Gadis Manis Bermulut Pedas

1948 Kata
"IYA, PA, aku udah sampai di rumah. Tentu aja aku suka rumah Papa, apalagi aku juga udah disiapin kamar yang nyaman banget. Makasih ya, Pa." Bintang berdiri di depan jendela tinggi dan meraba teralis yang membingkainya dengan ujung-ujung jari tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, menandakan ia sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana. Kamar yang ditempatinya memang terkesan nyaman, bersih, dan rapi. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit dengan d******i warna moccasin yang dipadukan wallpaper bermotif pattern di salah satu sisi dindingnya. Kamar ini pun sudah dilengkapi kamar mandi dalam. Di tengah-tengah kamar terdapat tempat tidur king size yang diapit dua meja kabinet kecil di sisi kanan dan kiri. Sebuah lemari pakaian tiga pintu terletak di dekat pintu kamar mandi. Sementara di dekat jendela tinggi atau persis di depan tempat tidur terdapat sofa panjang untuk bersantai serta furnitur yang sudah lengkap dengan fasilitas televisi LED, home theatre, dan berbagai macam pajangan lainnya. Dan karena kamar ini terletak di lantai bawah, di luar jendela tinggi yang menghadap langsung ke pekarangan samping rumah Keluarga Wirantama, dapat terlihat nuansa taman minimalis berhiaskan bunga-bunga mawar putih yang tampak terawat dengan baik. "Baguslah kalau kamu suka. Papa harap kamu betah tinggal di sana." Suara berat Arman lebih terdengar seperti permintaan. "Papa sama mama juga cepat balik ke Indonesia. Huh, belum apa-apa, tapi aku udah kangen gini sama kalian," keluh Bintang. Arman terkikih. "Pasti, papa janji akan segera menyelesaikan semua urusan di sini, lalu membawa mamamu kembali ke Indonesia. Sebaiknya sekarang kamu simpan dulu rasa kangenmu itu sampai kita semua berkumpul bersama." Bintang mendengkus, sementara Arman masih terkekeh. "Ya, asal jangan kelamaan aja. Bisa-bisa nanti rasa kangenku keburu menggunung terus meletus. Papa harus tanggung jawab itu lho, ya?" sungutnya membalas guyonan Arman. Kali ini bukan suara terkikih lagi yang dikumandangkan Arman, melainkan ia sudah tergelak keras. "Pa, aku harap aku bisa melihat pernikahan Papa sama mama. Aku cuma punya mama dan akan tenang kalau mama udah bahagia bersama Papa. Tolong jaga mama ya, Pa?" Nada serius perkataan Bintang dapat dirasakan Arman. Ia berdeham untuk menjernihkan suaranya yang serak akibat banyak tertawa keras tadi. "Kamu tenang saja, Bintang. Papa sangat mencintai mamamu. Pasti akan papa lakukan apa saja untuk membuat mamamu bahagia. Kamu bisa pegang janji papa ini. Dan satu hal lagi, sekarang kamu juga sudah punya papa. Kamu sudah punya Fania. Kita akan bersatu menjadi sebuah keluarga." Bintang tersenyum, walaupun Arman tidak mungkin melihatnya. Permintaan Bintang kepada Arman untuk menjaga ibunya memang tidak sebatas ia memercayai cinta pria itu semata. Sungguh, sejak lima bulan lalu berkenalan di Jepang, Bintang sudah mengagumi Arman yang kini dipanggilnya 'Papa' itu sebagai pria yang baik. Begitu berbeda dengan sosok asli ayah kandungnya sendiri. Bintang yang masih berusia sepuluh tahun kala itu mungkin tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin sedikit mengerti sejauh yang bisa ditangkap penglihatan dan pendengaran anak usia sepuluh tahun ketika gelegar-gelegar adu mulut menjamah dalam bahasan bicara kedua orang tuanya. Pertengkaran sengit. Hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi, bahkan untuk memercayai suara ayahnya akan sekeras itu. Ketahuan gila harta, ketahuan selingkuh, bukannya mengakui dosa, tetapi justru meremehkan sang istri yang begitu mudah diperdaya. Sejak saat itu, Bintang hanya tahu satu hal bahwa orang yang telah berani membuat ibunya bersedih berarti orang itu jahat. Trauma karena pria yang sudah menyakiti hati ibunya, membuat Bintang tidak memercayai lagi sosok seorang ayah. Bintang mulai bersikap protektif terhadap semua pria yang mencoba mendekati ibunya setelah resmi bercerai dengan ayahnya. Ia bertekad akan menjaga ibunya dengan tangannya sendiri dan tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti hati ibunya lagi. Namun, setelah dua belas tahun terbiasa hidup tanpa sosok ayah, pandangannya mulai berubah ketika ia bertemu dengan Arman Wirantama. Menaruh prasangka bahwa Arman berbeda dengan pria-pria lain yang hanya ingin mengambil kesempatan mendekati ibunya karena maksud tertentu. Pria penuh kehangatan seperti Arman, bahkan Bintang berharap bisa memiliki ayah seperti itu. Lalu saat mengetahui bahwa ternyata Arman juga mengenal ibunya semasa muda, Bintang bersyukur sekali melihat pertemuan mereka kembali. Sayangnya kini masih ada masalah lain. Hari ini ia mendengar perkataan Fania. Gadis itu ternyata keberatan dengan pernikahan orang tua mereka. "Pa ...." "Ada apa, Bintang? Ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanya Arman, sebab Bintang justru terdiam setelah beberapa detik hanya menggantung ucapannya. "Ah, nggak apa-apa, kok," elak Bintang sambil berbalik dari jendela, lalu mendudukkan dirinya di tepian tempat tidur. "Papa sampai lupa bertanya tentang pertemuan pertamamu dengan Fania. Kalian sudah berkenalan, kan? Apa Fania berkata sesuatu padamu?" Arman sepertinya dapat menebak kegelisahan Bintang. Tidak ada persoalan sama yang meresahkan hatinya sendiri selain persoalan Fania. "Mm ... ya, kami udah berkenalan. Papa benar, Fania memang secantik Tante Sarah," sahut Bintang pelan tanpa membalas pertanyaan Arman yang kedua. "Maafkan papa tidak memberitahumu tentang masalah ini sebelumnya," ucap Arman. Ia sudah dapat mengira kalau Fania pasti mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada Bintang. "Putri papa itu sebenarnya masih sulit menerima rencana pernikahan papa dan mamamu. Papa tahu dia masih sangat terpukul atas kepergian mamanya. Papa juga sudah terlalu banyak membohonginya atas penyakit yang selama ini diderita mamanya. Papa pikir setelah bertemu denganmu hari ini, mungkin Fania dapat berubah sikap. Bintang, kamu bisa kan memberinya sedikit waktu?" Beberapa detik lalu, Bintang sempat berpikir kalau Fania tidak akan bisa menyayangi ibunya seperti yang ia harapkan. Kemudian Bintang berpikir ulang bahwa ia seharusnya tidak egois dan tidak menyerah memperjuangkan kebahagiaan untuk ibunya. Ia sudah memercayai Arman dan akan memercayai Fania juga. "Aku paham kok, Pa. Aku juga mengerti perasaan Fania dan aku sama sekali nggak menyalahkannya. Papa tenang aja, aku akan berusaha akrab sama Fania." Bintang tersenyum yakin. Pembicaraan di telepon itu pun berakhir dengan pesan Arman untuk Bintang agar beristirahat. Perjalanan dari Tokyo ke Semarang tetap saja tidak ditempuh dalam waktu singkat. Bintang menurunkan smartphone putihnya, lalu melempar benda itu serampangan di atas tempat tidur bersamaan ia membaringkan tubuhnya yang terasa penat. Sebenarnya ia ingin membongkar koper dan menata barang-barangnya, tetapi lebih baik nanti saja karena tubuhnya saat ini sudah memberontak meminta istirahat. Sinar matahari sore menyela masuk dari celah jendela, langsung mengenai kelopak mata yang berkedip pelan itu. Tiupan angin lirih yang ikut menyela masuk menembus tirai tipis, bagai sebuah sentuhan halus yang membelainya. Mata jernih nan teduh itu pun perlahan memejam. Sepuluh menit saja. Setidaknya ia bisa rebahan sebentar di kamar barunya ini. ❤ Meskipun Fania masih mempertahankan sikap dingin dan ketusnya, tidak berarti ada kata menyerah bagi Bintang untuk mencairkan kebekuan hati gadis itu. Seperti janjinya pada ayah Fania, ia akan memberikan waktu bagi Fania agar dapat mengenal Bintang dan ibunya secara lebih dekat. Pagi ini Bintang sudah sibuk di dapur paviliun yang ditinggalinya untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Fania. Ya, selama di sini, Bintang menempati rumah paviliun yang berada tidak jauh dari rumah induk Keluarga Wirantama. Arman sengaja membangun rumah paviliun itu untuk berjaga-jaga kalau ada sanak saudara yang datang menginap. Kini rumah paviliun itu bisa dimanfaatkan Bintang untuk sementara tinggal. Lagi pula Bintang juga tidak mungkin tinggal satu rumah dengan Fania yang bukan mahramnya. Maka menempati rumah paviliun yang terpisah ini adalah pilihan terbaik di samping Bintang tetap bisa menjalin silaturahmi dengan Fania. Asisten Arman juga sudah mengatur semua kepengurusannya dengan ketua RT setempat, sehingga tidak ada masalah dengan izin tempat tinggal Bintang di sini. Antara rumah induk dan rumah paviliun dibatasi oleh sebuah pagar. Untuk mencapai akses masuk paviliun dapat melalui pintu gerbang yang berada di bagian sayap kanan rumah induk. Namun, di bagian belakang rumah paviliun juga terdapat sebuah pintu yang terhubung langsung dengan pekarangan samping rumah induk. Dengan melewati area taman bunga mawar putih itu Bintang sudah bisa menuju pintu samping rumah induk. Bintang sudah membawa dan menata semua sarapan buatannya ke meja makan rumah Fania. Sebelumnya ia sudah berpesan kepada Bi Ipah—asisten rumah tangga Fania—supaya tidak perlu menyiapkan sarapan untuk putri majikannya itu karena Bintang yang akan membuat segala sesuatunya sendiri pagi ini. "Selamat pagi, Fania!" sapa Bintang hangat, sehangat mentari pagi hari itu. Gadis yang disapa hanya memasang ekspresi acuh tak acuh, sementara Bintang masih memamerkan senyum cerahnya. Di atas meja makan sudah terhidang menu sehat untuk sarapan. Tercium dari aromanya, pastilah rasa semua masakan itu pun dapat dikatakan enak. "Udah mau berangkat?" tanya Bintang. "Aku dengar kamu ambil FK, ya. Wah, kamu hebat!" Persyaratan kedua! Selama ayahnya belum kembali dari Jepang, mau tak mau Fania harus menahan diri agar tidak mengusir Bintang keluar dari rumahnya. Inilah babak utama yang diharapkan ayahnya untuk mengenal Bintang lebih dekat. Tak kenal, maka tak sayang. Pepatah itu jangan harap akan berlaku bagi Fania, karena ia tidak ingin benar-benar mengenal Bintang. Bintang maupun ibunya, garis bawahi itu juga. "Kata papa, ini tahun keduamu di kepaniteraan klinik, ya?" tanya Bintang lagi. "Sedikit banyak Papa Arman udah cerita tentang kamu, terutama tentang cita-citamu. Aku salut sama kamu yang punya cita-cita menjadi dokter. Cita-cita semulia itu, aku yakin kamu bisa mewujudkannya." "Nggak usah sok tahu, deh!" tukas Fania datar usai ia cukup mendengarkan semua ucapan Bintang yang menurutnya hanya membual. Kedua tangannya dilipat di depan d**a sembari menatap remeh Bintang. "Apa kamu juga mahasiswa kedokteran hingga kamu pikir bisa merasakan apa yang aku rasakan? Apa kamu sedang berbicara seolah-olah kamu tahu semuanya tentang aku? Kamu pikir pujianmu itu lucu?" Bintang tersentak diam. Entah disadari Fania atau tidak, wajah laki-laki itu sedikit berubah sendu. Namun, Bintang segera menepisnya dengan senyum yang lebih kepada menertawai dirinya sendiri. Terlalu lucu memang ketika dirinya bisa berbicara demikian, sementara ia hanya terlihat sok akrab bagi Fania. "Kamu benar, aku nggak tahu apa-apa. Maaf." "Buang-buang waktu aja!" decak Fania. "T-tunggu!" cegah Bintang ketika dilihatnya Fania hendak berbalik pergi. Ia bersyukur masih mendapat perhatian Fania, meski gadis itu tidak bisa menunjukkan wajah menyenangkan. "Gimana dengan sarapannya? Kamu nggak sarapan dulu? Aku udah buatin kamu pancake. Itu juga dari Papa Arman aku tahu kalau kamu suka banget sama pancake." Fania memandangi setiap sajian sarapan yang sudah tersusun rapi di atas meja makan. Matanya kemudian terpaku pada pancake saus karamel kesukaannya yang dimaksud Bintang. Tidak berapa lama, Fania justru menyeringai dan berkata dengan nada menyindir. "Wah, haruskah sekarang aku yang gantian muji kamu?" Manik hitam nan tajam itu menatap dingin Bintang. Membekukan lawan bicaranya. "Papa? Oh, bahkan kamu udah sangat lancar ya memanggil papaku dengan 'Papa'. Apa kamu pikir papaku akan jadi papamu, hah?!" "Fania ...." "Lain kali nggak usah repot-repot melakukan ini untukku. Aku nggak butuh perhatianmu karena bagiku, kamu dan mamamu adalah bencana dalam hidupku. Sebenarnya apa sih yang dilakukan mamamu sampai-sampai papaku tertarik padanya? Atau jangan-jangan mamamu udah terbiasa menggoda para pria seperti seorang pelac—" "CUKUP!" teriak Bintang, sontak memotong perkataan Fania. Kali ini ia sudah tidak tahan. Ia tahu kalimat apa yang masih ingin diucapkan Fania dan ia tidak mau mendengarnya. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuh, sementara matanya menjerat tajam sosok manis, tetapi bermulut pedas di hadapannya itu. Berdiri angkuh dengan wajah tanpa dosa. Tanpa penyesalan atas kata-katanya. "Mamaku bukan orang seperti itu. Dia wanita termulia yang pernah aku kenal. Jadi jangan sampai aku dengar kamu berbicara tentang mamaku dengan sesuatu yang nggak pantas." Seperti tidak terpengaruh kemarahan Bintang, Fania mengibaskan sebelah tangannya ke udara. "Talk to the hand!" cibirnya, lalu beringsut meninggalkan Bintang dengan langkah mengentak. Sementara itu, Bintang hanya bisa terperenyak lemas di kursi depan meja makan sepeninggal Fania. Dadanya sakit dan ia meremasnya dengan sebelah tangan. Tak terkira olehnya kalau Fania bisa menggunakan kata-kata sekasar itu lebih kepada ibunya. Ia pikir ibunya akan bahagia dengan sebuah keluarga baru. Ia pikir dengan sebuah keluarga baru, kelak ibunya dapat melupakan masa lalunya yang buruk saat suami bejatnya tega berkhianat hanya demi harta dan wanita lain. Namun, melihat sikap Fania, apa seperti tadi ibunya disambut oleh gadis itu saat pertama kali diperkenalkan ayahnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN