Pertemuan Jhon dengan kedua wartawan itu berakhir baik, setelah berbincang-bincang, mereka pun sepakat membuat perjanjian.
Jhon ingin diberikan informasi terkini hasil forensik, sementara mereka kelak akan mendapat info terkini dalam proses penangkapan.
Terlebih lagi Rani sudah membocorkan beberapa hasil yang masih disembunyikan oleh tim forensik karena belum terlalu yakin kalau barang itu adalah milik pria tersebut.
“Berjanjilah untuk tidak menunjukkan ini pada Wick,” bisiknya ketika pria botak itu permisi ke kamar mandi.
“Tenang saja, aku bisa menjaga rahasia.”
“Ya, aku juga melakukan ini karena kau sudah berjasa menolong nyawaku.” Rani menyeruput tehnya.
“Terima kasih, Aku senang bisa berkenalan denganmu.”
“Oh, sejujurnya aku tidak suka diikuti oleh Wick. Aku benar-benar takut padanya. Kau lihat sendiri kan bagaimana wajahnya? Menyeramkan,” sahut Rani cekikikan.
“Aku rasa dia baik.” Jhon menurunkan bibirnya.
“Ah, aku tidak tertarik.” Rani menggeleng kepala.
Jhon tersenyum pada wanita cantik berambut panjang itu. Jhon akui bahwa wanita itu memang lebih cantik dari Cherry, tubuhnya juga sangat bagus, hanya saja dia menggunakan pakaian terbilang sopan, jadi tidak terlalu intens menunjukkan dirinya. Namun, Jhon bisa menilai itu dari mana pun menggunakan naluri prianya.
Tidak lama kemudian mereka pun kembali ke aktifitas masing-masing. Berjanji akan berkomunikasi dengan ponsel lain yang tidak terdaftar oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Anehnya mereka punya kesamaan, yaitu mempunyai ponsel rahasia untuk menghubungi rekan atau pun pasangan di luar pekerjaan.
Kini Jhon berada di mobilnya dengan catatan toko sepatu yang sudah digenggamnya. Waktu kerjanya selesai untuk hari ini dan dia baru berhasil mencari 4 toko.
Jaraknya berjauhan dan menyebabkan proses panjang yang tak mampu diselesaikannya dalam sehari.
Jhon berhenti di parkiran restoran cepat saji kemudian memesan minuman dan makanan. Tak henti dia berusaha mencari bukti lain, termasuk benda kecil yang berhasil dipotret oleh Rani.
Benda berukuran 3 sentimeter jatuh di dekat jejak kakinya. Mainan gantungan kunci bergambar bunga itu seperti dikenalnya. Jhon mencoba mengingatnya.
"Oh, ayolah! Aku tahu ini di jual di suatu tempat yang aku sendiri pernah ke sana, tetapi kenapa aku malah lupa? Ah, pantaskah aku disebut seorang detektif? Payah!" gerutunya sendiri dengan emosi.
Keesokan harinya, di ruangan tim Light.
Tepat seperti dugaan Jhon bahwa mereka akan dimintai laporan pekerjaan yang sudah dilaksanakan. Masing-masing dari mereka memberi hasil.
"Pencarian di sisi Austin, tempat terakhir cctv menangkap pelaku tidak membuahkan hasil. Kami sudah berpencar ke segala arah selama seharian," lapor Sam pada ketua tim, Eigner.
Jhon melirik mereka satu persatu. Sebanyak ini tidak membuahkan hasil apa pun? Mereka minum kopi atau mencari penjahat? gumamnya dalam hati.
Eigner menatap Jhon kemudian menyapanya. "Jhon Calton."
"Yes, Sir!" sahut Jhon segera.
"Apa kau ikut dengan mereka semalam?"
"Tidak, Pak!"
"Kenapa?"
"Karena saya punya usul lain dan Pak Sam meminta saya menelusurinya."
Eigner belum dengar laporan ini dari timnya. Dia melihat Sam sebentar lalu meminta Jhon menjelaskannya. Jhon pun mengatakan semuanya seperti yang telah terjadi.
"Apa yang kau dapatkan dari pencarian itu, Jhon?" tanya Eigner.
"Saya hanya berkunjung ke-4 tempat yang ada dalam list saya, kemudian selain berkunjung juga bicara langsung pada pemiliknya, dari 4 tempat itu hanya satu yang tidak bisa saya temui karena dia berada di kelab."
"Lanjutkan, saya mau dengar semuanya."
Jhon menceritakan semua yang dialaminya, kecuali bertemu dengan Wick dan Rani. Menyamarkan nama dengan istilah pria dan wanita saja kemudian mengatakan kalau pemilik toko sepatu keempat punya luka di wajahnya hanya saja tinggi orang itu tidak sama dengan yang ada di foto.
"Kau yakin tingginya sekitar 175 sentimeter?" tanya Eigner.
"Jika kita hitung posisinya saat berada di basemen dan tinggi parkiran tersebut di tambah lagi tinggi kendaraan bermerk Ford tersebut, diperkirakan seperti itu."
"Wah, padahal saya baru mau mengatakan kalau tingginya memang kisaran 170-180cm," sahut Eigner.
Jhon tersenyum tipis, "Apa mungkin seorang pria menggunakan heels setinggi 15cm?" lanjutnya.
"Tidak ada yang tidak mungkin, dia bisa kita masukkan list pencarian setelah Anda menyelesaikan pencarian di semua toko."
"Oke, Pak!"
Mereka kembali mendengarkan instruksi untuk kembali menemukannya di beberapa tempat lain. Setelah 3 hari berlalu, wajah yang diduga pelakunya pun kembali dirilis.
"Ini wajahnya setelah diperjelas dan coba digambar ulang, ingat baik-baik dan fokus mencari dia." Eigner memberi perintah.
Jhon mengingat setiap lekukan pria beralis tebal, bibir tebal dan punya kulit yang tidak terlalu putih itu. Luka di wajahnya juga terilutrasi sebaik mungkin agar mempermudah pencarian. Bila dilihat cirinya, pria semalam beda dengan ini.
"Boleh saya memotretnya?" tanya Jhon.
"Boleh, tapi jangan disebarluaskan."
"Baik, Pak."
"Apa wajah pria yang semalam kau lihat sama dengan ini?" tanya Eigner.
"Berbeda, Pak."
"Oke, tidak masalah, pria itu tetap masuk list, penggambaran sistem bisa saja salah. Bergerak lah hari ini, cari ke pelosok-pelosok wilayah yang ada di Chicago."
"Siap, Pak!"
Eigner pergi dari ruangan untuk mengurus pekerjaan lainnya. Tinggal tim Light yang masih memikirkan sesuatu.
"Mari kita analisis kegiatan Chelsea sebelum menjadi seorang pengawal," ajak Diana.
Mereka pun mencoba mengikuti pembicaraan itu. Jhon mencari informasi dari internet.
"Sesuai yang aku dapatkan, Chelsea adalah seorang guru taman kanak-kanak selama 3 tahun, setelah itu dia bekerja sebagai pengawal seorang pengusaha karena dinilai pandai melindunginya dan diberi kepercayaan untuk menjadi bodyguard. Selanjutnya durasi itu hanya setahun, setelahnya dia diminta menjadi ajudan menteri," rinci Diana.
"Semakin luas, bukan mengerucut," sahut Jessica.
"Maksudku, kita bisa menanyakan informasi pada mereka yang ada di taman kanak-kanak, mungkin dia punya penggemar atau masalah, pasti salah satu dari teman mereka tahu itu," yakin Diana.
"Hmm, mungkin saja mereka masih punya rekaman saat dia mengajar." Jhon ikut memberi pemikiran.
Mereka melirik sinis. "Apa kau tidak tahu kalau cctv itu paling lama bertahan 14 hari, bukan 14 tahun?"
"Eh?" Jhon terjebak dalam ucapannya. Suasana mendadak kaku dan mereka pun mengabaikan dirinya. "Haha, maaf-maaf."
"Aah, kenapa Komjen mengutus orang yang tidak tahu durasi terhapusnya cctv dalam tim ini?" keluh Anton pelan dengan maksud menyindir.
Jhon menarik senyumnya dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia mempermalukan diri sendiri pagi ini. Namun, dia masih penasaran pada sesuatu dan memberanikan diri berbicara lagi. "Apa semua cctv di dekat rumah Chelsea sudah diperiksa?"
"Sudah!" jawab mereka serentak dengan nada kesal.
"Boleh aku melihatnya?"
"Aku ada file utuhnya, kau mau menganalisisnya?" tanya Sam.
"Boleh," angguk Jhon.
Sam menghargai keinginan Jhon dan segera memberikan flashdisk itu padanya. "Jangan kau sebarluaskan."
"Iya, Pak!"
"Kami akan ke lapangan, kau lakukan pencarian toko sepatu itu dan pengamatan cctv seperti yang kau inginkan. Kami akan meminta hasilnya setiap hari. Flashdisk itu jangan kau bawa pulang, cukup gunakan di ruangan ini saja, setelah selesai, letak di laci meja saya," jelas Sam, lalu menunjuk ke arah meja kerjanya.
"SIAP, PAK!" sahutnya tegas.