Memahami Dunia
"Langitnya mendung, ya. Ikan-ikan di sini juga mulai tak terlihat di permukaan."
Alena duduk di atas karpet merah yang telah digelar di tepian Danau Roa. Angin sepoi-sepoi berhembus, menggoyangkan permukaan air danau yang biru pekat. Ombaknya kecil, menciptakan riak-riak halus yang menyapu pinggiran batu dan rerumputan. Di tangannya, ada sepotong sandwich yang belum sepenuhnya dimakan. Dia menatap jauh ke permukaan air danau, memikirkan banyak hal yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
Fay duduk di sampingnya, bersandar pada kedua tangannya yang ditopang di belakang tubuh. Matanya tertuju pada Alena yang terlihat begitu tenang, namun sorot matanya kosong.
“Kalau kau ingin berenang, aku bisa mendorongmu ke sana, dengan senang hati,” celetuk Fay, setengah bercanda.
Alena melirik Fay dengan tatapan sinis. “Jangan coba-coba,” katanya sambil mendengus, tapi senyum kecil tak bisa disembunyikan dari bibirnya.
Fay tertawa ringan. “Kau tahu, kau harusnya lebih sering tersenyum seperti itu.”
Alena terdiam. Dia kembali menatap danau yang seolah menyimpan banyak rahasia di kedalamannya. Langit semakin menggelap, gumpalan awan kelabu menutup sebagian besar cahaya matahari. Danau Roa tampak lebih gelap, namun keindahannya tidak memudar sedikit pun. Di kejauhan, burung-burung bangau terbang rendah, sayap mereka menyapu udara dengan keanggunan yang sulit dijelaskan.
“Fay…” panggil Alena pelan.
“Hm?”
“Pernahkah kau merasa… seperti dunia ini terlalu besar dan kau hanya bagian kecil yang nyaris tidak terlihat?” Suara Alena terdengar pelan, nyaris tertelan angin.
Fay menoleh, menatap Alena dengan serius. “Kenapa kau tiba-tiba berpikir begitu?”
Alena menghela napas. Dia meremas tepi roknya, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan isi kepalanya. “Kadang aku merasa seperti terapung di lautan yang luas, tanpa arah. Aku melihat banyak orang yang tahu tujuan hidup mereka, yang tahu ke mana mereka ingin pergi. Tapi aku?” Alena tertawa kecil, getir. “Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari.”
Fay mengangkat tubuhnya, duduk bersila menghadap Alena. “Kau tidak sendiri, Alena. Aku juga sering merasa seperti itu.”
Alena menatap Fay, mencari kejujuran di balik kata-katanya. “Benarkah?”
Fay mengangguk. “Setiap orang pasti pernah merasa tersesat. Tapi menurutku, itu bukan masalah. Kadang kita hanya perlu berhenti sejenak, mendengarkan suara hati kita, dan membiarkan dunia memandu kita dengan caranya sendiri.”
Alena menunduk, jari-jarinya meremas helai rumput di sampingnya. “Tapi bagaimana kalau aku tidak pernah menemukan jawabannya?”
Fay tersenyum lembut. “Mungkin jawabannya tidak selalu ada di depan mata. Mungkin, kau harus mencarinya di tempat-tempat yang tidak terduga.”
Angin bertiup lebih kencang, menyibakkan rambut panjang Alena yang tergerai. Dia menutup matanya sesaat, merasakan angin menyentuh wajahnya, seolah membisikkan sesuatu yang tak bisa dimengerti.
“Alena…”
“Hm?”
“Aku tahu kau menyimpan banyak pertanyaan dalam hati. Tentang ayahmu… tentang hidupmu… tentang apa yang sebenarnya kau cari.” Fay menatap lurus ke matanya. “Tapi kau tidak harus menemukannya seorang diri. Aku di sini.”
Alena terdiam, kata-kata Fay menyentuh hatinya lebih dalam daripada yang ia duga. Ayah. Satu kata yang selalu menimbulkan perasaan bercampur aduk di dalam dirinya. Rindu, marah, kecewa — semua perasaan itu teraduk menjadi satu.
“Ayahku…” Alena berbisik, suaranya hampir tenggelam di antara hembusan angin. “Dia pergi begitu saja. Tidak pernah berpamitan. Tidak pernah memberi alasan.”
Fay menatap Alena dengan penuh pengertian.
“Aku selalu berpikir… mungkin aku yang salah. Mungkin aku yang membuatnya pergi,” lanjut Alena, matanya mulai memanas.
“Tidak, Alena.” Fay memegang tangan Alena dengan lembut. “Kau tidak salah. Jangan pernah berpikir seperti itu.”
Alena menunduk, matanya mulai basah. Dia menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku hanya ingin tahu… kenapa dia tidak pernah mencoba kembali?”
Fay mengusap punggung tangan Alena. “Mungkin dia punya alasannya sendiri. Tapi itu bukan karena kau kurang berharga. Kau berharga, Alena. Kau istimewa.”
Alena menatap Fay, dan untuk pertama kalinya sejak lama, matanya terasa ringan. Seolah sebagian beban yang selama ini ia pikul mulai menghilang perlahan-lahan.
Angin sore menyapu rambut mereka, menciptakan suara lembut yang bersatu dengan gemericik air danau. Matahari mulai menyelinap di balik awan, meninggalkan semburat jingga samar di garis cakrawala.
“Fay…”
“Hm?”
“Menurutmu… aku bisa menemukan jalanku sendiri?”
Fay tersenyum. “Tentu saja. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri.”
Alena menarik napas dalam, merasakan udara sejuk memenuhi paru-parunya. Untuk pertama kalinya, dia merasa dunia tidak lagi terasa begitu besar dan menakutkan. Mungkin benar kata Fay, mungkin dia tidak harus menemukan semua jawaban saat ini. Mungkin, yang dia butuhkan hanyalah memulai langkah kecil, satu per satu, tanpa terbebani oleh bayangan masa lalu.
Alena bangkit berdiri, menatap Danau Roa yang mulai berkilau di bawah sinar matahari yang tersisa. Fay ikut berdiri, menatap Alena dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya.
“Bagaimana kalau kita pulang sekarang?” ajak Fay.
Alena menoleh, lalu tersenyum kecil. “Boleh. Tapi… mungkin kita bisa mampir ke kebun bunga dulu. Aku ingin melihat bintang di sana nanti malam.”
Fay tertawa. “Tentu saja.”
Keduanya mulai melangkah menjauh dari danau, meninggalkan jejak kaki di atas tanah yang lembab. Langit mulai berubah gelap, namun Alena merasa hatinya justru menjadi lebih terang.
Dia tahu, perjalanan ini masih panjang. Akan ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak ketidakpastian yang menunggu di depan. Tapi hari ini, di tepian Danau Roa, Alena menyadari sesuatu yang penting — dia tidak perlu menghadapi semuanya sendirian.
Setiap orang berjuang memahami dunia dengan caranya masing-masing. Dan mungkin, memahami dunia bukanlah tentang menemukan semua jawaban, tapi tentang berani melangkah meski tanpa jawaban.
Dan Alena tahu, selama Fay ada di sisinya, dia bisa menghadapi apa pun yang menunggunya di masa depan.