Sorak-sorai membuncah, memantul di dinding-dinding gudang tua yang berlumut. Cahaya lampu neon menggantung rendah, menyinari ring darurat yang dikelilingi pagar kawat, Hera tersadar, kepalanya berada dalam pangkuan Ruben, degup jantungnya Hera berdentum seirama dengan teriakan orang-orang dalam gudang itu. Hera berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Ia hendak duduk tapi tubuhnya sangat lemah, nafasnya tersengal sengal.
Bau keringat, asap rokok, dan darah bercampur, menusuk hidung hingga membuat perutnya mual.
Hera teringat adegan yang membuatnya tak sadarkan diri.
Dua pria di dalam ring bertarung tanpa aturan. Tinju mendarat tanpa pelindung. Dan salah satu di antara mereka sudah mati.
“Buka matamu, Hera. Jangan lemah,” kata Ruben tenang, seakan pertunjukan brutal itu adalah hal yang biasa. Setelah itu Ruben tampak memberi isyarat kepada seseorang.
“Ruben” suara Hera tercekat. “Dia tewas?” Tanya Hera panik
Ruben mengangkat alis, lalu menyalakan rokok. Asap putih mengepul di udara, tepat di depan wajah Hera, menambah sesak karena udara yang pengap.“Pertarungan punya aturannya sendiri. Siapa yang kuat bertahan, siapa yang lemah dikubur.”
Hera berusaha duduk tegak dan akhirnya ia memiliki tenaga untuk menegakkan kepalanya.
Beberapa pria berbaju hitam melompat masuk ke dalam gudang. Mereka memeriksa handphone dan jam tangan semua orang, lalu mengangguk pada Ruben.
“Jantungnya pecah,” kata salah satunya datar. “Begitu laporan dokter kita nanti.”
Mayat itu ditutup kain lusuh. Dua orang menyeretnya keluar ring, meninggalkan noda merah di lantai. Hera menutup mulutnya, ia benar benar muntah.
Ruben terkekeh kecil dan membalikkan tubuh Hera, untuk berhadapan padanya. Tatapannya tajam, dan menusuk.
“Aku tidak membawamu ke sini untuk menonton saja, Hera. Aku ingin kau mengerti: semua ini butuh wajah, butuh topeng yang terlihat sah. Dan aku sudah memilihmu untuk itu.”
Hera mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Ruben mengeluarkan map hitam dari balik jas hitamnya, lalu menyodorkannya pada Hera.
Di dalamnya ada beberapa lembaran kertas: draft iklan, profil sponsor, bahkan rancangan layout majalah sederhana.
“Kita akan buat majalah. Cetakan kecil, komunitas, dengan rubrik sponsor, advertorial, bahkan profil event. Dari luar tampak sah. Dari dalam, itu saluran uang. Dan untuk itu lah kau dibutuhkan”.
Hera terbelalak. “Majalah… fiktif? Kau ingin aku menulis kebohongan?”
Ruben tersenyum tipis. “Kebohongan? Tidak. Aku menyebutnya versi lain dari kebenaran. Kau akan menata teks, menyunting iklan, memastikan bahasa rapi. Orang percaya pada kata-kata. Kau paham itu lebih baik dari siapapun.”
Hera menggeleng cepat. “Tidak. Itu kriminal, Ruben. Aku, aku hanya seorang editor cabutan, Aku tidak mampu….”
“Bisa,” potong Ruben dingin. “Dan bukan hanya itu. Sesekali, kau akan membawa map. Kontrak sponsor, invoice, daftar nama. Dari satu tangan ke tangan lain. Tidak ada yang curiga pada gadis kampus dengan wajah polos. Bukan?.”
Darah Hera terasa beku. “Kenapa aku? Ada banyak orang lain…”
Ruben mendekat, jarak hanya sejengkal. Suara rendahnya penuh ancaman terselubung.
“Karena aku memilihmu, dan aku tahu kau tidak punya pilihan.”
Ruben mengambil jari tangan Hera, mengaitkan jari mereka dengan lembut lalu meletakkan amplop tebal di sana, itu terbuka sedikit sehingga memperlihatkan lembaran uang di dalamnya.
“Bayaran mingguan. Cukup untuk biaya perawatan sakit ibumu, sekolah adikmu, bahkan lebih. Kau hanya perlu menulis dan mengantar map. Tidak ada darah di tanganmu.”
Air mata mendesak keluar dari sudut mata Hera. Ia ingin berteriak, ingin kabur. Namun bayangan ibunya yang terbaring lemah, dan adiknya yang butuh biaya, menjeratnya seperti belenggu tak kasatmata.
“Dan kalau aku menolak?” suaranya hampir berbisik.
Ruben mencondongkan tubuh. “Kau lihat pria tadi di ring? Dia menolak untuk jadi kuat.”
Tatapannya dingin. “Aku tentu tidak ingin hal yang sama terjadi pada mu, karena itu tidak menarik sama sekali”.
Hera gemetar. Uang di amplop seolah berteriak, sekaligus menghina. Map hitam masih terbuka di depannya, menunggu tanda tangannya.
Ruben menyulut rokok baru, lalu mendorong sebuah secarik kertas tipis ke arahnya.
“Itu tugas pertamamu. Bawa ke hotel dekat stasiun, kamar 314. Jangan buka. Jangan tanya. Kau hanya kurir, dan wajah sah dari sesuatu yang jauh lebih besar.”
Lampu neon di atas kepala berdengung, seperti suara lebah yang terjebak. Hera menatap map itu, tangannya terulur gemetar, ia tahu tidak akan ada jalan kembali untuknya.
