… Oktober, November, Desember 2007 …
Yang namanya boring di dalam pondok itu sudah pasti terjadi, apalagi jika sudah tidak ada kegiatan, alias jam kosong. Kebanyakan dari para santri ada yang mengisi waktunya untuk rebahan atau nyanyi-nyanyi di dalam kamar. Aku pun juga ingin rebahan, tapi tidak dalam waktu lama, cukup lima belas menit saja.
Sebenarnya aku dan teman-teman lagi ingin mendengarkan musik dan santai-santai, hanya saja kita semua nggak ada yang punya sound system, paling-paling kita cuma ada radio, tetapi tidak masalah, yang penting ada lagu yang bisa kita dengarkan.
“Yunus, radio kamu mana?” tanyaku.
“Wah, batreinya mau habis nih.”
“Payah kau ini.”
Entahlah, aku tak perlu banyak berpikir panjang, untuk mengusir rasa bosan ini, lebih baik aku bernyanyi saja sambil memukul lemari sebagai iringan musik.
“Malam ini, ku sendiri. Tak ada yang menemani, seperti malam-malam yang sudah-sudah …”
Satu lagu sudah terselesaikan, sekarang kuingin menyanyikan lagu yang kedua.
“Di daun yang ikut mengalir lembut, terbawa sungai ke ujung mata. Dan aku mulai takut terbawa cinta, menghirup rindu yang sesakkan d**a …”
Rupa-rupanya teman-teman mulai suka akan lagu yang telah kunyanyikan, dan sepertinya aku juga masih ingin menyanyi lagi.
“Wahhh mantepp banget Vian, lanjut-lanjut!” seru Imam.
“Iya nih, berasa punya sang penghibur, hehehe,” celetuk Yunus.
“Hmmm, oke deh aku lanjutin lagu selanjutnya.”
“Suatu kali kutemukan, bunga di tepi jalan. Siapa yang menanamnya, tak seorangpun mengira. Bunga di tepi jalan, alangkah indahnya, oh kasihan kan ku petik sebelum layu …”
Teman-teman di dalam kamar merasa sangat terhibur akan hal ini. Mereka sempat memintaku untuk menyanyikan lagu yang selanjutnya, hanya saja suara adzan Ashar mulai berkumandang sehingga kuharus menyudahi nyanyianku hari ini.
“Wahhh mantap Vian, besok lagi ya!” seru Yunus.
“Beres.”
“Emang Lu nggak capek.”
“Ya nggaklah, ini kan sudah menjadi hobi gue dari kecil.”
“Sippp, sukses selalu ya.”
“Aammiinn.”
Kita semua segera menuju masjid untuk menjalankan ibadah shalat Ashar. Sebentar lagi kita akan menjalani kegiatan selanjutnya, yaitu ngaji sore.
“Alhamdulillah semoga sore ini aku bisa melihat Rahma.” Batinku sambil sedikit tersenyum.
Dan aku mulai terduduk di teras depan kantor sekolah, sengaja diriku duduk di sini karena sejujurnya saja kuingin melihat sosok kehadiran Rahma yang akan menjalani kegiatan Diniyah di sore hari ini. Tak lama diriku terduduk, dan tak lama pula kumenanti. Sebuah harapan untuk bisa melihat bidadari cantik akhirnya telah terwujud. Rahma mulai terlihat dari kejauhan sambil membawa kitab kuning di dadanya. Wajahnya yang cantik, senyumnya yang manis, membuatku terpukau dalam diam.
“Ya Allah, begitu sempurnanya dia.” Batinku.
“Hei.” Panggil Irvan sambil memukul pundakku tiba-tiba.
“Ehhh Lu Van, ngagetin orang aja deh.”
“Lu ngapain di sini? Dari tadi gue perhatiin bengong aja.”
“Ahhh, Lu kayak nggak tahu aja sih gue lagi apa.”
“Emang Lu lagi apa?” tanyanya.
“Van, coba deh Lu lihat cewek itu.”
“Oh Rahma. Kenapa Lu suka ya?” tukasnya.
“Emmm, nggak juga sih. Gue cuma sedikit kagum aja.”
“Udah ngaku aja deh. Tenang aja, ntar bisa gue comblangin kok.”
“Ahhh ngaco amat Lu Van, nggak nggak.”
Saat malam tiba, dan semua kegiatan di pesantren telah selesai, para santri mulai menikmati waktu luangnya. Ada yang bermain bola di lapangan sekolah, ada yang ngopi dan ngeghibah di kafe, sementara aku dan teman-teman menikmati waktu di kamar sambil bernyanyi. Irvan mulai datang sambil membawa gitarnya, disusul dengan cak inul yang membawa ember sebagai perkusi, dan aku mulai berdiri sambil bernyanyi. Satu, dua hingga tiga lagu telah terselesaikan, semua teman-teman merasa terhibur sehingga aku akan menyanyikan lagu untuk selanjutnya.
Tak lama akan hal ini, tiba-tiba banyak santri yang mulai berkerumun, menyaksikan diriku yang sedang tampil di hadapan mereka. Tanpa sadar setelah tiga puluh menit berlalu, kamar ini mulai sesak karena dipenuhi para santri sebagai penonton setia. Tak terasa setelah satu jam, keringat pada tubuhku mulai deras dan tubuh mulai lelah. Segera kusudahi konser kita hari ini.
“Wah keren banget Lu Vian.” Ucap salah seorang santri kamar sebelah.
“Ahhh nggak biasa aja.”
“Besok bisa konser lagi yah.”
“Oke deh.”
Kita kembali berkumpul. Aku, Yunus, Imam, Irvan, dan cak Inul mulai terduduk di depan teras kamar. Yang pasti, kita akan membicarakan suatu rencana berkenaan dengan grup musik yang akan kita bangun.
“Jadi kesepakatan kita gimana nih?” tanya Imam.
“Ya sesuai dengan rencana yang kemarin gue omongin sama Lu mam, tentang pendirian grup band,” jawabku.
“Baik kalau begitu langsung gue tentuin ya untuk personilnya,” sahut Irvan.
“Oke deh.”
“Jadi aku sama Imam sebagai gitaris ya, gue melodi Imam rythem. Terus cak Inul drummer, Yunus pegang bass dan Vian sebagai vokalisnya, gimana?” tanya Irvan.
“Kayaknya itu udah cocok sih, perlu ditambahin pemain keyboard nggak?” tanyaku.
“Ahh gampang soal itu, lagipula kan kita belum nemuin personil yang bisa mainin keyboard.” Imbuh Irvan.
“Baik deh gue sepakat. Gimana dengan yang lain.”
“Oke siap,” jawab mereka serempak.
“Kalau begitu rencana selanjutnya kita buat nama terus buat kesepakatan latihan di studionya kapan,” imbuh Irvan.
Kesepakatan pun berhasil dibuat. Alhamdulillah aku bisa kembali membangun grup band di pesantren ini. Yang pasti, kekompakan harus terus dijaga, dan skill harus tetap dilatih, Insya Allah selama kita mau untuk berusaha, kesuksesan akan mudah untuk kita raih.
Waktu di pagi hari pun mulai tiba, saatnya mengikuti kegiatan rutin di sekolah. Jam pertama diisi oleh pak Joko dengan pelajaran Bahasa Inggris. Udah menjadi kebiasaan Irvan tiap kali ke sekolah selalu membawa gitar, karena setiap pagi dan di saat jam istirahat sekolah dia selalu melatih skilnya dalam bernyanyi dan bermain gitar.
Kring kring kring.
Jam istrirahat pun telah tiba ketika bel sekolah telah berbunyi dengan cukup nyaring. Seluruh anak-anak keluar kelas untuk menikmati waktunya sarapan pagi. Tiba-tiba Irvan memanggilku dan memintaku untuk datang ke kelasnya.
“Lu manggil gue ada apa Van?” tanyaku.
“Hahhh, kebetulan banget. Ayo nyanyi sebentar aja, selagi gue masih semangat mainin gitarnya.”
“Iya Vian, gue juga siap ngiringin musiknya,” sahut cak Inul.
“Oke deh,” jawabku.
Lalu aku mulai bernyanyi bersama mereka. Tak lama akan hal ini, para siswa mulai terhibur akan diri kita. Mungkin karena saking enaknya musik yang kita dendangkan, teman-teman mulai berdatangan dalam menyaksikan penampilan kita. Tiga bahkan sampai lima lagu telah ternyanyikan dengan baik, rasa lelah bahkan bosan sampai saat ini masih belum terasa, apalagi para penonton sudah mulai banyak yang menyaksikan penampilan kita.
Kring kring kring. Belum masuk ke lagu yang keenam, tiba-tiba bel telah berbunyi hal inilah yang membuat kita sebal, karena di saat asyik-asyiknya kita tampil pada akhirnya harus berhenti. Tidak masalah untuk saat ini, barangkali besok masih ada kesempatan lagi. Sebenarnya cukup banyak lagu-lagu pop Indonesia yang telah kuhafal, tetapi sayangnya banyak juga kuncinya yang lupa. Entahlah, semakin banyak belajar pasti suatu saat juga hafal juga apalagi sekarang juga banyak lagu-lagu baru.
“Nggak kebayang banget kalau penonton kita sebanyak ini, hehehe,” celetuk Irvan.
“Hmmm, Lu sih yang udah bikin kita begini.”
“Tapi Lu seneng kan? Apalagi banyak cewek-cewek cantik tadi, hahaha,” tukasnya.
“Van Van, dari dulu otak Lu pikirannya cewek-cewek cantik melulu.”
Tak apalahhhh, selagi bisa bikin kita semangat.”
Lalu kita kembali masuk ke kelas masing-masing. Jika dipikir-pikir, memang seru juga dari apa yang baru saja kita lakukan, baru sehari tampil, penonton sudah mulai membeludak. Tetapi, tak seharusnya diriku kegeer’an seperti ini, mungkin mereka hanya terpukau untuk sementara waktu, dan bisa jadi besok mereka juga merasa bosan.
“Wahhh Vian, aksi Lu keren banget tuh, kirain ramai ada apa ternyata Lu sama Irvan lagi duet, keren deh pokoknya.” Ucap Yunus saat diriku mulai duduk di sampingnya.
“Ahhh bisa aja, kayak gini udah biasa semenjak gue di SD.”
“Iya tapi untuk saat ini luar biasa banget, besok-besok gue ikut ngiringin lagu ya? Hehehe.”
“Emang Lu mau pegang apaan?”
“Pakai galon kan bisa buat perkusi.”
“Oke deh terserah Lu aja.”
Bisa di bilang, ini adalah konser pertamaku. Ya, walaupun hanya menggunakan alat sederhana, semoga nantinya kita bisa manggung dengan alat-alat yang sepantasnya. Di waktu ini juga, pelajaran Fisika akan berlangsung, jujur saja aku paling malas dengan pelajaran tersebut karena sangat membingungkan apalagi jika sudah berurusan dengan yang namanya rumus. Tetapi ya sudahlah jalani saja, yang penting bisa tetap belajar.
Saat pelajaran berlangsung, tanpa sadar diriku mulai melamun. Bahu kiriku mulai bersandar di tembok, pandangan mataku hanya mengarah ke arah jendela, dan di saat inilah ku hanya bisa membayangkan sosok Rahma terduduk di bawah pohon Cherri itu. Semakin aku memikirkannya, semakin besar pula rasaku untuknya. Meski kumenyadari bahwa dia takkan pernah peduli dengan perasaan ini, tak ada salahnya bila diriku harus menaruh hati untuknya.