Perjalanan Menuju Bayangan
Jakarta, Rumah Pak Daffa - Malam Hari
Udara di rumah Pak Daffa terasa berat, dipenuhi aroma cemas yang tak terlihat. Hujan mengguyur deras di luar, seolah ikut meratapi kabar buruk yang baru saja disampaikan.
"Hari ini kita berangkat ke Pacitan," kata Pak Daffa, suaranya berat, terbebani oleh beban yang tak terlihat. Matanya berkaca-kaca, menahan kesedihan. Barang-barang telah tersusun rapi di sudut ruangan, siap dibawa.
Titah, anak perempuan Pak Daffa, mengangguk pelan, air matanya menetes tanpa suara. "Eyang Kakung... sakit keras dan sudah dirawat di rumah sakit selama dua hari."
Keheningan menyelimuti ruangan sejenak, hanya suara hujan yang terus bergemuruh. Panji, Ratih, Citra, dan Daffi – anak-anak muda yang tampak tegang – hanya mampu mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," suara mereka bercampur antara duka dan ketakutan yang samar.
Daffi, yang paling muda, memecah keheningan dengan suara gemetar. "Sudah dua hari, Mbak? Seberapa parah keadaan Eyang?"
Titah mengusap air matanya. "Kondisinya kritis, Daffi. Kita harus segera ke sana."
Citra, Panji, dan Ratih saling berpandangan, wajah mereka pucat. Rasa takut yang tak terdefinisi mulai menjalar di antara mereka. Bukan hanya karena sakitnya Eyang Kakung, tetapi juga karena Pacitan, tempat asal keluarga mereka, menyimpan misteri yang mengerikan yang selalu mereka dengar dari cerita-cerita rakyat. Misteri tentang "Jagal Kuntilanak".
"Iya..." jawab mereka serentak, suara mereka terdengar lebih pelan, lebih waspada. Perjalanan ke Pacitan bukan hanya perjalanan untuk menjenguk orang sakit, tetapi juga perjalanan menuju ketakutan mereka yang terpendam.
Mobil Pajero Sport hitam mengkilap sudah siap di depan rumah. Tas-tas koper tertata rapi di bagasi. Suasana terasa tegang, meskipun Daffa berusaha terlihat tenang.
"Kamu sudah selesai, Sayang?" tanya Daffa, suaranya lembut tapi terdengar sedikit gugup. Ia menatap Titah yang sedang mengecek kembali tasnya.
"Sudah, Mas," jawab Titah, senyumnya tampak dipaksakan. Ia mengusap pelan perutnya yang sedikit membuncit, pertanda kehamilannya yang masih muda.
"Oke, yuk kita berangkat. Mobil sudah siap," kata Daffa, membuka pintu mobil untuk Titah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Perjalanan jauh ke Pacitan, ditambah dengan kondisi Eyang Kakung yang kritis, membuatnya cemas.
Titah masuk ke mobil, disusul oleh Daffi, Citra, Panji, dan Ratih. Suasana di dalam mobil terasa hening, diselingi sesekali suara hujan yang masih membasahi jalanan Jakarta.
[Daffi: Mas, kami sudah ada di mobil semua. Buruan, Mas!]
[Daffa: Iya, Nak. Tunggu sebentar, aku dan Titah segera menyusul.]
[Daffi: Oke, Mas...]
Pacitan - Rumah Sakit, Ruang Inap Pak Sujatno
Ruang inap Pak Sujatno terasa sempit dan pengap. Bau obat-obatan menyengat hidung. Pak Sujatno, terbaring lemah di tempat tidur, terlihat pucat pasi. Ayu, keponakan Pak Sujatno, duduk di sampingnya, setia menemani.
"Gimana, Yu? Mbak Titah sudah menjenguk belum?" tanya Pak Sujatno, suaranya lemah.
"Nggih, sampun, Pak," jawab Ayu, mengusap keringat di dahi pamannya. "Mbak Titah dan keluarganya sudah sampai di Pacitan. Besok mereka akan ke sini."
"Terus, besok Mbak Titah ingin pulang?" tanya Pak Sujatno lagi, matanya menatap Ayu dengan penuh harap.
"Tembung Mbak Titah, hari ini berangkat, Pak. Besok sampai di Pacitan. Mbak Titah pulang nggak sendiri, bareng Mas Daffa, adik iparnya, dan anak-anaknya," jelas Ayu.
"Nggih, sampun. Besok sampean jemput Mbakmu dan keluarganya di stasiun ya. Bapak juga mau makan, tolong belikan Bapak buah," pinta Pak Sujatno. Suaranya mulai melemah.
"Nggih, Pak," jawab Ayu patuh. Ia merasa iba melihat kondisi pamannya.
"Nggih, sampun. Sampean pulang, istirahat. Suruh Paijo ke rumah sakit untuk menemani Bapak ya," pinta Pak Sujatno lagi.
"Nggih, Pak," jawab Ayu. Ia mencium tangan pamannya.
"Assalamu'alaikum," Ayu memberi salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab Pak Sujatno, lemas.
Keesokan harinya...
Di Stasiun Yogyakarta...
"Alhamdulillah, kita sampai dengan selamat," ucap Daffi, lega.
"Uncle Daffi," panggil Citra.
"Iya, Citra? Ada apa?" tanya Daffi.
"Papi bilang, kita jangan sampai berpencar," jawab Citra mengingatkan.
"Oke, Citra," Daffi mengangguk.
Daffa menoleh pada Titah, "Kamu mau telepon siapa, Sayang?"
"Aku mau telepon Ayu, memberi kabar kalau kita sudah sampai Stasiun Yogyakarta," jawab Titah.
"Baiklah. Sebentar lagi, aku akan beli sarapan untuk kita semua. Mau apa, Sayang? Sambil menunggu Ayu menjemput," tanya Daffa.
"Papi, aku ikut!" seru Ratih.
"Ya sudah, ayo," ajak Daffa.
Panji bertanya pada Titah, "Mami, kita tunggu Bulik Ayu di mana?"
"Di sini saja, ya. Kalian berdua jaga Panji, Mami mau telepon Bulik Ayu dulu," jawab Titah.
Daffa berbalik ke Titah, "Aku pesan sarapan yang sama denganmu, ya, Sayang. Roti, kan?"
"Iya, Mas," jawab Titah.
Di Parkiran Stasiun Yogyakarta - Dalam Mobil Ayu
"Sudah sampai, Mas?" tanya Ayu.
"Sudah, Bu," jawab Arif.
"Astaga, handphoneku berbunyi. Oh, Mbak Titah yang telepon," kata Ayu, melihat layar handphonenya.
Stasiun Yogyakarta pagi itu ramai. Udara dingin menusuk kulit. Titah, Daffa, Citra, Panji, dan Ratih baru saja turun dari kereta. Mereka terlihat lelah, namun tetap bersemangat untuk segera bertemu Ayu dan menjenguk Eyang Kakung.
[Ayu: Assalamu'alaikum, Mbak.]
[Titah: Wa'alaikumussalam, Yu. Kamu di mana? Sudah sampai Stasiun Yogyakarta belum? Aku sudah sampai nih.]
[Ayu: Oh, iya, Mbak. Tunggu sebentar ya, Mbak. Aku juga sudah sampai kok.]
[Titah: Oh, oke. Aku mau sarapan pagi dulu, deh. Nanti kamu w******p aku saja, ya.]
[Ayu: Iya, Mbak...]
[Titah: Assalamu'alaikum...]
[Ayu: Wa'alaikumussalam...]
Arif, sopir keluarga, sudah menunggu di parkiran. Ia membukakan pintu mobil untuk Titah dan keluarganya. Mobil terasa hangat dan nyaman setelah perjalanan panjang.
"Mangga, Bu Ayu," kata Arif, sopan.
"Iya, tunggu sebentar, Rif. Aku mau masukin HP ke tas dulu," jawab Ayu, sedikit tergesa-gesa. Ia tampak gugup.
"Inggih, Bu Ayu," jawab Arif.
Ayu tampak ragu-ragu. "Ngapain juga aku masukin HP ke tas? Kan aku mau hubungin Mbak Titah. Haduh... Oh ya, Mas Arif, tutup pintu mobilnya, kunci juga. Terus, Mas Arif bantu aku bawa tas dan koper Mbak Titah, ya," pinta Ayu.
"Siap, Bu Ayu," kata Arif, patuh. Ia merasakan kegelisahan yang sama dengan Ayu.
[Ayu: Assalamu'alaikum, Mbak Titah. Aku sudah ada di depan stasiun nih. Mbak Titah di mana?]
[Titah: Wa'alaikumussalam. Aku lihat kamu kok. Tunggu sebentar, ya. Aku suruh Daffi ke kamu.]
[Ayu: Oh, iya, Mbak.]
Di dalam mobil, Citra melihat ke luar jendela. "Siapa itu, Mbak?" tanyanya, penasaran.
Titah tersenyum. "Bulik kalian sudah sampai di stasiun. Daffi, kamu ke Bu Ayu, ya. Itu, lihat nggak?" Titah menunjuk ke arah Ayu yang sedang berdiri di dekat mobil.
"Iya, Mbak. Aku lihat," jawab Daffi, segera turun dari mobil.
Daffa membawa beberapa bungkus makanan. "Ini, Sayang, sarapan paginya. Loh, Daffi mau ke mana?" tanyanya, heran melihat Daffi berjalan menuju Ayu.
"Itu Daffi menyusul adikku, Mas," jawab Titah. Ia merasa lega karena Ayu sudah datang.
"Oh, ya sudah. Yuk, kita ke mobil. Sarapan paginya kita makan di mobil saja. Aku beli banyak kok," kata Daffa, membuka pintu mobil.
"Okay!" sorak Citra, Panji, dan Ratih, serentak. Mereka semua tampak senang akhirnya bisa sarapan dan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
Keluarga Pak Daffa, termasuk Titah dan anak-anaknya, menaiki mobil Ayu. Suasana mobil terasa tegang. Aroma cemas tercium samar-samar, bercampur dengan bau parfum Ayu yang menyengat.
Di Mobil Ayu
"Mas, langsung ke rumah sakit saja, ya," pinta Ayu, suaranya tegas. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Titah sedikit was-was.
"Inggih, Bu," jawab Arif, sopir Ayu, patuh.
Titah mengerutkan dahi. "Loh, kok langsung ke rumah sakit, Dik? Kenapa nggak pulang dulu ke rumah?" tanyanya, heran.
Ayu menjawab dengan tenang, "Bapak mau langsung ketemu Mbak. Nanti saja pulang ke rumah setelah ketemu Bapak. Itu pesan Bapak sebelum aku jemput Mbak di stasiun. Oh ya, Mas, kita berhenti dulu sebentar," kata Ayu, memberikan instruksi pada Arif untuk berhenti di pinggir jalan.
"Inggih, Bu," jawab Arif lagi.
Daffa bertanya, "Kenapa kita berhenti? Sudah sampai rumah sakit?"
"Belum, Mas Daffa. Bapak minta dibelikan buah, habis itu baru kita ke rumah sakit," jawab Ayu. Tatapannya tajam, seakan menyimpan rahasia.
"Oh, oke," jawab Daffa, sedikit bingung.
Di Ruko Penjual Buah
Mobil berhenti di depan sebuah ruko penjual buah yang tampak sepi. Udara terasa lebih dingin dan lembap.
Citra tiba-tiba berteriak, "Mami...!" Suaranya gemetar, dipenuhi rasa takut.
Daffa bertanya khawatir, "Loh, kamu kenapa, Sayang?"
Citra menunjuk ke arah sebuah gang gelap di samping ruko. "Itu... ada perempuan berambut panjang... pokoknya seram, Pi!"
Titah mengamati arah pandang Citra. Wajahnya pucat. "Mami juga lihat, Sayang. Itu kuntilanak... Jangan-jangan ada hubungannya dengan ini, Bapak menyuruhku ke Jakarta..." gumam Titah, merasa bulu kuduknya merinding.
Ayu terlihat tenang, "Sudah, yuk, Mbak."
"Oke," jawab Titah, menghela napas panjang. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres.
Di Rumah Sakit - Lobby
Suasana di lobby rumah sakit terasa mencekam. Bau obat-obatan bercampur dengan aroma yang aneh, seperti bunga yang layu.
Ratih tiba-tiba merasa tidak enak badan. "Mi, Ratih mau ke toilet sebentar saja," katanya, wajahnya pucat.
"Ya sudah, yuk," jawab Titah, khawatir.
Citra menawarkan diri, "Biar Citra saja, Mi, yang nemenin Ratih. Sekalian Citra juga mau ke toilet."
"Oh, ya sudah. Cepat, ya. Mami tunggu di sini," kata Titah, matanya memandangi sekeliling dengan waspada.
"Iya, Mi," jawab Citra dan Ratih bersamaan, bergegas menuju toilet. Mereka berdua tidak menyadari bahwa ada bayangan mengikuti mereka dari belakang.