bab 4

1351 Kata
Vina membuka laci lemari, mengambil sarung tangan karet kemudian memakainya. Kini ia mulai memunguti pakaian yang berserakan di atas lantai; pakaian dalam, atasan peach, dan rok coklat, lalu memasukannya ke plastik hitam. Tangannya merogoh tas yang pemiliknya kini mungkin tinggal tulang belulang, mengambil ponsel kemudian menggabungkan tas itu beserta sisa isinya bersama pakaian tadi, untuk dibakar nanti. Jemari Vina sekarang bergerak cepat di atas layar ponsel korbannya, menghapus semua history f*******: dan percakapan lewat akun w******p, juga riwayat panggilan. Tak lupa ia mengeluarkan kartu sim dan memory card, mematahkan benda pipih itu menjadi dua. Kemudian mengatur ponsel itu kembali ke pengaturan awal, reset. "Selesai." Vina menggumam, menatap ponsel di tangannya yang kini seakan tak bertuan. Tinggal dibuang ke pinggir tol, atau sungai. Kinan hilang sudah, tak berbekas. Meninggalkan suami yang kebingungan mencarinya, mungkin juga tidak. Tak akan ada yang tahu, buktinya ratusan wanita yang hilang itu tidak ada yang pernah mencari, atau merasa kehilangan. Mungkin karena keberadaan mereka memang tidak dianggap, tidak disadari. Bisa juga karena David, suaminya itu, selalu lihai memilih mangsa. Kini tinggal membersihkan noda merah di sprei dan lantai. Kain berlumur darah itu direndamnya dengan cairan pemutih di kamar mandi, kemudian Vina mengisi air dalam ember pel. Ia mulai menggosok lantai kamar sambil berdendang, mengikuti irama lagu yang lamat-lamat bergaung dari basemen. Air dalam ember telah berubah warna menjadi merah keruh, aroma anyir yang khas mengalahkan aroma cairan pembersih lantai. Vina mengganti air dengan yang baru, menuangkan lebih banyak lagi larutan pembersih, membilas ulang semua jejak darah yang tersisa. *** "Sayang, bulan ini mau menyumbang ke panti yang mana?" Vina bertanya pada suaminya yang sedang asik memberi makan buaya sepanjang dua meter di dalam kolam, sekantung daging merah segar berada dalam genggaman pria itu. "Terserah kamu saja," jawab suaminya. Kemarin Vina sudah membeli 20 karung beras, diaper berbagai ukuran, s**u balita, pakaian anak-anak, jajanan, dan mainan, semuanya akan disumbangkan ke panti asuhan. Hal yang sudah dilakukannya sejak baru menikah dengan David. Mereka telah berkomitmen untuk tidak mempunyai anak dalam rumah tangga yang mereka jalani, sudah ada terlalu banyak anak-anak yang kurang beruntung di luar sana. "Mau ikut antar, Sayang?" "Sekarang?" Pria itu balik bertanya. "Ngga bisa kalo sekarang," jawabnya lagi saat melihat Vina mengangguk, mengiyakan. "Ada janji sama Jessi." Vina menaikkan satu alisnya, tersenyum menggoda sebelum berlalu, masuk ke dalam mobil yang sudah dipenuhi barang-barang yang akan disumbangkan. Kendaraan itu melaju di jalanan ibu kota yang panas dan macet, menuju tempat-tempat kumuh yang dijauhi golongan menengah ke atas. Mencari tempat yang benar-benar membutuhkan pertolongan, untuk menghidupi malaikat-malaikat kecil yang terbuang, seperti dirinya dulu. Wanita itu membelokkan mobil menuju jalan-jalan kecil di samping rel kereta api, tempat rumah-rumah kumuh berjajar berdesakan. Vina menajamkan mata dan mengamati sekitar, mencari tanda-tanda adanya panti asuhan atau rumah singgah. Refleks, kaki Vina menginjak rem saat melihat tubuh seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun sedang di dorong dengan kasar oleh dua orang laki-laki dewasa, menuju lorong sempit di bawah kolong jembatan yang sepi. Vina tahu dengan pasti, apa yang diinginkan oleh dua orang j*****m itu. Vina melihat keadaan sekitar, sunyi, tak nampak tanda-tanda keberadaan orang lain. Batin Vina bergolak, di satu sisi ingin membantu gadis malang itu, di sisi lain ia tidak ingin melakukan kecerobohan. Mulai terdengar rintihan pilu lamat-lamat dari dalam lorong sana. Dengan satu sentakan, Vina membuka pintu mobil, meraih pisau belati yang selalu disimpannya di dalam tas dan memegang benda itu dengan erat di tangan kanan. Berjingkat, ia menyusul masuk ke bawah kolong jembatan. Tampaknya kedua b******n itu terlalu sibuk hingga tak menyadari kedatangan Vina. Hati wanita itu mencelos demi mendengar isakan tertahan dari gadis malang yang bergetar karena ketakutan, tubuh gadis itu di tekan menghadap tembok. Seorang b*****h memegangi kedua tangannya ke atas sedangkan k*****t yang lain hendak melucuti celananya. Mata Vina berkilat disertai satu gerakan cepat mengayunkan belati sepanjang 15 centi itu ke tengkuk pria b******k yang sedang jongkok, lalu menekan kuat dan menariknya dengan cepat ke samping. Darah muncrat dari luka yang menganga lebar, tampak jaringan otot lehernya tercerabut keluar, tulang yang berwarna putih berkilat karena darah. Pria itu jatuh tertelungkup dengan pekik tertahan ke atas tanah karena shock, lalu tak bersuara lagi. “Lari!” perintah Vina pada bocah yang terbelalak kaget, menutup mulut dengan kedua tangannya. Tanpa disuruh dua kali, gadis itu melesat menghilang di sela-sela tembok beton. Pria satunya yang berdiri di sisi kanan temannya terkejut melihat pria itu tumbang, ia segera mengayunkan kaki ke dagu Vina sehingga membuat wanita itu terpental ke belakang. Pria berkumis itu melompat dan menduduki tubuh Vina lalu mencekik leher wanita itu. Vina berusaha menggapai belati yang hanya berjarak beberapa centi dari jemari kanannya. “Mati kau, Jalang!” umpat pria berkumis, “aku akan meniduri mayatmu!” Ia memperkuat tekanan di leher Vina membuat wanita itu mulai kehabisan napas. Tangan kiri Vina menarik rambut pria itu, menengadahkan wajahnya ke atas lalu menusukkan belati tepat di pangkal tenggorokan. Wanita itu menekan ujung belati dengan tangan kiri lalu menarik benda itu ke bawah, membelah d**a korbannya sampai di perut. Mata pria k*****t tidak tahu diri itu hampir melompat keluar saat Vina memutar belati di dalam perutnya sebelum menarik benda itu keluar, membawa serta isi perutnya yang terburai tak karuan. Pria itu roboh dengan ususnya sendiri dalam genggaman. Tubuh Vina bersimbah darah, buku-buku jarinya memerah dan lecet. Ia meraba bagian belakang kepala yang terasa nyeri, bercak merah terlihat di tangannya. Sialan, mungkin menghantam batu saat jatuh tadi. Seluruh tubuhnya bergetar entah karena adrenalin atau emosi, kadang dia sulit membedakan keduanya. Lari. Hanya itu yang terlintas di pikirannya sekarang, berharap gadis yang ditolongnya tadi akan bungkam. Wanita itu berjalan mundur teratur menuju mobilnya, berharap tidak ada saksi mata. Aliran darah Vina seakan terhenti, saat membalikkan tubuhnya dan melihat gadis itu berdiri di sana, di samping pintu mobilnya. Jantung wanita itu berdesir tak karuan, khawatir gadis itu akan berteriak memanggil massa sehingga ia terpaksa harus membungkamnya juga dengan belati seperti dua orang di bawah kolong sana. Gadis dalam pakaian dekil dan kumal itu setengah berlari, memeluk tubuh Vina erat. “Terima kasih,” isaknya, gemetar. “Terima kasih ....” Perlahan kedua tangan Vina terangkat, mengusap kepala dengan rambut yang kusam dan tak terawat itu. “ Ssshh ... Kamu aman sekarang, tenanglah ....” bisik Vina, berusaha menenangkan. “Mau ikut tante?” tawarnya. Gadis itu mengangguk, perlahan masuk ke dalam mobil tanpa banyak suara. Vina menyalakan dan menjalankan kendaraan itu, tidak peduli setir dan jok mobilnya berlumuran darah. “Tadi itu yang pertama kali, atau ...?” tanya Vina hati-hati. Gadis itu menggeleng, meremas ujung bajunya dengan gelisah, bulir bening menitik dari sudut matanya. Jantung Vina berdenyut, nyeri. Untunglah k*****t-k*****t itu sudah membayar dengan setimpal atas perbuatan mereka. Semoga jasad mereka membusuk dimakan binatang liar. “Orang tua?” tanya Vina. Bocah itu menggeleng lagi, wajahnya begitu sendu. Air mata Vina ikut menetes, ia tahu bagaimana rasanya. Berjuang sendirian sebagai anak jalanan, tanpa orang tua sebagai pelindung dan menjadi santapan yang lezat bagi manusia-manusia menjijikan seperti mereka yang baru saja ia cabut nyawanya. “Kebetulan tadi tante lagi nyari panti asuhan, mau ikut?” tawar Vina, “Nanti tante jengukin seminggu sekali, kita cari sekolah untuk kamu, oke?” Mata gadis itu berbinar, namun terlihat sedikit takut dan ragu-ragu. Membuat Vina terkekeh. “Ngga usah takut, orang kamu yang liat tante abis nusuk orang, kok, masa jadi kamu yang takut?” goda Vina, berhasil membuat gadis itu tersenyum simpul dan mengangguk cepat, mengiyakan semua perkataan Vina. Vina mengusap pundak gadis manis itu dengan rasa sayang yang murni, rasa kasihan yang tulus, ingin melindungi. Dia pernah berada dalam posisi gadis malang ini. Tersiksa, dilecehkan, tanpa ada yang menolong. Lagi, dan lagi. “Sebelum cari panti, kita perlu mandi.” Vina meringis melihat pantulan wajahnya yang berlumuran darah di cermin. Gadis manis di sampingnya kembali mengangguk setuju, diam-diam mencuri pandang ke arah Vina dengan tatapan mengagumi. “Jangan kagum sama tante,” ucap Vina dengan suara getir, “tante bukan orang baik.” Mata gadis itu membulat tidak setuju, namun tidak juga mengeluarkan suara untuk membantah. Hanya terus menatap ke depan, merasa sangat bersyukur bisa terlepas dari dua orang pria b******k di kolong jembatan sana. “Anak pintar,” ucap Vina lagi, “mulai sekarang, kamu akan baik-baik saja. Tante janji.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN