Bab 5: Mengantar Paket

1049 Kata
Selama beberapa hari ini Grace sangat frustasi karena terus memikirkan Adrian yang kini tiba- tiba menjadi atasannya, meski satu minggu dia bekerja tak pernah bertatap muka bahkan bertemu lagi dengannya, namun Grace justru semakin gelisah mengingat Adrian yang bahkan tak pernah hilang dari kepalanya. Ini sangat tidak baik, jika terus begini Grace bisa saja menjadi tidak waras, dia harus segera melakukan sesuatu untuk melupakan si tua bangka menyebalkan itu. Bagaiman bisa pesonanya tak hilang, dan bagaimana bisa dia tak bisa lupa, apa pria tua itu memiliki kekuatan magic hingga dia terus saja terbayang wajahnya. Grace menghela nafasnya dia butuh hiburan, mungkin club bisa sedikit membuatnya lupa akan Adrian, jadi saat jam pulang kerja habis Grace memutuskan untuk menghubungi Clara dan mengajaknya pergi bersama. Namun, sayang saat ini Clara justru sedang sibuk dan tak bisa ikut bersamanya. "Maafkan aku, Darl. Aku tak bisa pergi, pekerjaanku banyak dan besok pagi- pagi aku harus pergi ke kantor." Grace menghela nafasnya lagi. "Okey, tak masalah, aku akan pergi sendiri." "Ada apa denganmu, kau punya masalah?" "Tidak," Grace masih enggan untuk bercerita, bagaimana jika Clara tahu jika dirinya tergila- gila pada pria tua, dia pasti akan mengejeknya habis- habisan "Aku hanya lelah dengan pekerjaan, jadi aku butuh hiburan." Clara terkekeh, "Baiklah, bersenang- senanglah, tapi jangan sampai kau kesiangan di pagi hari, jadi jangan berencana tidur diluar, saat kau selesai pulanglah, mengerti." Yang Clara tahu Grace belum terbiasa dengan dunia kerja, gadis itu yang dulu hanya bermanja dan menikmati uang pemberian ayahnya mungkin sedang terkejut sekarang karena baru tahu bekerja itu sangat melelahkan. "Ya." ... Club Malam ... Grace menggerakkan tubuhnya mengikuti irama musik di tengah- tengah para manusia yang juga sudah mulai hilang kewarasannya karena minuman yang mereka teguk sebelumnya, Grace sendiri dia tidak berencana mabuk jadi dia hanya minum satu gelas dan hanya menari, namun entah mengapa kepalanya justru mulai terasa pening sekarang, padahal biasanya dia kuat minum. Seorang pria mendekat dan tersenyum "Kau sendiri?" tanyanya dengan antusias "Ya," ucap Grace tersenyum menggoda Si pria tampan semakin mendekat dan merapat memeluk pinggang Grace dari belakang. "Bolehkah aku menemanimu." Grace berbalik dan mengalungkan kedua tangannya di leher Si pria tampan. "Tentu." Benar, mungkin saja jika Grace melakukannya dengan pria lain mungkin dia bisa menghapus bayangan Adrian dari kepalanya, lagipula sudah tiga minggu ini Grace tidak olah raga malam. Grace asik menggoyangkan tubuhnya dengan pria tampan yang semakin merapat ke arahnya tanpa menyadari seseorang memperhatikan tingkahnya dari kejauhan, meski cahaya remang namun mata tuanya masih jelas bisa melihat siapa wanita yang tengah menari dengan seorang pria di lantai dansa sana. Adrian berdecih. "Terimakasih Tuan Smith. Semoga semua berjalan lancar, bagaimana pun kita akan saling menguntungkan mulai sekarang." Rekan bisnis Adrian menjabat tangannya sebelum pergi keluar Club. Adrian sendiri memilih pergi namun sebelum itu sekali lagi dia menoleh dan melihat ke arah Grace yang masih asik dengan dunianya. "Harusnya aku tidak merasa bersalah." Adrian merenggangkan dasinya, kenapa tiba- tiba terasa panas. Grace mengerjapkan matanya dan berdecih, "Kenapa aku melihatnya dimana- mana, pria tua sialan." Grace mendorong pria tampan yang bahkan dia tak tahu namanya lalu pergi begitu saja. "Hey!" Grace vmelanjutkan langkahnya tak peduli dengan protes yang di layangkan oleh pria itu. Usahanya melupakan Adrian sia- sia, bahkan saat dia hendak mencium pria tampan itu dia malah melihat bayangan Adrian ada di sana, dan yang dia lihat tatapan Adrian begitu tajam seolah ingin menusuknya, tidak mungkin bukan dia ada di sana, jelas- jelas Adrian pergi ke Club berbeda dengan tempo hari. Untuk apa pria itu juga ada di sana? Grace harus memeriksakan dirinya, ini tidak baik untuk kesehatannya jika terus begini. Dia benar- benar akan gila. ... Keesokan harinya, Grace berlari terburu- buru menuruni tangga "Selamat pagi Mom." "Hey, ada apa denganmu!" Stefani memekik, merasa ngeri melihat sepatu hak tinggi yang di kenakan Grace, bagaimana jika putrinya itu jatuh menggelinding dari tangga, karena berlari begitu. "Aku terlambat, aku pergi dulu Mom." Grace mencium pipi Stefani lalu pergi ke luar rumah. Melihat itu Stefani hanya bisa menggeleng pelan. "Dasar ceroboh." Tiba di perusahaan Grace turun dari taksi dan berlari sambil merapikan rambut dan pakaiannya, berdiri di depan lift lalu menekan tombol. "Seharusnya aku membuat peraturan baru, tidak boleh terlambat dengan alasan pergi ke club." Adrian berdecih dan mendengus jijik. Grace menoleh dan tertegun, melihat Horison ada di sebelahnya tepatnya di depan lift eksekutif. Grace mengeryit mendengar perkataan Adrian barusan. "Apa dia menyindirku? tapi tunggu bagaimana dia tahu aku pergi ke klub." Adrian sudah pergi menggunakan lift khusus, sedangkan Grace masih mematung di tempatnya. Grace melihat sekitarnya "Tapi tidak ada orang lain disini," ucap Grace, tentu saja karena ini sudah jam masuk kantor. "Apakah aku tidak berhalusinasi semalam? dan dia tidak melupakanku." Tiba- tiba terbit senyuman di bibir Grace, jika benar Adrian tidak melupakannya bukankah ada kemungkinan pria itu juga mengingatnya. Satu minggu kemudian ... Grace menatap sekelilingnya, dia kini berdiri di lift tempat biasanya dia melihat Adrian. Namun sudah satu minggu sejak terakhir pria tua itu menyindirnya Grace tidak melihatnya lagi. "Sudah satu minggu kenapa aku tidak melihatnya, sial rasanya aku ingin bertemu bahkan hanya melihat wajahnya saja, Aku merindukannya, kenapa aku masih mengingat kejadian itu, bahkan ini hampir satu bulan." Grace menunduk lesu, memainkan kakinya dan menunggu lift terbuka. "Aku bahkan tak berselera melihat pria lain." beberapa kali Grace pergi ke Club, namun bukannya bersenang- senang dia malah semakin murung setelah dari sana, karena terus mengingat pertemuannya dan Adrian berawal dari Club malam. Grace mengangkat wajahnya saat mendengar percakapan antara resepsionis di meja sana, pintu lift yang terletak di dekat meja resepsionis membuat Grace bisa mendengar ucapan kedua wanita itu. Grace pun mendekat untuk menghampiri meja resepsionis. "Hanna ini untuk CEO, kita?" Grace menunjuk sebuah paket. "Ya, dan aku akan menghubungi sekertaris untuk mengambil." Mendengar itu senyum Grace timbul "Biar aku saja yang berikan, aku juga akan ke lantai 20." Tentu saja Grace berbohong, dia tak ada kepentingan sama sekali di lantai atas, tempat ruangan CEO mereka berada. "Benarkah? Jika begitu tolong berikan ini pada sekertaris agar bisa di berikan pada tuan Smith" Hanna memberikan kotak paket itu pada Grace. Grace tersenyum dan memeluk kotak paket yang akan mengantarnya bertemu Adrian si pria tua yang sudah membuat dunianya serasa jungkir balik "Baik aku akan memastikannya selamat sampai tujuan." Grace melangkah masuk ke dalam lift masih dengan senyum di wajahnya, berharap setelah melihat Adrian, perasaannya sedikit terobati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN