya pecat."
"Terus meja saya gimana, Pak?"
"Kamu kerja di ruangan lama saya."
"Loh?"
"Kamu saya naikin jabatan."
"Semudah itu? Enggak, Pak. Saya enggak mau,"tolak Adis.
Fariz mendecak sebal."Kamu ini sudah saya batalkan pemecatannya terus saya naikin jabatan, malah enggak mau."
"Saya enggak paham apa-apa, Pak. Bapak mau rugi karena punya karyawan yang enggak bisa kerja? Saya benar-benar enggak tahu menahu tentang posisi Bapak kemarin. Saya kembali ke posisi saya yang lama aja, Pak," mohon Adis.
"Ya udah...ya udah. Untuk sementara kamu pakai ruangan lama saya aja. Besok saya suruh OB balikin meja kamu."
Adis tersenyum senang."Terima kasih, Pak."
"Tapi...." ternyata ucapan Fariz belum selesai."Kamu balikin celana dalam saya."
"Celana dalam yang mana, Pak?" Adis pura-pura tidak tahu.
"Yang kamu ambil dari kamar saya. Semua celana dalam pemberian mantan saya itu hilang. Kamu mau balas dendam, kan?"
"Enggak, Pak. Sumpah. Saya aja enggak tahu sekarang Bapak tinggal dimana."
Tiba-tiba pintu diketuk. Yulia masuk dengan seorang pria tampan.
"Permisi, Pak, ada tamu."
Fariz tersenyum dan berpelukan khas pria dengan tamunya itu. Adis mematung di tempat.
"Pak, saya permisi dulu," kata Adis pelan.
"Oh, iya, Adis. Kamu bekerja sesuai instruksi saya dulu, ya."
"Baik, Pak."
"Pacar kamu, Riz?"
Langkah Adis terhenti. Ia menatap pria itu dengan tajam.
"Bukan. Dia karyawan ku," jawab Fariz.
"Seksi juga, Riz."
"Tolong jaga kata-kata Anda!" kata Adis penuh penekanan. Kemudian ia pergi dari sana secepatnya.
"Duduk, Mar," kata Fariz.
"Kalian punya hubungan spesial?" tanya Marco penasaran.
Fariz mengernyitkan keningnya."Hubungan spesial? Aku dan Adis?"
"Iya."
"Ya sebatas...rekan kerja. Atasan dan bawahan."
"Yakin? Badannya seksi gitu loh!"
Fariz tersenyum, menangkap gelagat aneh dari temannya itu."Kita mulai bahas kerjaan kita, ya. Udah telat banget nih kamu datangnya."
"Oke,” balas Marco.
Sepanjang jam kerja perasaan Adis tidak tenang. Pertemuannya dengan Marco membuatnya pusing dan ketakutan. Dalam hati ia menyesali kehidupannya. Kenapa ia harus bertemu lagi dengan pria berengsek itu. Ia berusaha tetap Fokus kerja sampai jam makan siang.
Secara tidak sengaja, Adis berpapasan dengan Marco dan Fariz yang berjalan beriringan. Adis menyembunyikan wajahnya, benar-benar tidak ingin memandang wajah Marco. Adis bersyukur Marco terlihat keluar dari area kantor.
"Heh! Ngapain ngintip-ngintip!" Fariz menepuk pundak Adis yang tengah berdiri di pinggir dinding kaca, melihat ke arah luar.
"Eh, Bapak, saya cuma memastikan sesuatu saja, Pak." Adis tersenyum ramah, tidak seperti biasanya yang memasang wajah kesal pada Fariz. Tapi, itu ia lakukan dengan terpaksa karena sekarang ia sudah tahu siapa Fariz di kantor ini.
"Kamu kenal sama Marco?"
Adis menggeleng cepat."Enggak, Pak. Marco...teman Bapak?"
"Ya teman lama saya. Sekarang ...kami sedang menjalin kerjasama."
"Iya, Pak. Pak, meja saya sudah bisa dikeluarin dari gudang, kan?" tanya Adis dengan tampang yang dibuat semanis mungkin.
Fariz menatap Adis dari atas ke bawah."Kamu enggak suka ruangan itu?"
"Sudah saya jelaskan, Pak. Biarkan saya dengan posisi biasa dan ruangan yang ramai itu. Saya lebih nyaman." Adis tersenyum hormat.
Sementara Fariz merasa aneh dengan gelagat Adis. Karena masih banyak yang harus ia kerjakan, ia segera pergi.
"Loh, meja kerjaku gimana?" Adis menggaruk-garuk kepalanya kebingungan.
Ia segera kembali ke ruangan dan melanjutkan pekerjaannya.
Jam pulang sudah tiba. Adis berjalan dengan malas menuju lift. Lift ramai sekali dan terlihat sesak. Ia terkejut saat melihat Fariz ada di dalamnya tampak sedang bicara dengan Pak Trisno. Adis hanya melemparkan senyum.
"Adis! Aku mau ambil barang yang aku titipin dong," kata Nana begitu melihat Adis keluar dari lift. Tadi, Nana menitipkan sebuah kotak lumayan besar pada Adis. Katanya itu adalah hadiah yang akan diberikan pada sang kekasih yang kebetulan berada di kantor ini juga.
"Oh, iya...sebentar." Adis melepas tas ranselnya dan mengambil kotak itu dari sana."Ini."
"Makasih banyak, ya, Dis...aku duluan. Keburu orangnya balik. Dah." Nana berjalan cepat.
"Adis!" panggil Gilbert.
Adis menoleh."Ya?"
"Ini jatuh dari tas kamu," katanya sambil menyerahkan sesuatu. Ekspresi Gilbert terlihat aneh.
"Kamu bawa celana dalam cowok untuk apa,Dis?" tanya Nando yang ada di sebelah Gilbert.
Adis memerhatikan benda yang diberikan Gilbert baik-baik. Ia terbelalak, ini semacam bencana baginya. Celana dalam Fariz terjatuh saat ia mengeluarkan kotak milik Nana tadi. Lebih bencana lagi yang memergoki adalah Gilbert dan Nando, dua pria paling m***m di sini.
"Eh, ini..." Adis bingung harus menjawab apa.
"Kamu bawa ini untuk apa, Dis? Jangan-jangan untuk hadiah, ya?" kata Nando dengan tatapan genit.
Gilbert pun memberikan tatapan yang sama."Hadiah yang...'sesuatu' sekali. Berarti hubungan kamu dengan pria itu sangat dekat."
Adis merutuk dalam hati. Celana dalam Fariz ia bawa ke kantor karena ia memang ingin ngerjain pria itu lagi. Tapi, pemecatannya hari ini membuat Adis lupa apa rencananya.