bc

KARMA (Indonesia)

book_age16+
1.7K
IKUTI
8.2K
BACA
revenge
family
fated
second chance
dare to love and hate
student
bxg
highschool
cheating
enimies to lovers
like
intro-logo
Uraian

From w*****d By Maanovpy

Sejak Bundanya memutuskan untuk menjodohkan Dinda dengan pria yang dikenalnya, hidup gadis itu menjadi penuh dilema. Kehidupannya yang semula flat dan biasa saja kini melibatkannya dengan berbagai permasalahan rumit. Di samping ingin menuruti Bunda nya, tak bisa dipungkiri bahwa Dinda juga terkungkung dalam pesona seorang Renaldi Geraldian Rasyid. Walau sikap dingin dan cuek lelaki itu menjadi nilai minus, Aldi juga seorang yang care pada orang terdekatnya.

Aldi belum menyadari bahwa dirinya terbiasa dengan kehadiran Dinda yang menurutnya selalu mengganggu. Cowok itu selalu menampik perasaan yang mulai menyusup perlahan ke dalam relung hatinya yang mengatakan bahwa ia menyukai gadis yang akan dijodohkan dengannya itu. Dirinya kerap meyakinkan diri bahwa hatinya akan selalu menjadi milik kekasihnya yang sedang jauh di benua sana.

Namun, semuanya berubah saat lelaki itu menolak tepat dihadapan Bunda nya yang sedang drop. Hingga Bunda nya pergi, Dinda memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya dari lelaki tak berhati itu.

"Dijodohkan?!! Di umurku yang masih 17 tahun? Ini bukan zaman Siti Nurbaya kali, ini zaman modern dan masih ada jodoh-jodohan. Apa lagi aku dijodohkan sama si cuek bebek? Good bye damai .... Aku kira semua enggak akan terlalu buruk namun aku salah, salah besar! Orang egois akan selamanya egois dan mengutamakan egonya. Karena hal konyol ini aku kehilangan orang yg paling ku sayang."

- Adinda Syifa Nayara

"Dijodohkan sama orang yang sama sekali tak kukenal? Mungkin dia mengenalku karena kita satu kelas tapi aku sama sekali tak tahu menahu tentang keberadaannya dimuka bumi ini. Aku tidak dan tak mungkin menyukainya. Dia terlalu naif, mana ada zaman sekarang cewek sebaik dia? Namun kehadirannya seperti membawa sebuah warna dihidupku yang abu-abu. Terlambat? Cinta datang terlambat. Aku menyesal, sangat menyesal."

- Renaldi Geraldian Rasyid

Warn: sedang dalam tahap revisi. Jika suka silakan baca, jika tidak silakan tinggalkan.

chap-preview
Pratinjau gratis
(Revisi) Satu : Tabrakan
“Jika ada satu keinginan yang akan dikabulkan, aku hanya berharap tak akan kehilangan siapa pun. Bahkan jika aku harus menanggung semua konsekuensinya, aku tak ingin kehilangan siapa pun.”   Adinda's POV   Jika ditanya apa aku bangga punya ibu seperti Bunda, tentu. Namun, ada saat-saat aku berharap Bunda tidak seperti yang sekarang. Maksudnya tentang sifatnya, aish, keras kepala.   "Bunda, kenapa sih Nda harus datang? Kan yang datang partner Ayah, kenapa Nda datang juga, sih?" rengekku pada Bunda.   Bunda itu kadang menyebalkan. Bunda menyuruhku untuk ikut dalam perjamuan makan malam di restoran yang sudah di-booking Ayah satu meja besar bersama teman kerjanya. Oke, itu bukan bagian menyebalkannya. Tapi, aku harus datang. Wajib! Bahkan alasan aku belajar pun enggak mempan. Kata Bunda, "Kan semua anggota keluarga diundang, Nda. Jadi, Nda harus datang, ya?"   Sebenarnya bukan bagian makan malamnya, aku memang malas keluar kalau sudah pulang. Kalau diajak Kak Andi aja susah banget.   Aku agak risih dengan tatapan siswa-siswi yang melintas di trotoar. Pagi ini, aku diantar Bunda pakai mini cooper kesayangannya dan sekarang aku berada di pinggir trotoar, masih ingin mengutarakan keberatanku pada Bunda. "Kan diundang bukan harus, Bun," cicitku.   Bunda nampak sudah jengah dengan alasan yang terlihat dibuat-buat. Emang pada dasarnya aku tidak pandai menolak. Bunda menyenderkan punggungnya di pintu penumpang sambil menatapku. Meski Bunda jarang marah, tapi beliau sering berkata dengan nada sarkas. Lantas berkata, "Nda mau temen Ayah kira kalau Ayah cuma punya anak satu?"   "Bunda aa!" rengekku lagi sambil cemberut.   "Dinda, ini kan cuma makan malam, sayang. Kan bukan dinner berdua," rayu Bunda.   "Tapi Bun--"   "Nda datang. Si Kakak juga datang, kok. Mau sendirian di rumah?"   Aku berdecak. "Ih, Bunda, bikin Nda bad mood aja," rajukku melipat tangan di d**a. Melawan Bunda tak pernah jadi perkara mudah, tapi ya kalau pemaksaan kayak begini mau enggak mau aku melawan. Dan tentu saja Bunda yang menang.   "Datang, oke? Bunda pulang dulu," pamit Bunda melajukan mobil yang tadi kutumpangi pulang ke rumah setelah mencolek daguku singkat.   Huft! Kenapa, sih aku harus ikut segala? Itu kan partner Ayah, aku tidak ikut bagianpun seharusnya tidak masalah. Bunda sama aja kayak Ayah. Huh, sebel!   Akhirnya aku ditinggal sendirian karena Bunda baru saja pergi. Ah, kayaknya sepanjang sekolah hari ini aku dalam keadaan yang enggak banget. Terbukti dari langkahku yang kuhentak-hentakkan ketika memasuki pekarangan sekolah bersama segerombolan siswi lain. Plis deh, harus banget ya Bunda bilangnya sebelum sekolah?   "Din!" Seseorang memanggil lalu menepuk pundakku keras membuatku berjengit.   "Astagfirullah, Na. Bikin kaget aja," tandasku mengusap d**a saat tahu siapa orang itu. Dia Vina, temanku yang juga merangkap sebagai saudara—Papanya itu adiknya Bunda.   Dia cengar-cengir. "Abisnya ngelamun, sih. Kenapa, Din?" Vina melakukan kebiasaannya, memiting leher orang di sampingnyae saat berjalan sambil mengobrol—tentu saja leherku yang dipitingnya.   Aku membantah. Aku enggak ngelamun, cuma menggerutu. "Gak, kesel aja. Gimana gak kesel, abisnya Bunda —"   "Dinda! Vina!" Ada lagi yang memanggilku-- dan Vina. Aku menoleh dan mendapati perempuan dengan rambut tergerai berbando merah muda memakai cardigan senada berlari kecil ke arah kami.   "Salsa," jawab kami serempak. Satu lagi temanku, Salsa. Dia sama kayak Vina, kami menjadi sahabat atas dasar orang tua kami sebelumnya dan sampai sekarang masih sahabatan. Jadi Ayahku, Om Adhit, dan Om Azka sudah sahabatan sejak SMA dan masih akrab.   Akan tetapi, ada yang berbeda dengan perempuan ceria itu. Tak ada binar mata yang biasanya menemani lirikan matanya. Malah mtanya sembab dan wajahnya sendu. Jalannya yang biasa melompat-lompat kecil sekarang lesu. "Kenapa?" tanyaku.   Bukannya menjawab, Salsa justru menangis. Sontak itu membuatku dan Vina gelagapan karena tidak terbiasa menenangkan orang yang menangis.   "Sal, kamu kok nangis? Siapa yang udah bikin kamu nangis?" tanya Vina mengelus-elus punggung Salsa sementara aku mencari tisu di tas.   "Hiks ... A-aku di-di ...," ucapnya masih menangis, membuang ingus pada selembar tisu yang tadi kuberikan.   "Di?" ulangku heran.   "Di-di jodohin huaaa!" Tangisnya pecah saat kalimat 'dijodohin' meluncur dari bibirnya. Sebenarnya aku agak malu mengingat kami masih di koridor dan Salsa tidak segan menangis dengan kencang. Siswa-siswi yang lalu-lalang memperhatikan kami sekilas, bahkan beberapa gerombolan yang sejak tadi diam di depan kelas terang-terangan menaruh atensinya pada kami, terutama Salsa.   Ah masa bodo! Bukan saatnya memikirkan kata orang, ini bagaimana sahabatku!?   "Dijodohin?" gumamku mau tak mau teringat pada rencana Bunda nanti malam. Menambah prasangka buruk dan niatku tidak ikut. Ibu-ibu kalau sudah ngerumpi itu serem, apa aja bisa jadi topik. Ehm, ini acara Ayah sih.   Ah ..., semuanya masuk akal 'kan? Di film-film, perjodohan anak-anak itu dilakukan untuk menyatukan dua perusahaan dan menaikan profit tanpa takut dicurangi. Tapi, masa Ayah tega sih jodohin aku? Lagian perusahaan Ayah bukan seperti kantoran yang menjunjung tinggi kualitas, kuantitas, martabat serta t***k-bengek mereka.   "Kok bisa? Gimana ceritanya? Cowoknya ganteng gak? Kayak apa? Ganteng kayak Oh Sehun gak?" tanya Vina beruntun. Tidak biasanya dia banyak bicara seperti ini, biasanya paling pendiam. Akhir-akhir ini saja dia banyak terbuka dan menjadi pribadi yang humble.   "Jadi semalam, Mama suruh aku buat dinner sama keluarga temennya Papa. Aku kira cuma dinner doang, ternyata aku dijodohin huaa," jelas Salsa.   Hah?   Bunda keukeuh ajak aku dinner. Salsa juga sama dan akhirnya 'dijodohkan'. What? Apa aku juga akan di jodohkan?!   No.   No.   DEMI LAGU CLC, NO!   AKU GAK MAU!   "Kok sama?" lirihku tanpa sadar didengar Vina dan Salsa.   "Sama? Kamu juga dijodohin?! Ini apaan sih Tante Dera sama Tante Vika main jodoh-jodohin segala ntar Mama juga ikut kehasut terus aku dijodohin juga," cerocos Vina. Vina kalau sudah panik suka tidak bisa dikontrol omongannya.   "Ya enggaklah," sanggahku. "Maksudnya Bunda juga nyuruh aku buat dinner nanti malam sama keluarga partner Ayah, tapi gak bilang apa-apa soal dijodohin."   Salsa berkata dengan nada tinggi, "Hah?! Jangan mau nanti kejadiannya sama kayak aku, aku gak mau, Din!"   "Tapi gimana kalau emang gak ada apa-apa, cuma dinner biasa doang. Kata Bunda sih gitu," jelasku. Padahal sejak awal aku yang pesimis memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi nanti malam. Ayolah, Dinda, malu kalau beneran cuma dinner. Pesimisnya udah kebangetan banget, padahal cuma omong kosong.   "Jangan per—"   Tring...! Tring...! Tring...!   Ucapan Salsa terpotong bunyi bel. Sontak murid-murid yang tadinya masih ada di koridor berlarian memasuki kelas masing-masing.   "Ya ampun, bel. Ayo cepet masuk kelas!" rusuhku. Saat berbalik, aku langsung ancang-ancang mengambil langkah seribu kekelasku. Lalu ... bruk!   "Aduh!" Pantatku sukses mencium lantai sekolah ini dengan tidak elitnya. Tadi aku menabrak sesuatu yang keras. Atau mungkin seseorang. Sakit banget, plus malunya itu loh.   "Lo gak kenapa-napa?" tanya benda, eh, seseorang itu.   "Enggak, kok. Gak kenapa-napa," ujarku tanpa mendongak, sibuk meresapi rasa sakit agar tau mana saja yang harus diperiksa. Sshh, bokongku nyeri luar biasa, semoga tak apa-apa.   "Oh, ya udah," ucapnya langsung pergi. Salsa dan Vina bukannya membantuku, malah bengong sementara. Mereka baru mengulurkan tangan saat aku menarik rok Salsa untuk dibantu berdiri.   "Kamu gak papa, Din. Ada yang sakit? Lutut? Kepala?" tanya Vina beruntun.   “Vin, tadi kamu lihat ‘kan siapa cowok itu? Itu beneran dia?” Salsa malah bertanya sesuatu yang tak aku tahu.   Vina mengangguk pelan. “Eumm, kayaknya sih iya. Dia udah balik.”   “Siapa sih yang kalian bicarain?” tanyaku bingung. Pasalnya hanya aku sendiri yang tak mengerti apa dan siapa yang mereka bicarakan. “Eh, nanti aja deh ngomongnya. Yuk ke kelas, sekalian bantu aku jalan hehe.” Aku cengengesan melihat muka malas mereka.   “Bentaran, Din. Dia—”   "Bel udah masuk, ayo!" Tanpa bicara lagi, aku mengalungkan tanganku ke leher Vina dan Salsa. “Let’s go!”   Kami melanjutkan langkah kami yang tertunda sebelumnya. Salsa juga tak kelihatan murung lagi. Mereka membantuku berjalan ke kelas yang sudah tak terlalu jauh. Syukurlah, dewi fortuna masih berpihak pada kami. Guru Biologi kami belum tampak di bagian depan kelas.   "Untung bu Nina belum masuk, selamat," ucap Salsa duduk di kursi belakangku dan Vina.   "Eh, Din. Beneran ‘kan dia yang nabrak kamu tadi?" ujar Vina menunjuk seorang pria yang berjalan menuju bangku di pojok ruangan. Aku menghendikkan bahu tak tahu, toh tadi aku hanya melihat punggungnya.   “Ya ampun, lucky banget sih sabahatku ini. Most wanted sekolah kita baru aja balik dari Malaysia, eh kebetulan kamu ada di sana dan ditabrak sama dia,” kata Salsa menatap cowok tadi dengan binar matanya yang sempat hilang.   Alisku bertaut mendengar pernyataan Salsa. "Ditabrak kok lucky?" tanyaku heran.   "Kan yang nabrak kamu Aldi, Din," timbrung Vina.   Aku berkata lagi dengan heran, "Emang Aldi itu siapa? Dia 'kan di sini berarti dia temen sekelas kita."   "Dia itu the most wanted di sekolah ini, Din. Baru aja aku bilang barusan. Please deh sifat kudetnya Tante Dera jangan diwariskan ke kamu," ucap Salsa menepuk jidatnya.   Fyi, heran kenapa Salsa tahu soal Bunda? Karena Bunda, Tante Vika, Tante Siska, om Adhit, sama om Azka sahabatan dari kecil. Aku dan Kak Andi anak dari Bunda Dera dan Ayah Regar, Vina anak dari om Adhit -KakakBunda - dan Tante Vika, sedangkan Salsa anak dari Tante Siska dan om Azka. Oh iya, aku punya satu teman lagi namanya Randi anak dari Tante Rindu -adik Ayah - dan om Aldo. Jadi aku, Kak Andi, Vina, Randi itu saudara tapi Salsa sudah kuanggap saudaraku sendiri. Satu lagi, kami kecuali Kak Andi itu seumuran.   "Betul sekali," tandas Vina. Tumben dia ikut-ikutan soal cowok.   Aku menggeleng tak paham berbarengan dengan Bu Nina yang masuk kelas. "Udah deh jangan ngelantur."   Aku tak lagi mendengarkan mereka dan memilih fokus ke Bu Nina yang sedang mengajar tentang Biologi. Vina dan Salsa masih mengobrol kecil biarpun posisi mereka menyulitkan bergibah. Vina harus sesekali menoleh ke belakang dan bertukar obrolan dengan Salsa. Ada-ada aja mereka.   "Vina! Salsa! Jangan mengobrol dikelas saya!" tegur Bu Nina seketika membuat satu kelas hening dan menatap ke sahabat-sahabatku, termasuk Aldi yang katanya menabrakku tadi pagi. Wanita berkerudung hijau itu melotot pada Vina dan Salsa.   "Dinda gak ditegur, bu?" celetuk Salsa.   "Justru Dinda yang kalian ajak ngobrol!"   "Tapi kan—"   "Maaf, bu," ujarku mengalah, toh tidak ada salahnya 'kan meminta maaf.   "Ya sudah, perhatikan!"   ***   Tring...! Tring...! Tring...!   Setelah bel istirahat berbunyi, aku segera mengemas kembali alat tulis yang kugunakan sebelumnya. Gawat kalau sampai lupa. Di kelas ini, alat tulis adalah benda yang pantang ditinggal tanpa pengawasan. Sedetik saja lengah, pensil sudah berpindah tangan dan kepemilikan. Entah sudah berapa banyak pensil, bolpoin, penghapus atau tip-ex milikku yang hilang.   "Dinda, kamu mau ke kantin?" tanya Vina yang menurutku sama sekali tak bermutu.   Dengan nada ketus tapi wajah becanda, aku menjawab, "Mau lah, masa UKS, sih."   Saat aku hendak berdiri, seseorang menghampiri mejaku. Aku menatapnya heran. Dia orang yang tadi menabrakku. Yang kuherankan apa maksudnya ke sini?   "Lo?" tanyanya.   "Aku?" tunjukku pada diriku sendiri bingung akan pertanyaan atau pernyataan yang dia lontarkan. Siapa tau dia berkeperluan dengan Vina, Salsa atau Luna yang berada di dekatku.   "Ehm ... tadi gue belum minta maaf, kan? Maaf ya," ujarnya.   Aku heran, dia itu tulus atau tidak sih minta maafnya? Nadanya datar, mukanya dingin lagi, seperti terpaksa. Kaku banget lagi. Ya kalau enggak merasa bersalah, buat apa minta maaf? Aku enggak bakal mempersalahkannya kok.   "Maaf?" tanyaku tak mengerti. Jangan sampai geer duluan dengan alasan dia minta maaf.   "Lo yang tadi gue tabrak, ‘kan? Ya udah, maaf," ucapnya sewot. Nah loh, kok dia malah sewot?   "Gak papa kali, kan gak sengaja."   "Ya udah, yuk, Din!" ajak Vina, seperti biasa memiting leherku dan Salsa.   "Kamu gak ke kantin?" tanyaku pada dia—Aldi.   "Duluan aja," ujarnya pelan lalu kembali ke mejanya di pojok kelas bersama teman-temannya.   Salsa mendelik pada cowok yang baru saja pergi itu. "Jangan ngomong sama dia lagi, Nda. Bikin esmosi aja. Walaupun aku nge-fans berat sama Aldi, tapi kalau masalah friend aku akan menjadi penghalang pertama kalau dia mau—"   "Emosi, Sal," sanggah Vina. Aku terkekeh. Kayaknya Vina deh yang bikin emosi. Salsa 'kan bilangnya kapan Vina ngoreksinya kapan. Haha.   Salsa manyun. "Kamu mah, Vin. Aku lagi berargumen soal temen malah disela."   "Kan mengoreksi," bela Vina.   "Yah itu maksudnya."   "Yuk ah, malah berantem," leraiku mengalihkan perhatian dan menarik mereka ke kantin. Sekarang bagian urusan perut!   ***   Sesuai janji aku, aku akan mulai revisi. Tapi gak yakin sih kapan selesainya, wong work sebelah masih banyak PR. Jadi, mohon maaf kalau nanti revisinya lama banget, aku juga kayaknya bakal sibuk soalnya tahun ini mau ambil kuliah.   Soal revisi, enggak bakal ngubah banyak dari awal, cuma aku benerin dikit aja. Revisi sesungguhnya ada di bagian konflik kayak part 29, pasti akan aku rombak lagi biar kalian puas ya dan gak nyesel udah buka gemboknya.   Senin, 28 Juni 2021.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

FINDING THE ONE

read
34.5K
bc

Billionaire's Baby

read
285.9K
bc

Noda Masa Lalu

read
205.5K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Pengantin Pengganti

read
85.9K
bc

Istri Simpanan CEO

read
214.5K
bc

Long Road

read
148.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook