Koas

2893 Kata
TINDAKAN seseorang yang baru saja menendang mesin minuman di sebuah ruang kafetaria milik salah satu rumah sakit pendidikan itu sempat mengejutkan beberapa orang sekitarnya. Namun, hanya berselang sebentar mereka menghujankan tatapan heran kepada seorang gadis pelaku itu ketika akhirnya memilih acuh tak acuh. Entah karena beberapa dari mereka sudah tidak mengherankan kalau salah satu mesin minuman yang sudah bertahun-tahun mengeklaim keberadaannya di kafetaria itu memang perlu ditendang dulu untuk mengeluarkan minuman atau karena mereka tidak ingin terlalu berurusan dengan gadis yang sebut saja namanya Fania Wirantama. "Minggir!" Fania sedikit menjauhkan dirinya dan membiarkan Adel berbuat sesuatu pada mesin minuman yang seharusnya sudah perlu dipensiunkan itu. Heran, kenapa tidak ada hal menyenangkan sepanjang hari ini? Pagi tadi ia sudah menciptakan keributan dengan Bintang dan melewatkan waktu sarapannya. Tiba di rumah sakit, harus segera menyelesaikan laporan anamnesis pasien, diteruskan dengan morning report yang sayangnya tidak membuat Fania cukup berkonsentrasi. Hingga di tengah visite pasien, Profesor Lesmono tak segan lagi memberikan bonus sorotan 'teristimewanya' ketika Fania merasa otaknya menjadi selamban siput untuk menjawab sodoran pertanyaan konsulen bedah saraf itu. Lalu kini Fania hanya ingin mengambil minumannya, apakah itu masih harus dipersulit? Sekaleng minuman isotonik yang menjadi pilihan Fania keluar dari mesin minuman. Fania mendengkus seraya menerima minuman yang disodorkan Adel dengan tatapan 'berterima kasihlah padaku'. "Thanks," ucap Fania sekenanya sambil membuka tutup kaleng minuman berwarna biru-putih tersebut. Adel melipat kedua tangannya di depan d**a. Gadis berwajah manis lagi imut seperti boneka, terlebih dengan pashmina oranye bercorak abstrak—yang memungkinkan orang—orang salah mengira ia masih remaja sekolahan jika mereka mengenalnya tanpa snelli-itu hanya memerhatikan Fania yang menenggak kaleng minumannya dengan cara mengerikan. Gadis 22 tahun rasa 17 tahun. Mungkin begitu ungkapan untuk gadis bernama lengkap Adelia Putri Kusuma itu. Sejawat Fania dalam menimba perkuliahan kedokteran di Universitas Lentera Diwangtara (ULD). Salah satu universitas swasta ternama berskala internasional yang menjamin setiap lulusan terbaiknya dapat bekerja di semua jaringan Diwangtara Group. Saat ini Fania dan Adel tengah menjalani tahun kedua koas mereka di rumah sakit pendidikan ULD. Tidak mengacuhkan rasa penasaran Adel, Fania berjalan mendekati salah satu meja kafetaria berbentuk bundar dengan empat kursi mengelilinginya, lalu menarik satu kursi berwarna hijau muda dari ketiga lainnya yang memang keseluruhan kosong. Tampangnya garang nyaris senewen, seperti orang baru saja menghadapi pedagang tengil di pasar becek yang berlagak sulit ditawar. Adel mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala sebelum ikut menyeret langkahnya ke tempat Fania dan mengambil kursi lain di sebelah temannya yang tampak kacau itu. "Malang nian nasibku cuma dicuekin sama si tampang suram ini, sementara ada pemandangan cerah di luar sana." Sindiran halus Adel mengiringi ekspresi merananya saat menatap ke arah jendela. Kafetaria itu terletak di lantai satu dan tempat duduk mereka memang berdekatan dengan jendela kaca besar yang mampu menyuguhkan pemandangan siang hari di luar gedung rumah sakit universitas mereka. Salah satunya adalah nuansa taman rumah sakit berdesain khas alam pedesaan Jepang yang identik dengan pancuran bambu shishi odoshi dan kolam ikan koi. Istimewanya, taman yang juga menghubungkan tiap-tiap bangunan, seperti gedung D instalasi rawat jalan sekaligus unit rehabilitasi medik, paviliun rawat inap, minimarket, serta bagian samping masjid itu sudah dirancang sedemikian sejak awal didirikannya Rumah Sakit Universitas Lentera Diwangtara. Konon, Prof. dr. Lentera Diwangtara, Sp.JP (K), FIHA, pendiri rumah sakit universitas sesuai namanya itu sengaja meletakkan unsur taman bergaya alam pedesaan Jepang sebagai bentuk cinta terhadap istrinya yang memang berdarah Negeri Sakura dan sangat menyukai pemandangan alam tradisional seperti di kampung halamannya. Taman itu diberi nama Taman Haruka seperti nama istrinya. Matsumoto Haruka. Sampai sekarang tetap menjadi salah satu tempat bersantai yang paling diminati oleh orang-orang di rumah sakit ini. "Aku lagi sariawan," sahut Fania asal sembari menggelongsorkan kepala di atas meja tanpa menunggu reaksi Adel setelah kata-katanya. "Huh, dasar!" desis Adel memutar bola matanya. Sebentar kemudian, Fania bisa mendengar suara kursi yang diduduki Adel berderik ke belakang. Ia juga merasakan Adel mulai beranjak dari duduknya. Apa Adel mau meninggalkannya? Hei, Adelia Putri Kusuma, sahabat macam apa itu yang tega ninggalin sahabatnya yang lagi galau ini sendirian? Meskipun Fania sempat menggerutu dalam hati, tetapi ia enggan mengangkat kepala dan justru membiarkan matanya kini terpejam. Toh, Fania memang lagi malas bicara. Mungkin akan lebih baik ia menghabiskan waktu istirahat siang ini sendirian sampai .... "Aowh, apa-apaan sih?!" erang Fania ketika benda tipis dan panjang diketuk-ketukkan di atas kepalanya yang tertutup shawl. Fania yang sudah menegakkan badan menoleh tajam Adel. Sebaliknya Adel justru sama sekali tidak menunjukkan wajah bersalahnya. Tangan kanan Adel masih mengacungkan sebuah penlight yang menandakan dengan senter medis berbentuk seperti pulpen itulah tadi kepala Fania diketok. "Hei, maksudmu apa? Mau bikin kepalaku yang berisi IQ tinggi ini cuma jadi sejarah, huh?!" "Kata siapa? Aku justru mau kasih nutrisi untuk otak di kepalamu itu." Adel yang sudah menaruh kembali penlight di saku jas snelli dan duduk di kursinya hanya membalas santai omelan Fania sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan polos. Lalu ia menunjuk sesuatu dengan dagunya. "Makan dulu. Aku tahu kamu nggak lagi sariawan." Kilatan tajam mata Fania berangsur meredup ketika perhatiannya beralih pada sebungkus sandwich yang ditunjuk Adel. Jadi tadi Adel pergi untuk membelikannya makanan ini? "Aku pikir kamu pergi," gumam Fania. "Ya, aku pergi beli makanan buat kita," sahut Adel sambil mulai melahap sandwich-nya sendiri. Lalu tiba-tiba ia mencondongkan bahunya ke hadapan Fania dengan mata agak disipitkan. "Kenapa? Kamu pikir aku mau ninggalin kamu, sehingga di kepalamu yang katanya berisi IQ tinggi itu bisa berpikiran, 'Adelia Putri Kusuma, di mana rasa pedulimu sebagai seorang sahabat yang seharusnya ada di saat sahabatmu sedang senang maupun susah? Oh, atau kamu cuma mau nempelnya kalau pas diajak senang doang, tapi I'm sorry, goodbye saat sahabatmu sedang galau' Begitu, kan?" Fania meringis masam. Ia lupa kalau temannya ini bisa menganggap semua otak manusia seperti sebuah buku yang mudah dibaca. "Oke, aku siap mendengarkan kegalauanmu kali ini. Jadi?" tanya Adel setelah cukup yakin Fania bisa berbagi persoalannya. Fania menggigit bibir, menimbang sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Sandwich di dalam bungkusan kotak mika itu hanya dipandanginya lesu. Nafsu makannya menghilang selagi ia memikirkan masalah yang seperti bertubi-tubi menimpanya. "Kamu masih marahan sama papamu?" terka Adel. Fania masih bungkam. "Fan ...." Adel mengulurkan tangannya dan mengguncang-guncang punggung tangan Fania. Suaranya tidak terdengar mendesak ketika ia hanya ingin menyadarkan Fania yang terlihat melamun. "Apa pun masalahmu, kamu bisa ceritain ke aku. Itu juga kalau kamu masih mau percaya padaku." Fania menelan ludah. Batinnya sudah berteriak lelah. Lelah ingin mengadu dan membebaskan rasa sesak yang bersarang di dadanya. Namun, suaranya tidak bisa keluar. Seperti ada tali yang mengikat lidahnya dan d**a Fania semakin nyeri mengetahui kenyataan ia belum sanggup bercerita. Maaf, Del, bukannya aku nggak percaya padamu, tapi .... Adel memang sahabat baiknya dan Fania percaya Adel mengkhawatirkannya yang akhir-akhir ini terkesan selalu ingin meledak. Tiba-tiba Fania merasa sudah menyulitkan temannya itu. Namun, akan lebih baik membiarkan Adel tidak tahu masalahnya. Biarlah sampai saat ini Adel masih mengira masalah Fania hanya sebatas kerenggangan hubungan dengan ayahnya. Kendati benar Fania belum bisa memaafkan orang tua tunggal itu karena tidak pernah berterus terang tentang penyakit ibunya, tetapi paling tidak situasi di antara hubungan Fania dan ayahnya tidak akan lebih buruk kalau saja ayahnya tidak egois. Kalau saja ayahnya tidak punya rencana gila mau menikah lagi dengan cinta pertamanya itu. "Bukan masalah apa-apa, kok. Aku cuma kangen mamaku," kilah Fania kemudian. "Kemarin aku berkunjung ke makam mama. Kamu tahu sendiri kalau aku masih sangat terpukul oleh kepergiannya." Mata Adel menyipit. Rasanya bukan hanya sekadar itu masalah yang tengah dihadapi Fania. Ada yang masih disembunyikannya. Meskipun ia menyadari Fania lebih berubah temperamental semenjak kematian ibunya, tetapi Fania masih bisa mengontrol diri. Fania tidak akan senewen sampai seperti ini kalau tidak ada 'sesuatu' yang memancing amarahnya. "Iya, aku ngerti. Tapi kamu juga harus berusaha merelakannya," kata Adel setelah mencoba mengabaikan kecurigaanya pada sikap Fania. Bibirnya mengulum sebuah senyuman ketika ia menepuk punggung tangan Fania dua kali. "Biarin mamamu tenang di sana." Fania tersenyum samar, kemudian mengangguk. Tiba-tiba Adel menjentikkan jarinya dan menatap Fania, seolah baru saja mendapat ide bagus. "Ah, biar perasaanmu membaik, gimana kalau nanti malam kita nonton DVD di rumahmu? Kebetulan aku baru beli DVD film baru kemarin. Karena besok kita juga libur dan aku malas pulang ke Kudus, jadi aku boleh kan menginap di rumahmu?" "APA?!" seru Fania cepat, secepat ia nyaris terlonjak dari duduknya. Menyadari keterkejutannya yang mungkin berlebihan itu sudah menjadi pusat perhatian hampir semua orang di kantin—terutama Adel yang menatapnya aneh bercampur heran—Fania segera menata sikap normalnya kembali. "Astagfirullah, Fania! Kamu mau bikin jantungku yang cuma ada satu ini hampir jadi riwayat, huh? Harus ya, kamu pakai teriak kayak gitu?" gerutu Adel. "A-ah, maaf ... maaf ...," ringis Fania. Sejenak wajahnya kembali menegang. "Tadi kamu bilang apa? Mau menginap di rumahku?" "Ya lah, bukannya kita mau nonton DVD di rumahmu? Sekalian aja aku menginap. Lagian udah lama ini aku nggak main ke rumahmu. Tenang aja, aku masih punya stok makanan kecil di kondo. Nanti aku bawa deh ke tempatmu." "Tapi ... aku nggak ... maksudku, kamu kan belum tanya apa aku setuju." Alis Adel bertaut heran. Tumben. Biasanya Fania paling semangat diajak nonton. Secara hobinya memang nonton film, apalagi film baru. "Lho, kenapa? Memangnya kamu nggak setuju kita nonton bareng? Atau jangan-jangan aku nggak boleh menginap di rumahmu, ya?" Fania menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan d**a dan berkata gugup, "B-bukan. Bukan begitu juga maksudku. Aku ... aku cuma ...." Ya Allah ya Rabb, apa yang harus ia katakan? Mana mungkin ia membiarkan Adel datang ke rumahnya. Tidak, tidak untuk saat ini. Tidak di saat Bintang sedang tinggal di paviliun rumahnya. Adel bisa saja curiga melihat ada orang lain di paviliun itu. Adel kan orangnya suka bludas-bludus dan mengacak-acak rumah orang seenaknya. Meskipun Fania bisa berkilah, pertimbangkan juga dari sisi Bintang. Apa laki-laki itu bisa dipercaya menjaga rahasia? Tidak, bagaimanapun mereka tidak boleh bertemu. Setidaknya jangan sekarang. Fania tidak siap dengan kecurigaan Adel, apalagi bersiap dengan banjir pertanyaan dari Adel yang memaksa Fania harus menjelaskan siapa Bintang dan kenapa Bintang bisa tinggal bersamanya. Fania tidak mau Adel tahu kalau Bintang adalah calon saudara tirinya, sehingga mau tidak mau membuat Fania terpaksa lagi menjelaskan rencana pernikahan ayahnya dengan ibu Bintang yang membuatnya muak itu. Ia harus menahan Adel datang ke rumah setidaknya sampai ia berhasil menggagalkan rencana pernikahan ayahnya dengan ibu Bintang. Namun, masalahnya sekarang ia harus beralasan apa pada Adel? Sementara Fania masih berpikir keras mencari alasan yang tepat, ia mendengar ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Jihan dan .... Bingo! Tiba-tiba Fania merasa otaknya diterangi lampu ketika Jihan bisa dijadikan penyelamatnya. "Halo, Han? ... Aku lagi di kafetaria nih, sama Adel ... Ah iya, tentu aja kita jadi cari buku sama-sama ... Ciputra ... Ya-ya, di Ciputra aja. Oke deh, sampai nanti ...." Fania menutup ponselnya, lalu dengan satu gerakan cepat seiring memasukkan ponsel kembali ke saku snelli-nya dan berdiri, Fania berkata dengan ekspresi menyesal kepada Adel. "Del, sori nih, aku baru ingat udah punya janji sama Jihan ke toko buku nanti malam. Dan soal acara kita nonton DVD bareng, kayaknya kita tunda dulu aja, ya? Aku benar-benar menyesal. Tapi aku janji lain waktu kita akan nonton DVD bareng. Di rumahku, tentu aja." Kepala Adel dimiringkan ke sisi kiri dan matanya mengerjap. "Tunggu, tadi kamu bilang Ciputra?" gumamnya. "Oh, pas banget, dong. Aku juga lagi pingin beli sepatu baru, nih. Gimana kalau kita bertiga sekalian jalan-jalan? Having fun. Melepas stres. Terus habis itu kita ke rumahmu. Kalau perlu kita ajak juga Jihan supaya tambah ramai. Kita bikin deh pesta piyama sambil nonton DVD. Udah lama juga kan kita nggak kumpul-kumpul bertiga sejak masuk koas? Pasti bakalan seru." Duh, kenapa kebohongan itu malah jadi berbuntut menyulitkannya? Astagfirullahal'adzim, sebenarnya Fania bukan orang yang senang berbohong. Namun, sekarang ia sudah melakukan dosa karena kelepasan berbohong seperti ini. "Mm, soal itu ... aku ... bukannya aku nggak mau kita kumpul bareng, tapi aku memang lagi punya sedikit urusan dengan Jihan. Maaf ya, Del." "Jadi kalian mau main rahasia-rahasiaan dariku?" Adel memberengut kesal. "Memangnya kalian punya urusan apa sih, sampai nggak melibatkan aku? Katanya kita sahabatan, tapi kenapa ...." Sebelum Fania makin sulit berdalih dan sebelum Adel tambah salah paham, Fania buru-buru menyela, "Oh, udah jam segini. Aku mesti balik ke bangsal sekarang. Aku duluan, ya. Thanks juga traktirannya. Bye!" seru Fania sambil lalu, meninggalkan Adel yang hanya bisa terbengong di tempatnya. ❤ Sambungan telepon terputus. Jihan menatap layar ponselnya dengan alis bertaut heran. Bukankah yang barusan itu ia benar-benar menelepon Fania? Lalu, kenapa jawaban Fania malah aneh, sementara sangat jelas Jihan membahas gamis jahitannya? Ya, Jihan memang pandai menjahit. Hasil jahitannya sendiri pernah dilihat Fania beberapa waktu lalu dan langsung mendapat pujian. Karena itu Fania ikut memesan satu gamis seperti yang pernah dibuat Jihan. Sebenarnya Jihan akan menyerahkannya kepada Fania kalau saja pagi tadi ia tidak kelupaan membawa bungkusan berisi gamis pesanan Fania itu. Niat Jihan akan mengantarkannya langsung ke rumah Fania nanti malam. Namun, sewaktu ditelepon barusan, Fania justru berkata aneh. Jihan mengembuskan napas sambil memasukkan ponsel ke saku snelli-nya. Ia akan menghubungi Fania lagi nanti karena sekarang ia ingin melihat kondisi ibunya. Pintu kamar rawat di hadapannya itu dibuka Jihan secara perlahan. Bisa dilihatnya seorang wanita paruh baya tengah terbaring dengan memejamkan kedua matanya. Jihan menuai senyum tipis ketika mendapati ketenangan di wajah ibunya yang tengah terlelap. Ia berharap kondisi ibunya akan kian membaik. Ia tidak ingin membayangkan lagi ketakutan yang dirasakannya ketika mendapati ibunya pingsan, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan tekanan darah ibunya sangat rendah. Jihan menyesal ketika mendengar cerita dari adik perempuannya kalau diam-diam ibunya terlalu memaksakan pekerjaannya di kedai. "Ibu melarangku kasih tahu Mbak Jihan. Sebenarnya ibu udah lama ngeluh pusing, tapi ibu berusaha menutupinya karena nggak mau bikin Mbak Jihan khawatir. Akhir-akhir ini Mbak Jihan sering tidur larut malam karena ikut bantu-bantu ibu mengurus kedai di samping Mbak Jihan juga mesti tugas jaga di rumah sakit. Jadi ibu nggak mau nambah beban Mbak Jihan." Ingin rasanya Jihan memukul-mukul dadanya sendiri saat itu. Perasaan terpukul itu bukan lagi karena ia tidak tahan melihat ibunya terbaring sakit, melainkan juga karena ia belum mampu membahagiakan ibunya. "Jihan, kamu di sini, Nduk?" Jihan terkesiap dari lamunannya ketika menyadari ibunya sudah terjaga. "Ibu bangun?" Ibunya tersenyum. "Jihan, apa kamu sudah bicara dengan dokter, kapan ibu bisa pulang? Ibu sudah ndak betah di sini." "Iya, Bu. Kata dokter kondisi Ibu memang udah jauh lebih baik. Tapi sebaiknya Ibu masih harus dirawat. Tunggu satu atau dua hari lagi sampai dokter izinkan Ibu pulang, ya?" "Kenapa