3. Broken Childhood

3350 Kata
Cowok itu berteriak lagi waktu kuinjak punggungnya. “MISS CLAIRE!” Juanita berteriak. Wajahnya terkejut dan khawatir sekaligus. “Dia tamu Mr. Syailendra.” Tamu? “Mr. Syailendra mengantar ibu dan adiknya ke rumah sakit. Mereka menabrak pagar pembatas. Mobil mereka baru saja diderek. By God, lepaskan anak itu, Miss Claire.” Pelan, kulepaskan tangan cowok itu. “Sorry,” kataku pelan. “Oh, God! My poor little Archie! Lihat dia ketakutan sampai mengompol. Ke marilah, Nak. Aku akan membawamu ke kamar mandi.” Juanita menggendong Archie yang baru saja kehilangan harga diri. Anak itu menyembunyikan wajah ke balik bahu Juanita, sepertinya dia akan terus menangis sampai malam. Cowok itu bergerak pelan, melepas hoodie di kepalanya dan duduk merapat pada dinding. Dia memijat bahu dan melihatku dengan tatapan kesal. “Apa masalahmu?” suaranya serak. Dia berdeham beberapa kali, kelihatannya punya masalah dengan tenggorokan. “Sorry. Kukira kamu pencuri. Aku melihatmu di rumah Erickson.” Matanya biru muda nyaris kelabu, kecil--agak lebih besar dari mata Heath, tapi nggak sebulat mata Drey, tulang pipinya tinggi, bibirnya merah kering dengan bagian bawah yang lebih tebal daru bagian atas, kulitnya kecokelatan terbakar matahari--warna kulitnya lebih pucat di bawah lingkar kerah kausnya. Dia mengerutkan alis tebal yang sewarna dengan rambut cokelatnya. “Aku tidak pernah bertemu cewek sekuatmu.” Dia membuka jaket dan memperbaiki kaus putih kusutnya. Lengannya berotot walau nggak sebesar Heath. “Orang suruhan ayahmu juga hampir menembak kepalaku tadi. Ada apa dengan kalian?” gerutunya. “Aku kan sudah minta maaf,” kataku dengan rasa bersalah sungguhan. “Kenapa kamu pakai jaket dengan hoodiedi hari sepanas ini?” “Urusanku, kan?” Dia menatapku kesal. Sebelah tangannya masih memijat bahu yang kupuntir tadi, kelihatannya benar-benar sakit. Setelah memijat lehernya juga, cowok itu mengeluarkan napas panjang. “Kamu punya tenaga laki-laki.” Itu pujian. “Aku sudah dilatih.” Aku sudah berusaha nggak terdengar terlalu riang, tapi tetap saja ada kebanggaan dalam kalimatku itu. Aku mengulurkan tangan. “Aku benar-benar menyesal. Aku Claire Johansson.” Dia mengangkat bahu dan menyambut tanganku. “Caleb Stephenson.” Kali ini aku bisa merasakan tangannya lebih panas dan berkeringat. Tadi, aku nggak fokus sama suhu tubuhnya. Aku menghajar cowok yang lagi demam. “Kamu sakit apa?” tanyaku pelan, berusaha terdengar benar-benar meeasa bersalah. “Tonsilitis,” jawabnya pelan. “Seharusnya aku istirahat, tapi...,” dia menarik napas dalam-dalam, “aku harus menemani ibuku yang menyetir sambil mabuk.” Aku diam saja. Setelah menimbang pertanyaan selanjutnya, kuputuskan untuk bertanya, “Kamu belum bisa menyetir?” Dia mengangkat bahu. “Aku belum punya SIM.” Setelah menggerakkan bahu ke belakang, dia berkata lagi, “Rasanya seperti pecundang, ya? Tujuh belas tahun tanpa SIM. Aku cuma bisa menonton ibuku hampir membunuh kami semua.” “Aku tidak berpikir seperti itu,” kataku jujur. “Great.” Dia menekuk kaki dan menumpukan tangan di lutut. “Mr. Syailendra… ayahmu berkata akan sulit berbicara denganmu.” Dia menarik bibir sampai mendatar. “Drey bukan ayahku. Aku diadopsi. Dia lebih suka dipanggil Drey.” Dia memegangi lutut dan tersenyum sendiri. “Yang kulihat di jendela tadi kamarmu?” Aku mengangguk. “Aku benar-benar berpikir kamu penjahat.” “Kamu terlalu banyak menonton film horor.” “Aku lebih sering membaca buku.” Dia mengucapkan ‘wow!’ tanpa suara sambil tersenyum. Aku mengalihkan pandangan ke pintu yang terbuka separuh, memperhatikan rumput di halaman depan yang disiram sprinkler. Aku suka pemandangan ini. Setiap sprinkler disinari lampu kuning, membuat warna air yang menyembur jadi berwarna indah. Kata Mom, itu cara Drey mewujudkan fantasi dari buku Rooftop Buddies saat Bree dan Rie melihat tarian hujan. “Apa aku boleh ke WC? Dari tadi aku ingin kencing,” katanya tiba-tiba. “Kenapa tidak bilang?” komentarku sebelum berdiri untuk mengantarnya ke WC tamu di bagian depan rumah. WC itu memiliki pintu kayu yang warnanya sama dengan warna wallpaper-nya. Orang baru nggak bakal tahu kalau di situ ada WC. Rumah ini terdiri dari dua rumah yang terlihat terpisah. Rumah di bagian bawah terdiri dari dua lantai berbentuk U yang mengelilingi kolam renang dangkal. Rumah kedua yang dihubungkan dengan lorong dan tangga satu level lebih tinggi dari rumah ini, berbentuk L terbalik yang juga mengelilingi kolam renang dalam. Kolam renang kedua itu salah satu sisinya terbuat dari kaca tebal yang menjadi dinding di ruang keluarga lantai satu. Saat lampu dimatikan, cahaya biru dari kolam renang itu menyinari ruangan, menciptakan aura magis yang menenangkan. Orang dewasa sering memakai kolam itu untuk pacaran kalau malam. Kutinggalkan Caleb karena sudah lapar sekali. Archie nggak keluar kamar. Mungkin dia langsung tidur karena capek jalan kaki. Jadi, sepertinya aku harus makan sendirian. Aku membuat dua roasted french dan menggoreng dua burger beku. Ada suara benda jatuh dan pecah. Itu pasti vas pajangan dinasti Ming yang diletakkan mom di koridor. Sudah kubilang jangan meletakkan benda seperti itu di tempat orang berlalu lalang karena ini rumah, bukan galeri pameran. Tapi, Drey kayaknya memang pengin menghamburkan uang. “Halo! Claire? Aku tersesat. Apa ada peta buat rumah ini?” teriak Caleb. Aku membalas teriakannya, “Di sebelah kirimu! Lurus saja sampai melihat ruangan yang mirip dapur.” Dia tersenyum kikuk, “Aku memecahkan vas Drey. Aku harus ganti berapa?” “Lupakan! Vas itu harganya sama dengan empat Ferrari. Jadi b***k seumur hidup pun kamu tidak akan sanggup menggantinya.” “f**k me! Astaga! Maaf. Aku—” “Tidak apa-apa. Aku sering mendengar laki-laki mengumpat di sini. Asal jangan mengumpat di depan Mom. Dia bisa menyetrika mulutmu.” Caleb memasukkan tangan ke kantong celana jins. “Rumahmu sangat luas dan sepi.” “Pekerja tinggal di bagian lain rumah. Cuma Juanita yang tinggal di dalam rumah.” Aku memberinya piring dan meletakkan roasted french untuk Caleb. “Lapar?” “Thanks. Kenapa harus ada vas di tengah jalan?” Dia menganggigit roti itu banyak-banyak. Kelihatannya dia kelaparan sungguhan. “Jebakan mungkin,” kataku sambil menggigit roti dan mengangkat burger dari wajan ke piring Caleb. “Sudah empat kali vas itu pecah. Drey selalu membeli yang baru untuk menggantikan vas itu.” “Dengan harga setara empat Ferrari?” “Kamu tidak tahu seberapa mahal kecintaan Drey pada benda seni. Lebih baik dia membakar rumah ini daripada memajang barang palsu. Mom yang menyuruhnya meletakkan di situ.” Aku duduk dan menggigiti roti. “Bucin.” “What? Bu-cin? Bahasa Cina?” “Dalam bahasa Indonesia itu akronim dari b***k cinta. slave of love. Di rumah ini semua orang dewasa begitu. Setelah jam tidur, sebaiknya jangan ke luar kamar atau matamu akan terkotori adegan percintaan sial mereka.” Dia tertawa lagi. “Kamu berkeliaran? Untuk apa?” “Melukis di studio Drey.” “Lukisan di depan itu milikmu?” Aku menggeleng. Setelah menelan burger, baru kujawab, “Bukan. Itu milik Drey. Dia hebat sekali.” “Lalu, milikmu?” “Di gudang.” “Kenapa di gudang?” “Lukisanku buruk.” “Boleh aku lihat?” “Kamu juga suka melukis?” Dia menggeleng. “Kalau begitu kamu tidak bisa menilai lukisan. Kamu pasti hanya akan mengatakan sesuatu untuk menghiburku. Dalam hati, kamu hanya akan mengatakan kalau aku cuma buang-buang waktu membuat coretan sampah.” “Itu hanya prasangkamu.” “Memang begitu. Manusia itu sama.” “Lalu, bagaimana denganmu? Kamu manusia, kan? Kamu juga sama dengan mereka?” Aku diam saja. Kutusuk-tusuk burgerku dengan kesal. Cowok ini siapa sih? Anak orang kaya yang sok pintar? “Kalau semua orang terlihat buruk, coba kamu periksakan matamu. Mungkin saja kacamatamu yang perlu diganti,” katanya lagi. Aku mendongak. Dia sedang memasukkan potongan besar burger ke mulut sambil memandangiku. Mata kelabunya terlihat jenaka. Sepertinya dia belum pernah melihat hal buruk dalam hidupnya. Mungkin dia satu spesies dengan Dave yang bisa manis dan bermanja pada siapa saja, bahkan dengan orang yang seharusnya menjadi rivalnya. Ada suara teriakan u*****n Drey. Caleb buru-buru menghabiskan burger-nya dan minum banyak-banyak, bersiap meminta maaf. Terlambat, Drey lebih dulu menampakkan wajah di pintu dapur. Mulanya, dia terlihat kesal, lalu wajahnya berubah lunak. “Hai, Drey! Mau burger?” tanyaku tanpa sungguh-sungguh menawarinya. Aku cuma membuat dua burger. Dia bisa memasak sendiri kalau mau. “Mr. Syailendra. Uhm… Drey.” Caleb mengangguk sopan dengan ekspresi nggak enak. “Claire membuatkanku makan malam.” Setelah mengamati kami dengan tangan terlipat di d**a dan punggung bersandar di dinding. “Ada yang bisa menjelaskan siapa yang menghancurkan vas kesayanganku?” Aku menunjuk Caleb dengan garpu. Mom sudah bilang ini nggak sopan, tapi Drey nggak pernah mempermasalahkan kesopanan kalau nggak ada istrinya. “Maafkan aku, Mr. Syailendra. Aku akan mengganti vas itu. Aku mungkin akan--” “Son, begini.” Drey duduk di kursi sebelah Caleb. “Ibumu mendapat lima jahitan di kepala dan adikmu masih trauma. Bagaimana mungkin kamu menyusahkan mereka dengan meminta uang untuk mengganti vas itu? Harga mobil ibumu saja tidak bisa menyamai harga vasku.” Dia diam, terlihat mengamati Caleb yang menunduk. Ini cara Drey membuat lawan bicaranya jadi merasa sangat bersalah. Cara ini selalu berhasil padaku dan Archie. “Aku akan bertanggung jawab, Sir.” “Sungguh?” “Ya, Sir.” “Bagaimana kalau kamu bekerja?” Dengan gaya menyebalkan dia mengusap dagu. “Aku kesulitan mencari teman untuk Claire dan Archie. Apa kamu mau menjadi temannya?” Aku melotot selebar yang kubisa. “Bukan hanya teman.” Drey menoleh padaku seolah aku nggak melotot padanya. “Aku ingin kamu mengajarkan Claire bagaimana kehidupan remaja. Yah, kamu tahu, Claire homeschooling. Mungkin dia akan bingung dengan kondisi sekolahnya nanti.” Caleb melihatku. “Bagaimana kalau Claire tidak setuju, Sir?” “Aku memang tidak setuju.” Aku melempar garpu ke piring. “Suruh saja dia membersihkan WC dengan sikat gigi Archie. Aku tidak peduli. Jangan bawa-bawa aku.” Drey tersenyum padaku. “Sorry, Claire. Aku pemimpin di sini. Aku yang menentukan banyak hal, termasuk dirimu.” Ah! Sialan! “Apa sih maumu, Drey?!” Gila! Masa dia membayar orang untuk jadi temanku? Menyedihkan sekali! Aku baru mau lari ke kamar saat Mom menggandeng anak perempuan dengan mata biru dan poni rata. Tentu saja aku langsung mengenali anak yang nembak Archie tadi. “Coba lihat, ada tamu yang cantik. Seraphine, ini Claire dan Claire, ini Serpahine. Dia adik Caleb. Mereka akan bermalam di sini. Kami sudah mendapat izin dari ibumu, Cal. Kamu sudah makan? Kami sudah makan di perjalanan pulang tadi.” Mom terlihat ceria, membuka kulkas dan mengambil yogurt dan beberapa kue untuk Seraphine. Aku berbalik pada Caleb. “Aku bertemu adikmu di pesta Mel Zachary. Kapan kalian kecelakaan?” “Setelah kamu membuatku menangis, aku pulang. Setelah menjemput Cal, mobil kami menabrak pembatas rumahmu.” Suara anak itu terdengar tenang, walau nadanya lebih pelan dari waktu di pesta. Dia menghabiskan yogurt dalam beberapa suapan besar. “Kalian membuat dia menangis?” Drey mengangkat alis. Aku mengangkat bahu. “Dia mau jadi pacar Archie, tapi Archie menolak.” Mom menepuk dahi. “Kalian ini sebenarnya kenapa, sih? Waktu seumur kalian, yang ada di kepalaku cuma makanan.” Drey tertawa dan merangkul Mom. “Habiskan makanan kalian. Lalu… Claire, tolong antarkan Caleb dan adiknya ke kamar tamu di lantai dua. Pekerja sudah menyiapkan kamar di sana. Selamat malam, Cal, Seraphine.” Mom menunduk untuk mencium kepala Seraphine dan pipiku sebelum ke luar. “Jaga matamu!” kataku pada Caleb yang memperhatikan mereka. “Ini jam dewasa.” Dia tersenyum malu-malu. “Mereka pasangan romantis.” “Sangat romantis sampai kadang membuatku mual.” “Sungguh?” Dia tertawa. “Tidak ada keromantisan yang membuat mual.” “Tunggu sampai kamu melihat mereka selama beberapa hari.” “Aku tahu kenapa kamu sinis,” kata Seraphine pelan. “Kamu iri. Kamu ingin merasakan jatuh cinta juga.” “Argh! Selesaikan makan kalian. Aku sudah mengantuk,” kataku sebelum membawa piring kotor ke mesin pencuci piring. Aku menunggu mereka makan sambil membaca Maya dari Jostein Gaarder. Sesekali, kulihat Caleb memperhatikanku. Tapi, waktu kutanya, dia cuma menggeleng. Tiga puluh menit kemudian mereka baru selesai makan. “Rumah kalian besar sekali,” komentar Cal saat kamu berjalan ke kamarnya. Dia menggendong Seraphine yang hampir terpejam di suapan terakhir tadi. “Butuh berhari-hari untuk membersihkan semua jendela di sini.” “Drey rumah dengan banyak jendela dan pencahayaan artistik.” Aku menunjuk lampu-lampu hias yang menyinari sudut tertentu, membuat rumah yang hampir gelap ini menjadi seperti galeri pameran. “Kalian semua dari Indonesia?” “Ibu kandungku dan Mom orang Indonesia. Aku lahir di Indonesia dan tinggal di sana sampai ayahku mengidap kanker dan meninggal di London,” jelasku sambil membuka kamar mereka. Caleb melindungi kepala adiknya biar nggak terbentur pintu saat kami masuk. Seraphine merengek saat caleb meletakkannya di tempat tidur. Pelan, Caleb mengusap kepalanya. Setelah Seraphine tenang, Caleb mendesiskan ucapan terima kasih padaku. Aku membuka kamar mandi dan memeriksa persediaan alat mandi, seperti yang biasa dilakukan Juanita kalau ada tamu datang. Katanya, penting untuk memastikan kondisi kamar tamu agar tamu merasa nyaman. “Maaf. Adikku sering mengigau sejak melihat orangtua kami bertengkar,” jelas Caleb dengan suara pelan Seraphine menggeliat, menggulung tubuh kecilnya dalam selimut. “Udara di rumah ini diatur dengan sistem pengatur suhu udara otomatis. Jadi, udara yang ada di sini akan selalu nyaman untuk kulit. Seraphine pasti bisa tidur pulas.” Aku menunjuk lemari. “Di dalam lemari ada mantel tidur, handuk, dan piyama. Kalau kamu mau, letakkan baju kotor di keranjang ini, lalu taruh di depan pintu kamar. Sebentar lagi akan ada orang yang membersihkannya.” “Terima kasih lagi untuk semuanya.” “Jangan berterima kasih padaku. Ini semua milik Drey.” Dia tersenyum. Aku merasa suka melihatnya tersenyum begitu. Aku baru sadar kalau kami saling melihat dalam waktu yang lama. Ini bikin aku nggak enak. Mungkin Caleb tahu aku merasa nggak enak, dia juga berpaling. “Uhm… Er… Good night, Claire.” “Good night,” balasku sebelum setengah berlari keluar dari kamarnya. Sesampainya di bawah, aku melihat ke kamar Caleb lagi. Dia menyalakan lampu kuning di dekat jendela. Dia berdiri di dekat jendela, mungkin memandangi kolam renang. Aku lupa bilang kalau dia boleh saja berenang di situ, mumpung nggak ada orang. Dia membuka jendela. Aku seperti tertangkap basah sedang mengintip. Dia melambai padaku dan tersenyum lebar. Itu saja cukup membuatku merasa senang malam itu. Mungkin begini rasanya punya teman, ya? Pagi waktu aku ke ruang makan untuk sarapan, Caleb dan adiknya sudah duduk di sana. Caleb masih memakai mantel tidur. Mom mengepang rambut anak perempuan itu seperti waktu aku kecil dulu. Archie dan Drey mendengarkan cerita kakek Rinto dengan saksama. “Mau sampai kapan kalian di sini?” tanyaku sambil menguap. “Claire,” tegur Mom sambil melotot. “Aku kan cuma bertanya.” “Kita harus bicara setelah ini, Claire,” kata Drey tegas. “Sweet cake? Ada apa?” Kami semua melihat Mom yang seperti kesakitan. Mom itu suka menahan sakit. Kalau sampai mengernyit begitu berarti sudah sakit sekali. “Nope. I’m fine,” kata Mom sambil tersenyum. “Ayo, makan! Aku lapar sekali.” Mom menggerakkan jemarinya untuk menunjukkan dia baik-baik saja. Saat memasukkan sendok pertama omelet ke mulut, ada keributan di pintu depan. Ada suara teriakan marah laki-laki dan benturan keras. Aku jadi yang pertama melompat dan berlari ke luar, seperti Drey dan Mom. Salah satu penjaga Drey menindih lelaki tua di lantai teras. Mom menjerit dan menarik Archie masuk. Sebenarnya Mom memanggilku juga. Tapi, aku berdiri paling depan di dekat Drey. Mom nggak bisa menjangkauku. “Dad?” Caleb maju diikuti Seraphine. Drey mengangguk, memberi kode pada penjaga keamanannya agar melepaskan laki-laki itu. Penjaga merampas tongkatnya Di pinggir jalan ada SUV abu-abu gelap yang diparkir asal-asalan. Di dalam mobil itu sepertinya ada orang lain. “Apa yang kalian lakukan pada anakku?” sembur laki-laki itu dengan wajah merah.. “Mereka menginap di rumahku semalam. Aku hanya menampung mereka saat istrimu di rumah sakit,” jelas Drey tegas, nggak membantu Mr. Stephenson untuk berdiri. Mr. Stephenson menghampiri Caleb dan menampar pipinya. Pukulan itu sangat keras. Pipi Caleb merah dan bibirnya berdarah. Kakek Rinto yang baru datang cepat-cepat menarik Drey biar nggak menghajar balik laki-laki itu. “Mana adikmu?” Suara Mr. Stephenson keras dan berat, seperti orang yang terlalu banyak merokok. Seraphine maju dengan langkah pelan. Wajahnya hampir menangis. Archie berlari dan menarik Seraphine sambil berkata lantang, “Kalau kamu sakiti dia, aku tidak akan diam.” Laki-laki itu meludah ke lantai, lalu menatap marah pada Drey. “Itu anakmu? Kalau aku punya anak seperti itu, sudah kukubur sejak bayi.” Dia menarik Seraphine yang menangis. Kakek Rinto cepat-cepat menggendong Archie. Kalau nggak, mungkin Archie bakal jatuh ditabrak laki-laki itu. “Dan kamu b******n,” kata laki-laki itu pada Caleb. “Ambil pakaianmu. Apa yang kamu pakai? Kamu meniduri p*****r itu? Seharusnya kamu memilih yang lebih baik.” Aku nggak melihat laki-laki itu. Aku memperhatikan Drey yang sepertinya bakal meledak. Aku belum pernah melihat Drey marah. Tapi kurasa, itu bukan hal yang bagus untuk dilihat. Kata Dad orang yang jarang marah itu lebih mengerikan. Caleb menuruti kata laki-laki itu. Dia masuk ke rumah dengan cepat. Wajahnya merah. Kurasa dia sangat malu. Aku berlari mengikutinya. Aku menunggu di depan kamarnya saat dia ganti baju. Waktu dia keluar dari kamar, aku berkata padanya, “Jangan ke sana. Di sini saja.” Dia menarik bibirnya tipis. “Aku bisa apa? Aku cuma anak-anak.” “Kamu mau di bawa ke mana?” “Entahlah. Kembali ke Florida mungkin. Ayahku punya studio di sana. Dia produser film p***o. Ibuku berpikir dia tidak tahu kami lari ke sini.” Dia menjilat bibirnya yang berdarah. “Kadang aku ingin sekali membunuhnya. Kalau bukan karena Seraphine, aku sudah menghabisinya dari dulu,” katanya sebelum berjalan melewatiku. Waktu sampai di pintu depan, kondisi lebih tegang lagi. Mungkin selama kami tinggalkan laki-laki itu mengumpat lagi. Begitu Caleb sampai di depannya, laki-laki itu melemparkan Seraphine ke pelukan Caleb. Dia juga menarik rambut Caleb agar mengikutinya masuk mobil. Archie memeluk Kakek Rinto erat-erat. Mom menangis di sofa. Kugenggam tangan dingin Drey biar dia nggak marah lagi. Kata Dad genggaman tangan anak bisa menenangkan hati orangtuanya. Walau Drey bukan ayahku, siapa tahu dia jadi agak tenang. “Apa yang dikatakan Caleb?” tanya Drey. Suaranya masih terdengar kesal. Aku menggeleng. “Ayahnya produser film p***o di Florida. Mereka lari ke sini untuk menghindari laki-laki itu.” Kakek Rinto berkata pada Drey, “Nak, urusan mereka sudah bukan hak kita lagi, bagaimana pun, laki-laki itu bapaknya.” Kakek Rinto mengusap kepala Archie sambil mengajak anak itu berjalan ke ruang makan lagi. “Sekarang kamu lihat, kan? Daddy-mu itu yang paling baik, Cu. Kalau Daddy nasihati, berarti Daddy sayang sama kamu. Jangan tukar Daddy sama tisu toilet, ya?” Aku menoleh ke Drey. “Ada apa dengan tisu toilet?” Akhirnya, Drey tersenyum. “Aku memarahinya karena tidak mau menggosok gigi. Dia mau menukarku dengan tisu toilet di toko.” Drey mendekati Mom yang masih menangis di sofa. “Oh, Sweet Cake. Lihat gadisku menangis. Mau kugendong kembali ke meja makan?” Drey mengangkat Mom yang duduk menangis di sofa. Ada noda darah di bekas Mom duduk. Aku memekik ngeri. Di baju Mom juga ada noda darah lebih banyak. “Apa yang ... Sweet cake?” Drey juga melihatnya. “f**k!” bentak Drey setelah melihat wajah Mom jadi lebih pucat. Aku mengikuti Drey yang membawa Mom berlari ke garasi. Drey meneriaki orang-orang yang membersihkan mobilnya. Dia ribut bertanya mobil mana yang siap. Setelah meletakkan mom di dalam mobil dengan hati-hati, Drey melihat padaku. “Jaga Archie, Claire!” “Aku ikut.” Sialan! Kenapa aku menangis, sih? “Lalu siapa yang menjaga adikmu? Kami akan baik-baik saja. Di rumah sakit ada banyak dokter. Archie butuh teman. Kamu bisa dipercaya untuk ini, kan?” Kupeluk Drey erat-erat. “Jaga mom, ya.” “Pasti, Claire.” Kucium juga mom yang sekarang terlihat mau pingsan. “I love you, Mom. I love you.” Mom cuma tersenyum tipis. Matanya terlihat makin sayu. Waktu aku menunduk, darah yang lebih banyak meluncur turun di antara kaki Mom. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN