Aku berusaha nggak berkedip melihat sosok gelap di jendela rumah Erickson itu. Takutnya, kalau aku berkedip, sosok itu pindah ke kamarku seperti di film-film horor atau buku Stephen King.
Mataku panas. Aku nggak tahan lagi. Akhirnya aku berkedip. Kupejamkan sebentar mataku yang kering, lalu kubuka lagi. Sosok itu masih ada, berdiri nggak bergerak sama sekali. Apa itu patung? Nggak mungkin. Tadi sosok itu menggosok kaca jendela, kok. Jelas sekali. Kalau patung atau boneka kan nggak mungkin begitu. Apa itu robot pembersih? Keluarga Erickson itu aneh. Mereka punya koleksi yang sangat aneh. Jostein Erickson pernah membawa biawak hidup sebesar Archie saat diundang makan malam sama Drey. Mungkin saja kali ini dia punya mainan yang dipakai jadi robot pembersih kaca.
“Claire?”
Aku terlonjak kaget. Suara Mom pelan sekali, tapi cukup bikin kaget buat aku yang lagi tegang. Mom ikut melihat ke jendela tadi. “Ada apa?” tanya Mom.
“Tadi ada orang di situ. Dia menggosok jendela dengan pisau. Kayaknya… laki-laki.”
Mom menurunkan vertical blind biru tua dengan tombol di samping jendela. “Jangan buka jendela ini lagi. Mom akan menyuruh orang memeriksa rumah itu. Keluarga Erickson sudah pindah. Rumah itu seharusnya kosong.” Mom diam sebentar, lalu ngomong lagi, “Kalau bisa, habis mandi langsung masuk lemari[1] untuk ganti baju. Jangan keliaran di kamar pakai handuk begitu. Oke?”
Aku mengangguk.
“Boleh Mom ambil HP yang kamu pakai tadi?”
Kukembalikan HP yang ada di tempat tidurku. “Tadi Heath ke sini. Cuma mampir. Dia buru-buru kembali ke Stoneberg.”
Mom tersenyum. “Dasar pengantin baru!”
“Heath juga ngomong soal sekolah. Siapa yang mau sekolah? Archie?”
Mom kelihatan mengambil napas untuk mulai ngomong, tapi suara Archie melengking mengejutkan kami, “MOMMY! MOMMY!”
Kami sama-sama menoleh ke pintu. Archie berwajah memelas berjalan ke pintuku.
“Aku sudah menghadapi presentasi Daddy selama dua jam penuh. Sekarang aku masih harus ke pestanya Mel Zachary? Di mana keadilan? Aku merasa dieksploitasi.”
“Semua anak ke rumah Mel Zachary, Archie.”
“Itu Bar Mitzvah, Mommy.”
“Bukan, Archie. Bar Mitzvah-nya sudah tadi pagi. Ini cuma ulang tahun biasa.” Mom kelihatannya mulai lelah menghadapi Archie.
“Ingat kata Daddy, Syailendra nggak ikut-ikutan, Mommy. Kita harus jadi diri sendiri.”
“Tapi konteksnya nggak gitu, Ke acara ulang tahun teman itu bukan tren. Keluarga Zachary sudah mengundang kita dan kita harus datang.”
“Mereka mengundang kita karena tahu Drey punya status dan uang yang banyak,” selaku. “Seharusnya Drey sama Mom yang datang.”
Mom melotot. “Claire! Nggak semua orang begitu.”
Aku mengangkat bahu. “Kalau Drey miskin, aku yakin mereka nggak bakal peduli.”
“Kalau Drey miskin kita nggak akan tinggal di Beverly Hills, nggak punya whirlpool, juga drone. Setiap kelebihan selalu ada konsekuensinya, Sayang. Jangan sampai Drey yang ke sini dan bikin presentasi lagi tentang pentingnya bagi anak-anak bergaul.” Wajah Mom berubah jadi sedih. “Kalian nggak pengin jadi kayak Mommy, kan?”
Nah, ini yang bikin kami berdua kalah melawan Mom. Kalau Mom ngomel dan marah-marah, kami masih bisa membuat alasan untuk menjawab kalimatnya. Tapi, kalau Mom menatap kami dengan mata berkaca-kaca dan wajah sedih begini, kami cuma bisa menunduk dan menurut. Air mata Mom bisa bikin siapa saja ikut sedih.
Archie berjalan lemas menuju kamarnya. Sebelum Mom membuka mulut untuk memarahiku lagi, aku masuk ke lemari dan menutup pintunya pelan. Memang sudah takdir kami harus datang ke pesta ini.
Keluarga kami nggak pernah mengundang banyak orang untuk pesta. Kami merayakan pesta kami sendiri. Mulai dari pesta Hari Kebebasan Heath yang katanya menandai Heath sembuh entah dari penyakit apa, ulang tahun, hingga pesta pernikahan Glacie juga diadakan secara tertutup. Belakangan kudengar Kakek Rinto menasihati orang dewasa di rumah ini untuk mendorong anak-anak bersosialisasi.
Kami memang berbeda dengan anak-anak Karin dan Tundra yang ceria dan punya banyak teman. Ryn, anak tertua mereka yang masih sembilan tahun saja dicari teman-temannya terus kalau liburan ke sini. HP-nya sampai nggak berhenti berbunyi.
Bukan hanya social anxiety Mom yang membuat kami tertutup. Drey juga terlalu paranoid. Rumah kami dilengkapi kamera CCTV dan dijaga sama pasukan berbaju hitam. Mereka bersembunyi di beberapa titik di luar rumah kami. Bagaimana pun, mereka cuma manusia biasa, kok, bukan ninja. Kadang, aku dan Archie mngerjai mereka juga.
Heath dan Drey melatih kami bela diri dan memakai senjata. Archie sedang belajar anggar. Aku berlatih panahan, sama seperti Ryn dan Noah Rockwood[2]. Kata Drey, sangat penting melatih anak-anak bela diri karena kondisi terdesak itu bisa terjadi sejak dini.
“Aku hanya khawatir suatu hari kalian tidak punya siapa pun untuk membantu selain diri sendiri. Paling tidak, fisik kalian terjaga,” kata Drey setiap kutanya kenapa harus berlatih beladiri. Sayangnya, busur dan anak panah nggak bisa menyelamatkanku dari keharusan untuk bertemu anak menjengkelkan di pesta Mel Zachary itu. Jadi, aku memakai dress musim panas warna biru tua kombinasi putih selutut dengan outer lengan pendek warna putih juga. Kubayangkan nanti Archie makan cokelat atau makanan berwarna lain di pesta itu. Terus dia mengotori outer-ku. Ini bisa jadi alasan untuk pulang. Aku bisa menelepon Drey dari rumah Zachary untuk minta jemput.
Rencana yang bagus.
Satu jam kemudian, setelah jalan kaki sepuluh menit dan menghabiskan puluhan menit sisanya dengan makan kue yang terlalu manis, kami sudah duduk di pinggir ruang tengah yang sangat luas di rumah Mel Zachary. Anak-anak sedang memecahkan pinata[3] di taman dekat kolam renang. Orangtua Mel membeli pinata besar berbentuk keledai raksasa, cocok sekali untuk anaknya yang terlalu gendut untuk jadi anak manusia berumur tiga belas tahun. Waktu Mel memukulkan tongkat baseball dengan mata tertutup, aku khawatir banget dia memecahkan kepala anak lain di dekatnya.
“Apa sih masalah anak Amerika ini? Kenapa mereka suka berebut, sih?”
“Nggak cuma anak Amerika. Semua anak diajarkan untuk berebut. Mungkin menurut orang dewasa anak-anak terlihat lucu kalau berkelahi.”
“Dasar anak-anak! Mudah sekali diadu domba.” Archie ikut duduk di sebelahku dengan kaki terjulur. “Untung aku sudah enam tahun.”
“Mau taruhan?” ajakku saat Archie mulai menguap. “Anak yang pakai baju biru itu bakal membunuh semua anak di tempat ini biar dapat banyak permen.” Aku menunjuk ke anak baju biru di tengah kerumunan yang meraup permen banyak-banyak. “Rakus sekali.”
Archie mengeluarkan dua ratus dolar yang sudah digumpal. “Aku cuma punya ini.”
“Dari mana kamu dapat uang itu?”
Archie sudah mendapat peringatan sejak umur dua tahun untuk nggak main uang lagi.
“Aku membereskan sampah di studio Dad. Aku sudah tanya Mom. Katanya aku boleh simpan dua lembar.”
Drey itu seniman yang membingungkan. Dia sering membuat eksperimen di studionya. Kata Mom, Drey lebih suka melukis dan bermusik daripada menjalankan bisnisnya. Makanya, Drey mempekerjakan Heath biar dia bisa bersantai di rumah
Baru aku berpaling, anak berbaju biru yang kujadikan bahan taruhan terpeleset dan jatuh. Bagian belakang kepalanya menabrak lantai dengan keras, sekeras tangisannya.
“Kasihan,” kataku tanpa iba.
“Aku menang,” kata Archie sambil menyodorkan tangan, meminta uang di tanganku. Setelah menghitung uang di tanganku, dia mendengus. “Kamu cuma kasih dua puluh dolar?”
“Sejak kapan ayahmu kasih kita uang? Nanti deh kupunguti sampah Drey biar kaya.”
“Hai!” sapa anak cewek yang mungkin seumuran Archie walau lebih tinggi.
Dia seperti boneka dengan bibir merah dan wajah bulat. Rambut cokelat terangnya lurus dengan poni yang seperti dipotong pakai penggaris. Matanya biru bulat dengan bagian tepi iris berwarna gelap itu dihiasi bulu mata panjang. Gaun pink-nya lembut. Sepatu Mary Jane-nya cocok sekali dengan kaus kaki putih berenda pink yang sangat girly. Kalau mom lihat, mungkin dia bakal diawetkan dan dipajang di tempat tidur.
“Kalian pacaran?” tanya anak yang mungkin seumuran Archie. Suaranya nggak secempreng Rosie dan Mila.
Oh, ya. Demi kalian, aku akan menuliskan semua percakapan dalam bahasa Indonesia saja. Ini akan lebih mudah.
“Dia adikku,” kataku datar. “Anak enam tahun nggak boleh pacaran.”
“Kalau begitu, aku boleh kenalan denganmu?” Dia mengulurkan tangan pada Archie.
Archie mengerutkan kening seperti ayahnya. Aku pengin banget bilang kalau dia sok tua, tapi Drey bilang nggak baik mempermalukan orang di depan umum.
“Aku Archie.” Tapi dia nggak menyambut uluran tangan cewek itu.
“Nama belakangmu?” tanya anak itu nggak puas.
“Kata ayahku, anak kecil sebaiknya memperkenalkan diri dengan nama depan.”
“Tapi, aku perlu tahu nama belakangmu untuk tahu di mana rumahmu dan nomor teleponmu di buku telepon.”
“Namaku nggak ada di buku telepon. Nama ayahku yang ada di buku telepon.”
“Kenapa?”
“Ayahku nggak suka namanya dipublikasikan.”
“Publikasikan itu apa?”
Archie melihat padaku, meminta bantuan. Sebagai saudara yang baik, aku menjawab, “Publikasikan itu seperti... uhm... kamu menceritakan tentang dirimu ke semua orang agar terkenal.”
“Semua orang suka terkenal. Ayahku produser film. Banyak cewek yang pengin terkenal dan jadi bintang film.”
Archie menggeleng. “Kami tidak. Kami lebih suka ketenangan.”
“Ayahmu p**************a?”
“Bukan. Ayahku pelukis dan pemusik.”
“Ayahmu kerja di Hollywood?”
“Ayahku kerja di studionya.”
“Kamu tinggal di Beverly Hills juga?”
“Aku jalan kaki ke sini.”
“Nggak punya mobil?”
“Ayahku bilang jalan kaki baik untuk kami dan pamer mobil itu kerjaan orang udik.”
“Ayahmu jahat?”
“Sebenarnya, siapa sih kamu? Apa kamu orang pemerintah yang suka tanya-tanya anak kecil berdarah campuran?”
Anak itu cemberut. “Kamu bukan orang Amerika asli?”
“Orang Amerika asli itu suku Indian. Kamu juga bukan orang Amerika asli.”
Anak itu kelihatan mau menangis. Aku kasihan, sih. Tapi, melihat gaya anak itu yang agak sombong, kurasa dia memang butuh pelajaran.
Archie menghela napas panjang. “Aku lagi nggak mood untuk ngobrol sama cewek. Kamu bisa menunggu sampai mood-ku kembali atau menyerah saja. Aku agak susah dikendalikan.” Dia nengangkat bahu. “Paling nggak, itu yang dibilang guru privatku yang sudah menyerah mengajariku.”
“Kamu nggak sekolah?”
“Kalau Claire nggak sekolah, aku juga nggak mau sekolah.”
Aku memutar mata. “Kapan sih kamu punya prinsip sendiri?”
“Kamu kakakku, Claire. Adik selalu mengikuti apa yang dilakukan kakaknya.”
“Kenapa kamu nggak sekolah?” Anak itu nggak menyerah. “Kamu bodoh?”
Aku memicingkan mata padanya. “Aku homeschooling, Poni Rata.”
“Claire, kata Mom kamu nggak boleh mengolok kekurangan anak lain.” Archie berdecak. “Nanti aku ngadu.”
“Aku capek mendengarnya tanya terus. Memangnya dia siapa? Seharusnya dia ke sini dan memperkenalkan diri, bukannya tanya-tanya terus seperti kepala sekolah.”
Anak itu terlihat tersinggung. “Padahal aku cuma mau berteman.”
“Tuh banyak teman,” kataku sambil menunjuk kerumunan anak dengan dagu.
Dia menarik napas dalam-dalam. “Mereka anak-anak. Aku nggak suka.”
“Memang berapa umurmu?” tanyaku setelah melihat Archie memutar mata. Dia memang paling sebal dengan anak cewek yang cengeng.
“Bulan depan aku ulang tahun keenam.”
“Sama dengannya,” kataku menelengkan kepala pada Archie.
“Kalau begitu, kamu mau menjadi pacarku?”
Archie menaikkan alis. “Aku lagi nggak mau terikat hubungan apa pun sekarang. Sebaiknya kamu mundur saja. Aku bisa bikin kamu menangis terus nanti.” Dia berdiri. “Aku juga lagi nggak suka lihat drama. Aku mau ke sana dan pura-pura jadi anak kecil yang berebut permen murah. Jangan ikuti aku kalau kamu nggak mau kubuat nangis.”
Anak cewek itu menangis lagi waktu Archie pergi. Kurasa hanya mengunggu waktu untuk melihatnya menjerit.
“Apa dia memang sedingin itu?” Tanya anak itu sambil menghapus pipinya yang basah.
Aku mengangkat bahu. “Aku juga jengkel kok sama kamu. Seharusnya kamu nggak tanya-tanya begitu.”
Dia menarik bibir ke bawah dan akhirnya benar-benar menjerit seperti dugaanku. Dia berlari ke tempat duduk ibu-ibu. Salah seorang ibu menatapku dengan kesal. Ibu-ibu lain mulai menataoku dan beberapa menunjukku. Pasti mereka mulai bergunjing. Mungkin dia pikir aku anak besar yang suka mengganggu anak kecil.
Orang dewasa memang begitu. Mereka suka menuduh anak kecil. Aku jadi makin nggak betah. Daripada terus sakit hati, kuseret Archie pulang.
“Kalau cepat pulang nanti kita kena marah,” protesnya.
“Mereka bakal cuma mengeluh kita harus bersosialisasi. Kalau kamu minta maaf sambil membelalakkan mata bulatmu itu, mereka akan kehilangan niat untuk marah.”
Archie nggak melawan. Dia berlari kecil menyusulku yang berjalan lebih cepat. Kakinya yang pendek bikin dia kesusahan mengikutiku. Archie memang lebih pendek dari umurnya. Dibandingkan anak cewek tadi saja Archie kalah jauh. Tubuhnya masih mirip balita. Drey bilang dia dulu juga begitu, kecil dan kurus. Sekarang tinggi Drey 185 cm, sama dengan Heath dan Dave. Menurut dokter juga nggak ada yang patut dikhawatirkan.
“Kamu nggak mau kugendong?” tawarku melihat wajah Archie yang merah.
Dia menggeleng. “Seharusnya, laki-laki yang menggendong perempuan.”
“Itu kalau ayahmu. Kamu kan masih kecil sekali.”
“Tetap saja. Itu melukai harga diriku.”
“Terserah. Aku sih mau saja menukar harga diriku kalau ada yang mau menggendongku sampai rumah,” kataku dengan napas tersengal.
“Kamu mau beli es krim di sana?” Aku menunjuk blok yang berseberangan dengan blok rumah kami. “Kita butuh es krim taro dengan topping cokelat dan almond[4].”
Anak itu mengangguk. “Aku yang traktir,” katanya bangga.
Setelah berjalan pelan mengikuti langkah siput Archie, kami sampai juga di toko es krim itu. Archie bersenandung ceria sambil mengatakan dia bakal memesan dua scope es krim taro. Tapi, waktu sampai di depan toko, kami dihalangi empat anak cowok bergaya preman. Umur mereka sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Salah satu di antara mereka sudah berjerawat dan yang lain memakai kawat gigi dengan rambut terlalu berminyak. Kelihatannya mereka bukan termasuk anak orang kaya. Semua anak orang kaya berada di rumah Mel Zachary dengan baju bagus, bukan kaus biasa seperti mereka.
Mereka melihat kami dari atas hingga bawah, lalu tertawa.
“Minggir!” seruku tegas. Kata Heath, anak-anak yang suka mem-bully itu merasa diri mereka lebih hebat dari anak lain. Makanya mereka menyerang anak yang terlihat lebih lemah. Cara melawan mereka dengan bersikap tegas.
“Pacarmu sependek itu?” kata salah satu anak yang kelihatannya pemimpin mereka. “Lebih baik tidak dilahirkan daripada punya kaki sependek itu.”
“Kamu pasti sependek itu kalau masih enam tahun,” jawabku berusaha terdengar ketus. Tapi, mereka malah tertawa keras.
“Adikku yang empat tahun jauh lebih tinggi dari anak ini,” kata Anak berjerawat.
Pemimpin mereka mencibir. “Dwarf!”
Seorang laki-laki mendekati pintu toko. Mereka menyingkir untuk memberi jalan pada laki-laki itu. Kami menggunakan kesempatan ini untuk ikut masuk ke toko itu.
Archie mengepalkan tangan. Aku juga mengeratkan gandengan, berusaha menenangkannya.
Archie memang pemberani. Walau terlihat manja, dia punya nyali untuk melawan siapa saja, bahkan anjing liar di Bjork Hill. Tapi, melawan empat anak besar bukan masalah kecil.
“Kamu mau apa?” tanyaku di depan counter.
Dia mengangkat bahu. Seperti biasa, dia ngambek.
“Nggak usah hiraukan mereka. Mereka itu nggak punya tata krama. Mom udah pernah bilang untuk nggak merendahkan level demi orang seperti mereka, kan?”
Archie masih diam saja. Aku langsung memesankan untuknya. “Dua mangkok masing-masing dua scope es krim taro topping cokelat dan almond,” kataku cepat pada cewek penjaga kasir.
Anak-anak nakal itu masih mengolok-olok Archie di luar jendela toko. Mereka menunjuk ke lantai dan pura-pura menginjak sesuatu tak terlihat di situ. Archie menunduk dengan tangan terkepal. Wajah merahnya terlihat seperti mau meledak.
Dave pernah mengajariku bagaimana membuat malu orang yang memperlakukanku dengan buruk. Waktu kami jalan-jalan, ada anak cewek yang mengejek jaketku. Mereka bilang aku sok ikut-ikutan Ariana Grande dengan memakai jaket kebesaran. Padahal, itu jaket Dad. Dave tersenyum pada cewek-cewek itu dan memberi mereka sekotak kue. “Apa kalian mau ikut belanja dengan kami? Aku ingin membelikan gadisku ini sweater pink seperti milik Ariana Grande. Kalian mau?”
Dave benar-benar membelikan tiga cewek itu sweater pink yang lucu. Cewek-cewek itu jadi malu sendiri. Kata Dave, “Membalas orang dengan kebaikan nggak ada salahnya, kok.”
Sekarang, karena aku nggak punya senjata selain uang dua ratus dolar. Jadi, aku akan mengikuti apa yang dilakukan Dave.
Setelah membeli empat es krim, aku keluar dan menghadapi mereka. Pimpinannya itu menatapku dengan ekspresi terkejut. Mungkin dipikirnya aku mau menghajarnya.
“Adikku membelikan empat es krim ini buat kalian.” Kuulurkan kotak besar es krim padanya. Cowok itu melihat teman-temannya dengan bingung. Beberapa di antara mereka menjilat bibir, ngiler sama es krimku.
“Terserah,” kata anak cowok yang dari tadi sudah terus-terus menjilat bibir. Dia mengambil satu mangkuk es krim dan memakannya dengan lahap. Anak-anak lain ikut mengambil es krimku. Tinggal bos gengnya yang masih menatapku malu-malu. Kupegang tangan cowok itu dan kupaksa menerima es krimku.
“Kamu bukan temanku,” katanya tanpa melihatku.
“Memang,” kataku tegas.
Aku kembali pada Archie di dalam toko. Anak itu menatapku kesal.
“Apa sih yang kamu lakukan?”
“Aku mengikuti nasihat Dave untuk lebih banyak punya teman daripada musuh.”
Dia menunduk, menusuk-nusuk es krimnya dengan sendok. “Om Dave bilang begitu?”
Aku mengangguk. Lalu, kami makan es krim sambil main uno stalk punya pemilik toko. Setelah menghabiskan dua mangkuk es krim dan Archie kalah main, kami pulang. Anak-anak nakal itu diam saja, membiarkan kami lewat.
Archie menoleh padaku sambil tersenyum. “Kamu keren, Claire.”
Aku cuma membalasnya dengan senyum bangga dan menaikkan kerah dress-ku, seperti gaya Adam Rockwood, teman Drey. “Makanya, aku jadi kakak,” kataku sebelum kami melangkah ringan menuju rumah.
Matahari senja musim panas tepat berada di belakang kami saat kami berjalan pulang. Archie yang tengkuknya sensitif menaikkan kerah kemejanya. Jangan harap mendengar keluhan dari mulutnya. Sejak melihat Heath menjahit kakinya sendiri yang sobek saat menyelamatkan sapi di Stoneberg. Heath sama sekali nggak mengeluh. Katanya, begitulah seharusnya lelaki, nggak mudah mengeluh dengan rasa sakit.
Waktu sampai rumah, pintu depan terbuka sedikit. Ini aneh. Orang di rumah ini tahu kalau pintu depan harus selalu tertutup kecuali ada kejadian darurat. Kali ini, rumah terbuka sedikit. Kuseret Archie biar berjalan di belakangku. Mulanya dia terlihat tersinggung, setelah aku melotot, dia menurut.
Pelan, aku mengajaknya menyusupkan tubuh melewati pintu tanpa menggerakkan pintu kayu besar itu. Di dalam ruang tamu ada cowok dengan jaket bertudung warna abu-abu gelap. Aku nggak mungkin salah. Cowok itu yang kulihat di rumah Erickson. Aku menelan ludah. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku memang sering berlatih jiu jitsu, tapi nggak pernah berhadapan dengan penjahat sungguhan. Gimana kalau dia punya senjata? Gimana kalau kemampuannya melebihi aku? Gimana kalau dia psikopat?
Kudorong Archie sampai menempel di sudut ruangan. Kali ini memang cuma aku yang bisa melindunginya.
Kutarik napas panjang, memompakan kekuatan pada diri sendiri. Kukepalkan tangan, berusaha mencapai ketenangan yang diajarkan Drey dan Heath Pelan, aku mendekati orang itu. Dia juga berbalik. Dengan cepat, kutarik tangannya dan kubanting tubuhnya ke lantai. Sebelum dia mengaduh, kupuntir tangannya. Jerit kesakitan keluar dari mulutnya.
Mati kau!
***