Divo menyesap tehnya sambil membaca-baca sesuatu di tab miliknya. Divo terlihat sangat konsentrasi, sampai akhirnya suara Aya terdengar dari belakangnya.
"Maaf aku terlambat bangun mas," kata Aya.
Divo memutar lehernya untuk melihat Aya yang baru saja memasuki ruang makan keluarganya. Setelah dia melihat Aya, dia mengangguk kecil, lalu berkata.
"Tidak papa, aku tau kamu pasti kelelahan," kata Divo.
"Mas mau sarapan apa?" tanya Aya ketika dilihatnya suaminya itu hanya ditemani segelas the saja.
"Terserah kamu, aku akan makan masakan yang kamu buat," jawab Divo.
Aya mangangguk kecil tanda mengerti, dia lalu beralih menuju dapur yang bersebelahan dengan ruang makan keluarga Divo itu. Saat Aya mulai menyibukkan diri dengan masakannya, Divo kembali menyibukkan dirinya tab-nya sambil membaca-baca berita harian online disana.
"Mama papa sama Diva kemana mas?" tanya Aya yang seakan tersadar kalau rumah tampak lenggang, hanya ada dia dan Divo disana.
"Mereka sedang menemui Deva, katanya mama mau menjewer Deva" jawab Divo terkekeh geli karena teringat wajah kesal mamanya.
Grace sangat kesal saat tau Deva lebih memilih untuk tinggal diapartemennya dibandingkan rumah keluarganya. Padahal Deva hanya mendapat libur dua minggu saja dari kerjaannya di luar negeri. Aya ikut terkekeh, dia tau kalau mama mertuanya itu akan benar-benar menjewer Deva nantinya. Membayangkannya saja sudah benar-benar sangat lucu buat Aya. Aya terkekeh seperti ini karena, malah wajah Divo yang kesakitan karena dijewer mamanyalah yang terlintas di benak Aya. Bagaimanapun wajah keduanya begitu mirip, membuat Aya tidak sulit untuk membayangkan wajah Deva yang sedang meringis kesakitan.
"Ini mas, selamat menikmati." Aya menyerahkan sepiring nasi goreng buatannya kepada Divo. Lalu satu piring lainnya dia buatkan untuk dirinya. Keduanya lalu menikmati sarapan mereka dalam diam. Tidak boleh berbicara sambil makan adalah kebiasaan di keluarga Hanjaya dan Rahadian selama ini.
"Ay, siang ini mau keluar nggak?" tanya Divo ketika mereka telah menyelesaikan sarapan mereka.
Aya segera mengangguk dengan semangat. Siapa perempuan yang tidak senang kalau diajak jalan atau bolehkah Aya bilang ini adalah berkencan? Aya akan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk pendekatan dengan Divo, selagi pria itu belum dibebani kewajibannya sebagai pilot. Aya tidak bisa menjamin kalau dia punya banyak kesempatan seperti ini kalau Divo sudah aktif lagi bekerja.
"Mau kemana mas?" tanya Aya semangat, wajahnya begitu sumringah.
"Kita akan mencari rumah buat kita," jawab Divo.
Aya tidak menjawab tampak berpikir. Aya tidak menyangka akan jawaban Divo yang tadi itu, tadi dia berpikir kalau Divo akan mengajaknya ke mall atau ketempat lainnya yang biasa digunakan pasangan lain untuk berkencan. Selain itu, setau Aya, pria lebih senang memilih sendiri rumah untuk dia atau pasangannya tinggal, daripada memilihnya bersama.
"Kenapa mas?" tanya Aya menyampaikan pikirannya.
"Huh?" tanya Divo yang tidak mengerti pertanyaan Aya.
"Kenapa mas nggak memilihnya sendiri saja dan tinggal mengajak Aya untuk tinggal disana?" tanya Aya menjelaskan.
"Kamu tidak suka kita membelinya bersama?" tanya Divo balik lagi bertanya dengan wajah yang masih bingung.
Aya segera menggelengkan kepalanya agar Divo tidak salah sangka.
"Bukan gitu mas. Maksud Aya biasanyakan laki-laki lebih suka membeli rumah sendiri dan menjadikannya sebagai kejutan buat istrinya nanti," kata Aya mencoba mejelaskan.
Divo mengangguk kecil, Divo sepertinya sudah mengerti maksud Aya. Makanya kemudian dia menjawab pertanyaan Aya itu.
"Kamu tau, rumah itu sebenarnya bagian terpenting dari keluarga. Bukan masalah ukuran dan mahalnya, tapi tentang siapa yang ada didalamnya dan bagaimana perasaan orang yang tinggal didalamnya. Aku mau kamu merasa nyaman dengan rumah kita nanti, sehingga kamu betah didalamnya. Aku juga mau kamu menyukainya sehingga kamu mau merawatnya dengan tulus. Dengan begitu kita bisa hidup nyaman didalamnya. Jika kita nyaman, kita bisa memulai semuanya dengan baik dari dalamnya. Jadi menurut aku, kamu juga perlu memberikan pendapat untuk rumah kita kelak," jawab Divo hati-hati.
"Maaf kalau kamu beharap aku memberi kejutan seperti itu," kata Divo.
Divo tau kalau Aya tentunya berharap kalau dia seperti pria lainnya yang selalu bersikap romantis dengan memberikan kejutan-kejutan kecil yang bisa membuat wanita bahagia. Divo menggaruk rambut bagian belakangnya sambil menampakkan ringisan kecil tanda tidak enak dengan Aya. Sungguh, Divo memang berpikir kalau rumah yang akan ditempatinya kelak dengan Aya harus dipilih sesuai dengan kemauan mereka berdua. Bukan hanya Divo yang akan tinggal disana, tetapi Aya juga, begitulah pikir Divo.
Aya melihat wajah merasa tidak enak dan bersalah pada Divo, membuat Aya juga meringis dalam hati. Aya harusnya selalu mengingatkan dirinya yang kadang lupa dengan kekolotan pikiran pria didepannya ini.
"Apakah aku perlu membelinya sendiri?" tanya Divo lagi, Aya terkekeh lalu menjawabnya dengan menggeleng lalu berkata,
"Nggak perlu mas, benar kata mas tadi. Sebaiknya kita membelinya berdua."
Aya menjawabnya sambil tersenyum lebar. Divo mendesah lega, Divo tau dia itu punya pemikiran yang terlalu kolot. Dia pikir, semuanya akan berjalan baik dengan kepatuhannya terhadap prinsipnya. Namun, melihat wajah kecewa dan berbinar Aya membuat Divo memikirkan ulang untuk lebih lunak lagi terhadap prinsip-prinsip dalam hidupnya itu. Sekarang ini, hidupnya bukan lagi tentang dirinya saja tetapi juga tentang Aya dan tentang mereka. Divo tidak mungkin memaksakan prinsip dirinya pada Aya-kan.
"Ay, kalau kamu menginginkan sesuatu dari aku kamu bisa mengatakannya langsung pada aku. Aku akan berusaha untuk memenuhinya. Aku tau kamu tentunya punya harapan seperti apa suami kamu memperlakukan kamu. Aku akan berusaha menjadi seperti suami harapan kamu, selama itu masih baik menurut aku." Divo langsung pada Aya. Aya hanya mengangguk kecil dan tersenyum.
"Bagaimana kalau dimulai dengan bersikap romantis mas dari mulai sekarang?" tanya Aya dengan semangat meskipun tujuannya bercanda.
"Romantis?, caranya?" tanya Divo malah bertanya dengan serius.
Aya terbengong sesaat, haruskah dia menjawab tadi dia hanya bercanda? Tapi melihat wajah serius itu membuat Aya hanya bisa tersenyum kecut dalam hati. Ingatkan Aya untuk selalu berbicara dan berpikir serius ketika menghadapi suaminya itu. Jadi daripada dia bilang dia hanya bercanda tadi, Aya kemudian menjawabnya sebisanya.
"Bagaimana dengan mengucapkan I Love You setiap harinya dimulai dari sekarang?" kata Aya kembali dengan nada bercanda.
Divo menatap Aya, tangannya kembali menggaruk tengkuk belakangnya. Divo lalu menjawab lagi dengan serius ditambah dengan nada merasa bersalah miliknya,
"Bisakah aku memulai kebiasaan itu, ketika aku sudah benar-benar merasakan cinta?, aku tidak mau membohongi perasaan aku."
'Bisakah seseorang memasangkan sense of humor untuk Divo sekarang?' tanya Aya dalam hatinya setelah mendengarkan jawaban Divo tadi.