masih harus nunggu?" tukas ibunya dengan sedikit merajuk. "Ibu bahkan sudah bisa jalan-jalan. Kepala ibu juga ndak pusing-pusing lagi. Lagi pula kalau ibu lebih lama dirawat, bagaimana nanti dengan biaya rumah sakitnya? Apalagi ini kamar rawat VIP. Kenapa kamu pilihkan ibu kamar VIP segala? Biayanya jadi lebih mahal, kan? Padahal ibu juga ndak apa-apa kalaupun harus dirawat di ruang kelas tiga saja." Jihan meraih tangan ibunya yang tidak terpasang selang infus. "Bu, Ibu jangan pikirkan soal itu. Pakde Hasan udah menanggung semua biaya perawatan Ibu, kok." "Mas Hasan?" Jihan menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Sebenarnya Pakde Hasan yang kasih usul kamar VIP ini. Katanya biar Ibu lebih merasa nyaman," jelasnya. "Kita sudah terlalu banyak berutang budi sama pakdemu. Sebisa mungkin ibu ingin mengganti uangnya nanti. Ibu ndak enak kalau mesti terus merepotkan." "Iya, Bu. Tapi yang penting sekarang Ibu sembuh dulu." "Jihan, ibu minta maaf ya sudah bikin kamu khawatir. Bahkan sekarang ibu ndak bisa bekerja untuk kalian," ucap ibunya. Penyesalan tersirat di raut wanita yang telah menampakkan guratan keriput itu. "Ibu ini bicara apa? Kita kan udah membahas masalah ini. Ibu nggak usah pikirkan masalah pekerjaan di kedai. Ada Jihan dan Laras yang bisa gantian jaga kedai. Lebih daripada itu, Jihan mohon setelah ini Ibu jangan tutupi apa pun lagi dari Jihan, terutama tentang kesehatan Ibu." Jihan benar-benar menggunakan nada memohon ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia menangkup lebih erat jemari hangat wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya selama 22 tahun itu. "Tolong, jaga kesehatan Ibu sendiri. Baik Jihan maupun Laras akan lebih sedih kalau hal seperti ini harus terjadi pada Ibu. Asal melihat Ibu sehat, itu udah cukup bagi kami." "Tapi kalian ... kedua putri ibu, seharusnya tugas kalian cuma belajar, bukan ikut bekerja demi bantuin ibu." Ingin rasanya Jihan cepat-cepat menyanggah perkataan ibunya, tetapi suaranya tertahan ketika melihat cairan bening itu telah membentuk genangan di pelupuk mata sang ibu yang kian menua. Ia tahu semenjak sosok seorang ayah sebagai kepala keluarga telah lama meninggalkan istri serta kedua anaknya, hanya ibunya yang saat itu menjadi pengganti tulang punggung kehidupan mereka. Menjalani kehidupan di mana orang-orang yang bernasib jauh lebih baik di luar sana belum tentu memahami arti sulitnya seorang janda dua anak dari petani miskin bekerja apa saja selama itu halal. Lebih kepada memikirkan dirinya sendiri, dia—janda itu—hanya terus berusaha memberikan kehidupan layak untuk kedua putrinya yang kala itu masih belia. Jihan mencoba tersenyum, meski matanya sudah memanas demi menahan keinginan menangis. Lalu ia berkata dengan suaranya yang bergetar, "Bu, Jihan dan Laras sama sekali nggak keberatan. Asal Ibu tahu, kami nggak pernah sekali pun menyesal menjadi anak-anak Ibu." Ibunya tidak berkata apa-apa lagi. Hanya bergeming meresapi setiap ujung jemari tangan putri sulungnya yang penuh kelembutan itu berusaha menghapus jejak air mata di pipi ibunya. Dalam hati, ia benar-benar bersyukur mempunyai dua orang putri seperti Jihan dan Laras. "Ya udah, lebih baik sekarang Ibu istirahat lagi, ya?" ujar Jihan kemudian seraya menaikkan selimut ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN