Dibalas Pelakor
[Mas, mana uang untuk bayar sekolah Cinta?]
Aku mengirimkan pesan, menunggu jawaban dari Mas Seno. Kebetulan dia sedang online di aplikasi hijau ini.
[Uang sekolah apa, ya?]
Eh? Aku mengernyit menatap jawabannya.
Buru-buru aku menelepon Mas Seno. Memastikan kalau yang memegang ponsel adalah suamiku.
Terdengar nada dering beberapa kali. Aku berdiri dari duduk, berharap-harap cemas. Kalau bukan Mas Seno yang memegang ponselnya, lalu siapa?
Sikap Mas Seno memang berbeda dari biasanya akhir-akhir ini. Aku kembali duduk di kursi, menunggu dengan sabar.
"Halo."
Tubuhku langsung menegang ketika mendengar suara itu. Itu bukan suara Mas Seno, tetapi suara wanita. Aku menahan napas, menunggu dia kembali berbicara.
"Ini siapa, ya?"
Kenapa dia bisa memegang ponsel Mas Seno? Padahal, aku saja tidak pernah memegang ponsel suamiku.
"Ini siapa?" tanyaku kembali bertanya padanya.
"Kok malah balik nanya, sih? Ini siapa? Kenapa nama kontaknya Pembantu?"
Astaga! Wajahku memerah mendengarnya. Jadi, selama ini aku dianggap pembantu oleh Mas Seno?
"Lho, saya ini istrinya sahnya Mas Seno. Kamu siapa nya Mas Seno, hah?!" Tanganku mengepal, menahan kesal.
Diam sejenak disana. Huh, dia takut padaku, 'kan?
"Jangan ngaku-ngaku, ya. Saya istrinya Seno. Ih, orang gila, ya, kamu?" Suara wanita itu terdengar centil dari seberang sana.
Aku mengusap wajah. Enak saja, dia bilang aku orang gila.
"Jangan seenaknya, ya, kamu—"
Kata-kataku terhenti ketika terdengar suara yang amat kukenali—lebih tepatnya suara Mas Seno disana.
"Sayang, kamu ngapain?"
Jadi, ini serius?
Sejenak, aku terdiam. Berusaha mencerna apa yang terjadi. Beberapa detik, aku akhirnya mematikan telepon.
"Awas kamu, Mas. Berani-beraninya kamu selingkuh dari aku." Aku menggeram kesal.
Teringat percakapan dengan wanita tadi. Apa katanya? Dia istri Mas Seno?
"Mama kenapa? Papa baru pergi tadi pagi, Ma. Jangan kumat dulu kangennya."
Aku menatap Cinta—anakku satu-satunya. Dia baru saja pulang dari sekolah. Sekarang, dia sudah kelas 12 SMA.
Mas Seno tadi izin untuk pergi ke Bandung. Sedang ada dinas pekerjaan disana. Aku mengempaskan tubuh ke kursi, menghela napas.
Benarkah Mas Seno selingkuh di belakangku?
"Eh, Mama kenapa?" Cinta meletakkan tasnya ke atas meja.
"Pa—papa kamu selingkuh."
"Apa?!"
Aku meloncat ke samping, ketika mendengar suara Cinta yang naik beberapa oktaf. Aku mengusap telinga.
"Bisa gak, sih, kalau teriak pelan-pelan aja?"
Cinta menggaruk rambutnya. "Kalau pelan-pelan namanya bisik-bisik, bukan teriak-teriak, Ma."
"Terserah kamu."
Aku melipat kedua tangan ke depan d**a. Masih mengingat kejadian tadi.
"Itu serius, Ma? Jangan bercanda, lah."
Memangnya siapa yang bercanda? Sejenak, aku terdiam, menelan ludah. Tanpa sadar, aku malah membicarakan masalahku dengan Cinta.
Astaga!
Kenapa aku baru sadar sekarang? Harusnya, aku mengurus masalah ini sendirian, jangan melibatkan anak. Aku menepuk mulut pelan.
"Ma."
Aku menoleh ke Cinta. Tidak ada raut sedih disana. Aku mengernyit heran.
"Cinta bakalan bantuin Mama buat ungkap semuanya. Cinta pinjam ponsel Mama."
Meskipun agak aneh dengan kalimat Cinta, tapi aku akhirnya menyerahkan ponsel, membiarkannya mengotak-atik ponsel.
Hampir setengah jam aku menunggu Cinta. Dia tidak lepas menatap ponselnya, juga ponselku.
"Nah!"
Aku mengusap telinga, suara Cinta terdengar berdengung. Kayaknya sewaktu hamil, aku ngidam toa, nih.
"Cinta ketemu tempatnya, Ma. Kita langsung kesana, Cinta gak sabar buat pergokin Papa. Enak aja, istri dukung usaha, malah enak-enakan sama wanita lain."
Cinta berkata menggebu-gebu, membuatku sedikit bingung.
"Ma, ayo."
Aku buru-buru mengangguk, kemudian beranjak.
"Sesama wanita, Cinta gak terima Papa mengkhianati Mama. Dan sebagai anak, Cinta gak terima Mama disakiti Papa."
Baiklah. Aku akan membongkar semuanya. Demi Cinta dan demi diriku sendiri.
***