BAB III(JALAN TAK ADA UJUNG)

1047 Kata
Pagi ini Leli menyalakan mobil Matic miliknya, ia tidak bisa tidur semalaman memikirkan Hera yang memakai jaket hoodie dan gaun warna merah menyala dibaliknya. Mungkin bajunya tidak terlihat tapi rok pendek itu menjawab pakaian yang ia kenakan. Leli mengikutinya dari Lobi hotel, naik Taxi dan singgah kedalam toko besar Fashion lalu membeli alat tulis di pinggir jalan. Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Outfit yang ia kenakan, semuanya baru dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terlalu mencurigakan! Apakah dia sudah menjadi l***e?!" Leli bergumam Sejak itu hidupnya tidak lagi tenang, Hera adalah sepupu dari paman Adnan, Adik kandung ayahnya, paman Adnan sangat mencintai Leli, tapi sebelum Hera lahir, Leli adalah cintanya yang pertama. Hera dan ibunya adalah perusak, perebut milik orang lain sekaligus pembawa sial. Paman Adnan tentu tidak akan meninggal jika tidak menikah dengan ibu jalang Hera! Kami semua sangat membenci mereka, karena mereka paman menjadi sial dan terbunuh dalam kecelakaan kerja di pabrik. Leli mengeluarkan mobilnya dari garasi rumahnya, melaju dijalanan dengan kecepatan maksimal, hatinya sangat panas melihat kebahagiaan adik sepupunya yang menjijikkan itu. "Aku harus menghancurkan mereka sampai ke tulang tulang mereka, dasar pembawa sial!" Leli berteriak sendiri didalam mobilnya, wajahnya memerah sampai kepanya terasa berdenyut. ### Hari ini adalah hari sabtu, Hera baru saja mengantarkan adiknya naik sepeda motor ke sekolahnya, ibunya seperti biasa sedang terbaring sakit datas ranjangnya. Hera sudah membersihkan ibunya tadi pagi, kini ditangannya sudah ada segelas air minum dan obat untuk ibunya. "Ibu obatnya diminum ya?" sapa Hera lembut Ibunya tersenyum lemah dan mengangguk, Hera menyuapi ibunya dan membaringkan tubuh lemah itu lagi. Hera tidak tahan dengan keadaan ibunya, ia keluar kamar dan menelpon suster yang merawat ibunya. "Saya ada janji nanti siang mbak, tolong mbak cepat datang ya" Biasanya weekend Hera menyuruh mbak suster datang agak siang, biar dia yang merawat ibunya pagi, tapi hari ini ia ada janji dengan Ruben. Ia butuh seseorang menjaga ibunya, adiknya nanti bisa dipesankan Uber. Siang ini cukup terik, kemeja putih yang Hera gunakan telah basah oleh keringat, rambut hitam panjangnya terasa lengket didahi, ia mengipasi dirinya sambil melirik arloji, "akhh ini sudah jam 12 kenapa Ruben belum muncul" Tadi malam Ruben menyuruhnya datang ke gerbang stasiun kereta api pukul 12, katanya ia ingin mengajak Hera ke suatu tempat. Tapi nyatanya, aku malah berdiri di sini sendirian,ini sungguh keterlaluan. Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan Hera, Jendela kaca turun perlahan. Ruben ada di balik setir, senyum tipisnya masih sama seperti kemarin. “Naiklah,” katanya singkat. Hera mengerutkan kening. “Kau terlambat.” Ruben mengangguk. Tapi tidak meminta maaf. “Hey! Itu menuju jalan tol. Kau mau mengajakku kemana?” “Tenang,” potongnya. “Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu. Kau bisa berkomentar setelah melihat.” Hera menatapnya tajam. Jalanan semakin lengang, melewati gudang-gudang tua di pinggir kota. Nafas Hera berat, ia mulai panik. “Apa sebenarnya maumu?” Ruben tidak menjawab. Hanya menyalakan rokok, asapnya melingkar di udara. Sorot matanya di kaca spion membuat Hera merinding. Tatapannya selalu mendebarkan Mobil berhenti di depan sebuah bangunan kosong. Cat dindingnya mengelupas, pintu besi berkarat. Dari luar terdengar suara gaduh, teriakan, pukulan, dentuman benda berat. Ruben turun, membukakan pintu. “Ikutlah.” “Aku tidak mau,” “Terlambat,” bisiknya. “Kau sudah ada di dalam permainanku.” Hera menggigil. Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah mengikuti Ruben. Di dalam gudang, suasana kacau. Beberapa pria bertubuh kekar mengelilingi sebuah ring kecil. Dua orang bertarung brutal, darah berceceran di lantai. Teriakan taruhan memenuhi ruangan. Bau keringat, alkohol, dan darah bercampur jadi satu. Hera membeku di pintu. “Apa ini…?” Ruben berdiri di sampingnya, menatap arena dengan dingin. “Ini adalah dunia ku. Tempat di mana hukum hanyalah kata-kata kosong. Tempat di mana manusia menunjukkan wajah aslinya.” Hera menelan ludah. Tubuhnya bergetar. “Kenapa kau membawaku ke sini?” Ruben menoleh, matanya menyala dalam cahaya redup. “Karena kau juga hidup di dua dunia, sama sepertiku. Bedanya, kau masih berpura-pura setengah mati. Aku ingin tahu… berapa lama kau bisa bertahan.” Hera ingin berlari, tapi tatapan mata Ruben menahannya, ada sesuatu yang gelap sekaligus memikat, bahaya yang terasa seperti jurang, tapi juga seperti undangan. Pertarungan berhenti. Seorang pria jatuh tak bergerak, darah mengalir dari mulutnya. Kerumunan bersorak, sebagian memasang wajah puas, sebagian kecewa. Hera menutup mulut, menahan muntah. Ruben mendekat pada Hera, setengah berbisik, “Inilah kenyataan, Hera. Dunia tidak pernah adil. Kau tahu itu. Karena itulah kau menjadi siapa dirimu hari ini, jadi… jangan berpura-pura terkejut.” Hera mendorongnya, marah. “Aku tidak sama denganmu!” Ruben terkekeh, tatapannya menusuk. “Belum. Tapi kau akan paham. Dunia ini selalu menyeret orang baik ke kegelapan. Pertanyaannya kau akan melawan… atau kau akan tenggelam?” Hera terdiam. Kata-katanya itu pernah menghantamnya waktu itu, tepat di hatinya. Tiba-tiba, salah satu pria besar di dekat ring menatap ke arah mereka. “Hei, Ruben! Siapa cewek itu? Pendatang baru?” Semua mata menoleh pada mereka berdua. Jantung Hera hampir berhenti. Ruben tersenyum tipis, melingkarkan lengannya di pundak Hera. “Dia… milikku.” Kata-katanya bergema, membuat bulu kudukku berdiri. Hera ingin menolak, ingin berteriak, tapi suaranya menghilang. Kerumunan bersorak, lalu kembali sibuk dengan taruhannya. Hera hanya bisa menatap Ruben, marah sekaligus takut. “Kenapa kau bilang begitu?” Ruben mendekat, wajahnya nyaris menempel pada pipi Hera. “Karena kalau tidak, mereka akan memperlakukanmu lebih buruk daripada yang bisa kau bayangkan. Kau harus berterima kasih.” Hera tercekat. Dan untuk pertama kalinya, Hera menyadari betapa berbahayanya terlibat dengan Ruben. Tapi entah kenapa… bagian lain dari dirinya ingin tahu lebih jauh. Apa yang sebenarnya ingin Ruben tunjukkan dan penawaran seperti apa yang dia inginkan dari Hera, tidak cukupkah hanya bermain main kecil dengannya? Mengapa Ruben tidak menyentuhnya malam itu, dan kenapa Ruben menginginkan kegilaan ini darinya. Hera tidak mengerti, semua pertanyaan itu berisik di dalam kepalanya. Tubuh Hera gemetar melihat pria yang bersimbah darah tergeletak di dalam ring, tidak ada yang berusaha membantu pria itu. Semuanya tampak sibuk dengan diri mereka sendiri “Apakah pria itu sudah mati? Bisakah ia hidup kembali setelah menderita luka luka seperti itu? Kenapa orang lain tidak membantunya? Tempat seperti apa ini? Hera memegangi kepalanya yang berdenyut denyut sakit. Tubuhnya masih menahan gemetar sejak tadi. Air mata membanjiri pipinya kemudian perlahan bintik hitam timbul semakin banyak di penglihatannya dan ia terjatuh kehilangan kesadaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN