Gadis berambut ikal dan bermata biru itu menatap kepergian Dareen, perasaannya jadi tidak enak setelah kepergian lelaki itu karena hanya lelaki angkuh itu yang dia ingat.
"Mari, Nona, saya antar ke kamar." Marry dan Thomas membantu Carla berdiri.
"Pak Thomas, tolong siapkan kamar untuk mereka," pinta Carla pada kepala pelayan itu.
"Baik, Nona," jawab Thomas.
Dareen kembali lagi ke ruangan itu, dia melupakan satu hal yang nantinya akan membuatnya repot.
"Tunggu sebentar." Suara Dareen membuat mereka semua menoleh.
"Tidak ada satu pun dari kalian yang boleh menyebar berita tentang Nona yang hilang ingatan. Jika kabar itu tersebar, saya akan buat perhitungan pada kalian." Dareen berbicara dengan nada ancaman pada empat orang itu, kemudian dia meninggalkan mereka lagi.
Thomas memanggil para pelayan untuk menyiapkan kamar bagi keempat orang itu, kemudian membantu Carla masuk ke kamarnya di lantai atas.
Gadis itu mengamati ke seluruh ruangan kamarnya. Ruangan yang begitu besar identik dengan warna ungu itu membuatnya yakin bahwa dirinya adalah wanita yang feminin. Dia saat ini merasa aneh dengan segala perabot berwarna ungu itu.
"Silakan istirahat, Nona. Besok pagi, Tuan Dareen akan menjemput Nona untuk ke kantor.
Carla mengangguk, dia langsung merebahkan tubuhnya karena memang tubuhnya masih lemah.
"Aku akan dibawa ke mana, Pak?" Carla bertanya perihal Dareen.
"Saya tidak tahu, Nona," jawab Thomas, kemudian dia undur keluar dari kamar itu. Sedangkan Marry masih menunggui gadis itu hingga terlelap.
***
Carla membuka matanya saat alarm jam berbunyi, dia berusaha mengumpulkan nyawanya.
Suara ketukan pintu terdengar, lalu dua pelayan masuk ke kamar itu.
Dua pelayan itu mendekat ke arah Carla yang masih berusaha untuk bangkit kemudian membantunya duduk.
"Kalian mau apa?" Carla bertanya pada dua pelayan itu.
"Kami akan bantu Nona untuk mandi," jawab salah satu pelayan itu.
"Membantuku mandi?" tanya Carla heran.
"Itu memang tugas kami, Nona," jawab pelayan itu.
"Siapa yang memberi tugas kalian. Aku bisa mandi sendiri," ujar Carla, dia merasa konyol hingga mandi saja harus ada yang membantu.
Kedua pelayan itu saling pandang, kenapa Carla menanyakan itu. Padahal sejak diterima bekerja di rumah itu tiga tahun yang lalu, tugas mereka adalah membantu Carla mandi dan menyiapkan pakaiannya.
"Kalian ini ada-ada saja, mana ada orang mandi harus dibantu." Carla menggelengkan kepalanya karena merasa konyol.
"Tapi, Nona, ini memang tugas kami selama ini," protes Maya--salah satu pelayan itu.
"Iya, Nona. Jika kami tidak melakukannya, nanti kami akan dimarahi--"
"Siapa yang marah, aku adalah pemilik rumah ini. Kamu tahu sendiri 'kan kalau orang tuaku sudah meninggal. Sekarang kalian tidak aku perbolehkan membantuku mandi," tegas Carla. Dia semakin heran, kehidupan macam apa yang dia jalani dulu, bahkan untuk mandi saja ada pelayan yang membantunya.
"Kalau begitu, saya siapkan airnya, Nona," ucap Mira, kemudian dia langsung ke kamar mandi untuk menyiapkan keperluan mandi Carla.
Maya menuju ruang ganti untuk menyiapkan pakaian yang akan dipakai Carla, itu memang tugasnya.
Carla menggeleng, dia bahkan sangat heran dengan perlakuan para pelayan itu. Dia merasa geli jika memang selama ini mandi dibantu oleh dua pelayan itu. Dia berjanji, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi lagi.
Saat sudah di kamar mandi, Carla sangat bingung melihat kamar mandi itu, dia bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Dia membaca satu persatu kegunaan perlengkapan mandi itu, tapi dia benar-benar tidak tahu.
Akhirnya dia mengalah karena saat ini perutnya juga sudah sangat lapar. Dia membuka pintu kamar mandi dan langsung terperanjat karena ternyata Mira masih berada di depan pintu kamar mandi.
"Hei, kamu. Aku mengizinkanmu membantuku mandi, nanti aku akan minta Pak Thomas mengganti tugas kamu," ujar Carla. Dia berusaha menutupi ke tidak tahuannya tentang aktivitas di kamar mandi itu.
Mira menuangkan cairan di bathup dan membuat busa. Carla memperhatikannya agar nanti bisa melakukannya sendiri.
"Silakan, Nona." Mira mempersilakan Carla untuk masuk ke bathup. Dia membuka jubah handuknya setelah tubuhnya terendam.
Mira meminta Carla untuk bersandar, kemudian dia menuangkan sampo di tangannya dan mengusapnya pelan di kepala Carla. Dia melakukan pijatan di kepala Carla. Gadis itu sangat menikmati pijatan lembut itu.
Setelah itu Maya menggosok punggung Carla dengan spons lembut dan melakukan pijatan di pundak Carla.
Setelah melakukannya, Mira memberi tahu apa yang harus dilakukan Carla setelah itu.
"Saya keluar dulu, Nona." Mira meninggalkan kamar mandi itu.
Carla merasa lega karena yang dilakukan Mira hanya sebatas mencuci rambut dan menggosok punggungnya.
Setelah membersihkan diri, Carla segera keluar dari kamar mandi, dia masih penasaran dengan kejutan apalagi yang akan diterimanya hari ini. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kehidupannya.
"Bajunya sudah saya siapkan, Nona," ucap Maya sembari menunduk hormat.
'Apa-apaan ini, sampai baju saja sudah disiapkan,' gumamnya dalam hati.
Tanpa membantah lagi, Carla akhirnya masuk ke ruang ganti, dia bahkan tidak bisa memilih pakaian yang akan dikenakannya.
Dres tanpa lengan warna ungu tua dengan paduan jas dengan warna ungu muda. Dia semakin yakin jika dirinya dulu adalah gadis manis pencinta warna ungu. Bahkan sampai pakaian dalamnya juga berwarna ungu. Carla menggeleng geli melihatnya yang bukan dirinya.
Setelah selesai memakai baju, Maya segera memintanya untuk duduk, mereka berdua merapikan rambut dan sedikit merias wajahnya. Carla benar-benar tidak diizinkan melakukannya sendiri. Dengan kesal dia menerima apa saja yang dilakukan dua pelayan itu. Dia masih berpikir bahwa kehidupannya pasti membosankan.
Setelah selesai, Bu Marry menghampirinya, "Mari ke ruang makan, Nona."
'Apa lagi, ini, mau makan saja harus di jemput?' tanyanya dalam hati.
"Bu, apa memang aku harus dilayani seperti ini?" protes Carla.
"Iya, Nona. Termasuk Nyonya dan juga Tuan Besar," terang wanita paruh baya itu.
Carla berjalan menuju lantai bawah dengan ditemani Marry. Pandangannya tertuju pada meja makan yang penuh dengan makanan. Beberapa pelayan berdiri di sana bersiap untuk melayaninya.
"Sudah bangun, Sayang. Ayo kita sarapan," sapa Sabrina sembari menyambut Carla.
“Pelayan, cepat layani Nona Carla," perintah Sabrina pada para pelayan. Wanita itu benar-benar sudah berlagak seperti nyonya besar.
Para pelayan langsung mempersiapkan kursi agar Carla duduk, mereka juga menata piring di depan gadis itu. Saat pelayan itu mengambilkan makanan, Carla mencegahnya.
"Aku ambil sendiri," ujar Carla.
"Carla, ini tugas mereka, Sayang," ujar Sabrina sembari mengusap lembut rambut Carla.
"Aku akan memilih sendiri makanan yang akan aku makan, Tante," ujar Carla. Dia merasa tidak nyaman dengan pelayanan itu.
"Selamat pagi, Ma. Pagi Carla," Sapa Nathan--putra sulung Sabrina.
"Pelayan, layani putraku," perintah Sabrina pada para pelayan.
Para pelayan itu sebenarnya kesal dengan tingkah Sabrina karena sejak pagi buta wanita itu sudah menyuruh mereka melakukan banyak hal.
"Pagi, Ma. Pagi, Kak Carla," sapa Friska.
"Hei, kalian. Ambilkan aku makan," perintah Friska pada pelayan itu.
Carla menggeleng melihat tingkah ketiga orang itu, tapi karena dia tidak bisa mengingat apa pun tentang mereka, akhirnya Carla memilih membiarkan tiga orang itu berbuat semaunya. Dia hanya berpikir jika Sabrina memang sahabat ibunya dan dia hanya menghormatinya untuk sang ibu.
"Selamat pagi, Sayang." Damian menghampiri Carla kemudian mengecup pucuk kepalanya gadis itu. Carla tersentak dan seketika menghindar.
"Jangan pernah lakukan ini lagi, aku tidak suka," protes Carla.
"Tapi aku ini calon suamimu." Damian mengiba, dia masih tidak percaya jika Carla benar-benar melupakannya.
"Damian, sebaiknya kamu terima saja keputusan Carla. Lebih baik kamu pulang, jangan mengganggu Carla lagi," ujar Sabrina. Dia memang tidak menyukai Damian.
"Aku tidak akan meninggalkan calon istriku dengan orang-orang licik seperti kalian." Damian menatap tajam mereka bertiga satu persatu. Dia tidak akan membiarkan usahanya mendekati Carla selama ini sia-sia.