GADIS yang masih bergelung di bawah selimut itu mulai membuka kelopak matanya secara perlahan. Sejenak kemudian ia melakukan gerakan menggeliat ke sisi kanan untuk sekadar merenggangkan otot-ototnya sembari melenguh kecil.
Bersamaan kelopak mata itu terbuka lebih lebar dan merasa penglihatannya sudah tidak terlalu buram, ia mendapati jarum-jarum jam beker di atas meja kecil samping ranjang tempatnya masih berbaring menunjukkan pukul 8:20. Ia pun menyadari cuaca di luar sana rupanya sudah mulai panas.
Oh, sepertinya Fania bangun lebih siang daripada biasanya. Walaupun hari ini hari Minggu, biasanya Fania tidak tidur lagi setelah menunaikan ibadah salat Subuh. Mungkin karena setelah tiga bulan terakhir ini, baru tadi malam ia benar-benar merasakan tidur nyenyak.
Ia teringat baru tiba di rumah pukul sepuluh malam lebih. Rasa lelah dan penat membuat Fania langsung ambruk ke tempat tidur tanpa sempat mengganti bajunya dengan piyama. Tanpa sempat memikirkan bahwa sebelumnya ia malas pulang ke rumah.
Semalaman itu ia memang menghabiskan banyak waktu dengan mengobrol di kedai nasi gandul Jihan. Dan Jihan banyak memberikan kata-kata bijak yang membuat relung hati Fania seakan dialiri kedamaian.
Fania duduk di tepian tempat tidur, sementara kedua telapak kakinya telah menyentuh lantai. Ujung-ujung jari kakinya menggapai sandal beledu di bawah tempat tidur. Fania menutupi mulutnya yang tengah menguap lebar. Dikenakannya kerudung bergo yang tersampir di atas tempat tidur sebelum ia memutuskan keluar kamar.
Walaupun di dalam rumah, hampir setiap keluar kamar, Fania tidak luput mengenakan kerudungnya. Ia telah menyadari betul hakikat kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat dari almarhumah neneknya yang selalu membiasakan sejak kecil.
Pesan yang selalu diingatkan neneknya untuk Fania sebelum mengembuskan napas terakhir adalah jangan sampai Fania melepas hijabnya. Aurat wanita adalah perhiasan. Dan perhiasan itu bukan untuk ditampakkan kepada seseorang yang bukan mahramnya. Apalagi sekarang yang jelas-jelas ia ingat sedang ada laki-laki ajnabi ikut tinggal di paviliun rumahnya.
Dengan langkah gontai dan penampilan masih serbakusut, Fania berjalan menuju dapur. Dikerjap-kerjapkan kedua matanya yang terasa lengket sekadar menggugah kesadarannya agar penuh seratus persen. Bi Ipah tidak terlihat di dapur. Ah, paling juga sedang belanja di pasar.
Duduk di depan meja makan, Fania menuangkan air mineral dari pitcher ke dalam mug, lalu diteguknya sekali tandas. Tenggorokannya yang kering terasa lebih baik setelah kesegaran air mineral itu mengalirinya. Sayup, di tengah kondisinya yang sudah benar-benar sadar, Fania menangkap lantunan selawat dari arah teras samping rumah.
Ya, itu suara orang berselawat.
Sejenak Fania tertegun, hingga langkah kaki mendorongnya mengikuti asal suara selawatan tersebut. Mata gadis itu menangkap ayunan rotan di pekarangan samping rumah itu bergerak-gerak. Ada orang yang memainkannya? Siapa?
Fania tak berkedip, tubuhnya mematung, terpaku pada sesosok bayangan yang duduk di ayunan rotan sambil melantunkan selawat. Merdu sekali.
Sholatullah salamullah.
'Ala thoha rasulillah.
Sholatullah salamullah.
'Ala yasin habibillah.
Masya Allah, hati Fania serasa dialiri ketenangan tatkala tak melepaskan pendengarannya dari lantunan selawat tersebut. Lantunan selawat yang dirindukannya.
Mama ....
Tidak mungkin, ibunya sudah meninggal. Fania tahu betul seseorang di ayunan rotan itu bukanlah ibunya sebagaimana dulu ibunya yang senang berselawat sambil duduk-duduk menaiki ayunan.
Dan itu bukan pula suara ibunya, melainkan ....
Bintang!
Ya, laki-laki itu ... kenapa selalu bisa membuat orang lain terpesona? Atmosfer yang dihadirkan laki-laki itu, bagaimana bisa begitu mengesankan?
Senyuman tipis tak terpudarkan di bibir halus laki-laki berambut gelap itu sembari ia menghayati bacaan selawat yang tengah dilantunkannya. Dari wajahnya tepancar seberkas cahaya ketika ditimpa terik matahari pagi yang menyelusup melalui celah-celah dedaunan pohon ketapang kencana sebagai peneduh pekarangan samping rumah itu.
"Fania?" Bintang cepat-cepat berdiri dari ayunan dan tersenyum manis kepada gadis yang sudah berdiri di sampingnya. "Rupanya kamu udah bangun. Apa tidurmu nyenyak semalam?"
Fania memalingkan wajahnya dengan gugup. Apa yang ia pikirkan sampai tidak sadar kalau Bintang sudah menyelesaikan lantunan selawatnya? Lalu ... lalu memergoki Fania tengah terpaku seperti seorang gadis lugu yang terkagum-kagum mendengarkan suara merdu pelantunnya itu? Ayolah, lihat seberapa konyol dirinya.
Tidak ingin terlihat lebih konyol di hadapan Bintang, Fania balas mengunci laki-laki itu dengan tatapan nyalangnya yang seperti biasa. "Siapa suruh kamu bisa seenaknya menaiki ayunan itu?" ucapnya tajam.
Bintang tergagap. Ia tidak tahu kalau ketertarikannya menaiki ayunan rotan itu bisa dinilai suatu kelancangan oleh Fania. "A-ah, m-maaf. Aku ... aku cuma tertarik menaikinya. Aku nggak bermaksud ...."
"Ayunan itu tempat favorit mamaku," sela Fania. "Di rumah ini hanya aku dan mamaku yang berhak menaikinya."
"Sekali lagi aku minta maaf udah bertindak sembarangan dan bikin kamu marah. Aku janji ini nggak akan terulang lagi," ujar Bintang dengan nada menyesal.
"Tolong, kita udah punya batasan jelas tentang di mana dan di mana tempat tinggal kita masing-masing. Dan kamu udah melewati batasan itu." Fania menekankan ucapannya.
Bintang menundukkan kepala. Fania benar bahwa ia sudah tanpa permisi menginjak area rumah induk dan tanpa permisi pula menyentuh tempat favorit gadis itu. "Maaf ...."
Tidak ada sahutan dari Fania. Wajahnya masih membeku. Antara marah dan sedih, ia tidak tahu mana yang lebih menguasai hatinya. Ketika Bintang berada di ayunan itu sambil melantunkan selawat, kenyataannya telah berhasil membangkitkan kenangan akan ibunya.
Ma, Fania kangen sama Mama. Saat ini Fania bisa mendengar selawatan itu lagi. Sayangnya bukan Mama yang melantunkannya, tapi Bintang. Fania hanya mau Mama yang ada di sini, walaupun Fania tahu itu nggak mungkin.
Ma, kenapa harus Bintang yang datang untuk mengobati kerinduan Fania? Mama bisa lihat, kan? Bintang dan Tante Alda udah merebut perhatian papa. Mereka datang di keluarga kita seperti orang-orang yang diistimewakan oleh papa.
Kalau Bintang masih punya harga diri, tentu dia akan menentang keputusan mamanya menikah lagi, kan? Sedangkan kenyataannya ....
Fania merasa matanya memanas. Ia yakin sesuatu yang mati-matian tengah dibendungnya itu cepat atau lambat akan menjebol pertahanannya jika Fania masih berada di hadapan Bintang. Ia tidak mau terlihat lemah. Ia benci disebut cengeng.
Gadis yang berusaha menahan desakan lakrimasi itu membalikkan tubuh ketika Bintang hendak mendekatinya. Dengan tenaga yang tersisa, Fania berlalu begitu saja meninggalkan Bintang yang langkahnya segera terpaku setelah tiada niatan mengejar Fania.
Bintang hanya bisa menghela napas pelan. Perasaannya berkecamuk melihat tatapan sendu seorang gadis yang sejak awal tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya itu.
Fania menangis.