###
Udara malam menusuk dingin ketika Hera melangkah dengan cepat menuju rumahnya, tangannya meremas map hitam yang diberikan Ruben, map yang terasa lebih berat dari batu.
Langkahnya cepat, seolah dikejar bayangan. Setiap kali melewati lorong gelap, ia merasa ada mata yang mengawasinya. Mungkin hanya paranoia, tapi Ruben, dia punya banyak tangan yang tak terlihat.
Sesampainya di rumah, Hera buru-buru masuk, menutup pintu, dan menguncinya sebanyak tiga kali. Napasnya terengah. Map itu ia letakkan di meja, tapi ia tak sanggup jauh darinya.
Kamar sederhana itu biasanya jadi tempat paling aman bagi Hera, buku-buku sastra bertumpuk, draft tugas kuliah berserakan, dan poster Shakespeare di dinding yang ia tempel sejak awal semester. Tapi malam ini, ruangan itu berubah jadi penjara.
Hera menatap map hitam itu. “Hanya pekerjaan sampingan.” Bisik nya meyakinkan diri sendiri.
Tapi bayangan tubuh petarung yang diseret keluar ring tadi kembali menghantam kepalanya. Mata kosong itu seolah menuduhnya “kau bagian dari ini sekarang”.
Hera menutup wajah dengan kedua tangan. “Kenapa aku? Kenapa harus aku?”
Jawaban Ruben kembali terngiang, karena aku tahu kau tidak punya pilihan.
Air matanya jatuh. Ia berpikir tentang ibunya, terbaring lemah di rumah. Tagihan obat yang terus menerus. Dokter yang mulai enggan memberi perawatan lebih tanpa pembayaran.
Dan adiknya, bayi kecilnya, Doni masih berusia 5 tahun, ia anak yang cerdas dan adorable.
“Aku hanya melakukan tugas ku. Aku tidak terlibat apapun” ucap Hera kuat meyakinkan dirinya sendiri.
30 menit yang lalu, ia sudah menyelesaikan tugas pertamanya, membawa secarik kertas ke hotel dekat stasiun, kamar 314. Tidak boleh dibuka, tidak boleh tanya. Meskipun dengan perasaan yang ling lung Hera berhasil mengantarkan kertas itu diatas meja kamar 314, ia tidak bertemu dengan siapapun disana.
Doni mengetuk pintu kamar Hera dan membukanya sedikit
“Halo, Kak? Kakak sudah tidur?.” Tanya Doni dengan suara polosnya.
Hera menahan suara gemetar. “Belum sayang, sini peluk kakak”.
Doni mendekat, Hera memeluk tubuh adiknya itu. Adik kesayangan Hera, satu satunya saudara kandung Hera, setelah ibu melahirkan Doni, ia mulai kehilangan sebagian besar ingatannya. Dokter mengatakan ibunya mengidap demensia dini dalam istilah medis “ Alzheimer”.
Penyakit yang mengakibatkan penurunan fungsi otak dan perubahan perilaku, selalu kebingungan dan gangguan fungsi kognitif. Waktu itu Hera masih berusia 18 tahun, ia bagai dihantam benda keras, kenyataan bahwa ia harus menanggung semua beban hidup yang mempermainkannya sejahat itu. Uang yang ditabung Ibu, semuanya telah dipegang oleh Hera ketika ia berusia 20 tahun, dengan usia semuda itu, ia mengatur segala keperluan rumah mereka. Tanpa siapapun yang menguatkannya, hanya perasaan cinta pada Ibu dan adiknya cukup membuat ia kuat.
Doni tumbuh tetap dengan perasaan cinta dari Ibu, karena kemampuan ibu tidak langsung memburuk saat itu, ibu kehilangan kemampuannya secara bertahap, sampai akhirnya ibu kehilangan minat untuk bicara.
Doni kerap tidur dengan Ibu, namun terkadang ia ingin tidur dengan kakaknya.
“Apa kakak capek.” Tanya Doni
“Tidak!” Hera mendadak meninggi, lalu menurunkan nada. “Maksud Kakak, tidak capek, kakak cuma lagi rindu, Doni.”
Hening sejenak. Lalu suara adiknya, lirih, “Kakak… jangan bohong ya.”
Hera menatap adiknya, hatinya remuk. Ia berbohong. Ia berbohong pada adiknya, pada dirinya sendiri. Ia sedang tidak baik baik saja saat ini.
*
Malam semakin larut. Hera belum tidur. Ia duduk di kursi, memeluk lutut, menatap map. Beserta amplop coklat. Seandainya ia menolak klien yang ditawarkan manager pada malam itu, apakah ini semua akan terjadi? Hera bukanlah manusia suci, ia menyukai uang. Tidak Hera amat sangat menyukai uang, tapi ia masih memiliki nurani.
Detik jam berdetik terlalu keras di telinganya.
Adiknya tertidur pulas diatas kasur.
Hera akhirnya berdiri. Dengan gerakan pelan, ia menyelipkan map itu ke dalam tas kain yang biasa ia pakai ke kampus. Tangannya berhenti sejenak, tapi akhirnya tas itu ia zip dengan bunyi klik yang memecah kesunyian.
Ia menatap bayangannya di cermin kecil kamar, wajahnya pucat, mata sudah merah,dan terasa pedas. “Aku… aku tidak punya pilihan.”gumamnya.
Lampu kamar padam. Dalam kegelapan,Hera memeluk adiknya, mencoba tidur dengan kepala yang bising.