Munazat Cinta

1399 Kata
… September, Oktober, November 2007 …            Liburan. Akhirnya waktu yang telah lama dinanti-nanti kini telah datang juga. Kini semua santri termasuk yang berasal dari pulau Jawa mulai pulang ke kampung halamannya masing-masing termasuk aku. Waktu liburan tidaklah terlalu lama, hanya sekitar tiga minggu saja, tetapi setidaknya waktu tersebut bisa aku manfaatkan di rumah dengan baik.           “Ciyee, akhirnya pulang kampung juga,” celetuk Yunus.           “Halah, bukannya kau juga mau pulang Nus.”           “Iya sih, emang kamu pulang sama siapa? Dijemput?”           “Nggaklah, aku pulang sendiri aja bisa.”           “Gilaaa, baru kelas satu SMP udah berani naik angkot sendiri.”           “Ahhhh udah biasa Nus, sejak gue masih kelas dua SD juga udah berani naik angkot sendiri.”           “Busyett dahhh. Ya sudah pokoknya hati-hati aja di jalan.”           “Siap bro, sampai jumpa lagi bulan depan ya.”           “Oke bro.”           Perjalanan oh perjalanan. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku hanya terdiam sendiri sambil memandangi sebuah pemandangan dari balik jendela angkot. Di liburan pertama ini, kumerasa sangat bahagia karena akan kembali berjumpa dengan keluarga. Aku sempat bertanya dalam hati, mungkinkah aku juga harus menemui Yoga, Angga dan juga Adi selaku personil grup Maximum, kurasa sebaiknya juga wajib untuk bertemu.           Atas perpisahanku dengan mereka, aku seolah-olah telah melakukan suatu kesalahan. Namun kuakui jika ini bukanlah murni kesalahanku, karena kepergianku semata-mata karena sudah menjadi kehendak orang tua yang tak bisa kutolak. Aku mulai tersenyum di saat harus mengingat kembali masa-masa itu, namun untuk kali ini kujuga bersedih atas perpisahan itu, kuharap mereka semua bisa mengerti atas apa yang sudah kulakukan terhadap mereka.           Kini kumulai tiba di rumah. Dalam waktu tiga minggu ke depan kuharus menikmati waktu liburan setelah lima bulan ku harus berpisah dengan orang tua, dan juga berpisah dengan teman-teman SD, termasuk personil grup band Maximum. Satu hari pun telah berlalu, usai diriku menjalani shalat Subuh di masjid kukembali tidur di kamar. Jarang-jarang aku bisa seperti ini, karena hidup di pesantren sangatlah jauh dengan di rumah.  Saat waktu telah menunjukkan pukul enam pagi, pintu kamarku berbunyi karena diketuk oleh kakakku.           “Viannn, kau udah bangunkah.” Teriak kakakku dari luar kamar.           “Iya sudah.”           “Buruan keluar! Ada teman yang lagi mencarimu tuh.”           “Iya sebentar lagi ya.”           Lalu aku mulai keluar usai cuci muka. Tak kusangka ternyata yang datang adalah Angga, sang drummer.           “Halooo Vian, how are you?” sapanya.           “Fine Angga, Alhamdulillah akhirnya kita ketemu juga.”           “Hahhh Lu makin tinggi aja kayak tiang listrik,” celetuknya.           “Hmmm, Lu bisa aja. Oh ya, gimana dengan kabar Maximum?”           “Aduhhh parah deh, nggak ada Lu kita malah jarang latihan.”           “Oh, emang yang gantiin gue sebagai vokalis siapa? Yoga kah?” tanyaku.           “Sementara kita pakai Nabila. Ya meskipun suaranya nggak begitu bagus yang penting bisa ke isi.”           “Begitu ya.”           “Ya sudah Lu cepat mandi, yang jelas kita bakal nemuin si Adi.”           “Oke deh gue mandi dulu.”           Usai mandi dan sarapan pagi, aku dan Angga mulai melaju menuju rumah Adi.           “Oh ya Vian, sekarang rumah Adi udah pindah loh.”           “Masa’, pindah ke mana emang, jauh nggak?” tanyaku.           “Lokasinya sih tetep di kampung yang sama, tapi untuk rumah yang ini mepet sawah.”           “Emmm, ya sudah buruan deh gue dah kangen sama Adi.”           Duduk bertiga di dalam gazebo sambil menikmati hangatnya matahari begitu terasa nyaman sekali. Setelah lima bulan tak bertemu, akhirnya kita bisa berbincang dan tertawa kembali di sini, semoga hari ini akan jadi hari yang indah. Namun pertemuan kali ini bukanlah pertemuan yang kudengar tentang kebahagiaan mereka, melainkan sebagai kesedihan atas retaknya grup Maximum usai kutinggal pergi. Angga dan Adi mulai menceritakan semuanya, dan tak sedikit pun mereka menutupinya, bahwa sesungguhnya sifat Yoga mulai berubah serta egois dalam mengemudikan grup ini.           “Dan yang jelas latihan kita mulai sedikit kacau semenjak kau nggak ada,” imbuh Adi.           Adi dan Angga telah menceritakan semuanya, kumerasa sangat pilu mendengarnya. Namunku tak tahu tahu harus bagaimana lagi, karena ku sama sekali belum menemukan jalan keluar agar grup ini bisa tetap berjalan. Tapi yang pasti, aku takkan tinggal diam begitu saja, secepatnya harus bisa mencari solusi.           “Lantas apa yang akan kamu lakukan Vian? Apakah kau punya ide?” tanya Adi.           “Entahlah, aku akan pikirkan lebih lanjut.”           “Hal ini nggak akan terjadi kalu misal Lu nggak mondok Vian.” imbuh Angga.           “Iya sih gue tahu, tapi semua ini kan juga bukan kemauan gue.”.           “Sudahlah, tak perlu merisaukan hal itu, yang pasti grup kita tetap berjalan kok. Gue yakin Vian nggak bakalan ada niat buat ninggalin kita, hanya saja sifat Yoga saja yang perlu untuk kita kelabuhi,” sahut Adi. ***           Ketika diriku sedang dalam posisi sendiri di kamar, kumulai memikirkan cara yang tepat, namun sepertinya juga tidak secepat ini. Hampir tiap pagi dan malam hari, tak henti-hentinya diriku memikirkan tentang hal ini. Rasa jenuh mulai terasa, sehingga kuluangkan waktu sejenak untuk membaca Al-Qur’an dan setelah itu menonton televisi. Tak sadar, tiba-tiba ada tayangan televisi yang menampilkan grup band The Rock dalam menyanyikan lagu terbarunya yang berjudul Munazat Cinta. Lagunya begitu enak di dengar dan menyentuh hati, membuatku terpikirkan akan sosok wanita di sana yang tak lain bernama Rahma.           Hampir setiap hari kumendengar lagu tersebut sampai terngiang-ngiang mulai dari pagi hingga menjelang tidur. Ketika waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam kumulai terbangun dari tidurku. Kupaksa untuk tidur kembali tapi rasa kantuk sudah hilang, sehingga kuluangkan waktu untuk keluar sejenak. Ku terduduk dan mulai memandangi bintang-bintang di langit, saat itulah ku terdiam sendiri. Diam-diam aku kembali memikirkannya, baik itu wajah maupun senyumnya yang manis, hingga hati kecilku pun mulai berkata, mungkinkah ini yang namanya jatuh cinta. Dan dalam kesendirian ini, kumulai bermunajat.           “Ya Allah, mungkinkah ini sebuah tanda bahwa aku telah dewasa? Haruskah diriku menaruh rasa untuknya sedangkan diriku masih belum sempurna. Jika memang dia adalah yang terbaik untukku maka dekatkanlah diriku kelak nanti.”           Tanpa banyak berpikir panjang, kunyatakan dalam hati ini bahwa aku telah jatuh cinta, ya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Bagaimana tidak jatuh cinta, ke mana pun aku pergi tak henti-hentinya bayangan wajahnya ada di pikiranku ini.           Hari pun akan terus berganti, dan entah kenapa rasa ini terus meninggi. Semua itu tak perlu kupertanyakan kembali, karena yang pasti hatiku sedang dalam posisi yang berbunga-bunga. Entahlah, hal seperti itu memang sangat wajar, yang terpenting jangan sampai perasaanku terbawa arus dengan cukup dalam, agar tak ada kekecewaan bila pada akhirnya nanti akan berbuah luka.           Matahari pun mulai terbit dari ufuk timur, kehangatan serta kesegaran kembali terasa. Kumulai menikmati secangkir kopi ditemani nyanyian burung-burung gereja yang mulai berkicau. Kuambil gitar dan mulai memainkannya, agar rasa jenuh dan bosan tidak lagi datang. Aku pun menyanyikan lagu persembahan dari The Rock yang berjudul Munazat Cinta, karena lagu ini telah menjadi sejarah bahwa aku telah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya seumur hidup.           “Hey Vian.” Panggil Angga yang tiba-tiba datang ke rumahku.           “Ehhh Lu ngga, tumben pagi-pagi udah datang ke sini.”           “Iya, gue saking pengen main aja. Oh ya lLu kapan yang mau balik ke pondok?” tanyanya.           “Waktu liburku tinggal sepuluh hari lagi Ngga.”           “Oh begitu ya, padahal gue masih pengen Lu lama-lama di sini.”           “Sabarlah, ntar awal tahun gue juga pasti kembali pulang kok. Memangnya kenapa?” tanyaku.           “Setidaknya gue pengen ngajak temen-temen latihan.”           “Oh ya.”           “Iya tapi tidak dengan Yoga, Lu tahu sendiri kan kalau sifatnya dia juga udah berubah.”           “Iya gue tahu, tapi sebenarnya nggak masalah sih. Semua ini kan demi agar kita bisa tetap menjaga skill kita.”           “Yakin tidak apa-apa meski kita hanya latihan bertiga?” tanya Angga kembali.           “Iya gue udah yakin, ya sudah berangkat sekarang yuk!” seruku.           “Oke ayo.”           Lalu aku dan Angga berangkat menuju studio Smurf, di mana di sana sudah ada Adi yang siap menunggu kedatangan kita. Tanpa ada banyak waktu dan obrolan, kita bertiga pun mulai masuk ke studio tersebut, syukurlah alat-alat musiknya masih lengkap dan enak saat dimainkan. Kali ini kita hanya latihan bertiga tanpa Yoga, karena kuyakin sepenuhnya bahwa dirinya masih kecewa atas kepergianku pada saat itu. Namunku tak merisaukan hal tersebut, semua ini hanya kuambil sebagai pelajaran bahwa menghargai setiap kehendak seseorang itu memang perlu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN