Tempat tidur Ryn didorong ke ruang perawatan. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Baju pasien warna putih dan biru jadi terlihat terlalu gelap untuknya. Dia diberi cairan infus karena nggak minum apa-apa sejak di Jakarta. Kata Karin sudah dua hari ini juga dia nggak makan apa-apa. Kalau dia masih nggak mau makan, dokter mau memasukkan selang makanan ke hidungnya. Mereka khawatir pada kesehatan fisik Ryn.
Aku duduk di ujung kamar Ryn, berusaha nggak tidur. Kasihan kan kalau Ryn tiba-tiba bangun. Pasti dia bingung lihat ada di ruang rumah sakit begini. Aku ingin jadi orang pertama yang dilihatnya saat dia membuka mata nanti. Aku ingin jadi orang pertama yang menjelaskan padanya sebelum dia menjadi panik.
“Drey memintamu pulang,” kata Steve yang baru kembali ke ruangan. “Aku akan mengantarmu ke rumah.” Dia duduk di dekatku, terlihat sedih dan lelah. Mungkin, dia juga sebenarnya ingin pulang, bukan hanya berada di ruangan ini bersamaku.
"Tidak, Steve. Aku akan tetap di sini," jawabku pelan. Kunaikkan kaki sampai lututku sejajar dengan dadaku agar aku bisa memeluknya dengan erat. Aku merasa tiba-tiba tubuhku kedinginan. Dinginnya bukan berasal dari luar, tapi dari dalam tubuhku sendiri. Rasanya aku seperti baru menelan es batu besar dan sekarang es batunya ada di dalam dadaku, nggak bisa naik atau turun. Es batu khayalanku itu terjebak di dalam tubuhku, membuat tubuhku jadi makin dingin.
"Claire, kamu tidak bisa seperti itu. Drey ingin kamu kembali ke rumah, Sayang. Ayolah!"
“Mana bisa?! Kasihan Ryn. Aku harus ada di sampingnya kalau dia bangun.” Setelah mengatakan ini, aku merasa bersalah karena telah membentaknya. Seharusnya aku nggak bersikap nggak sopan begitu sama dia. Bagaimanapun juga, Steve teman Drey. Aku harus bersikap baik padanya, sama dengan Drey.
Namun, rasanya kesal sekali kalau dipaksa seperti ini.
“Claire, Ryn punya selusin perawat di sini." Steve menarik napas dalam, lalu bergumam pelan, terdengar seperti berpikir, baru kemudian dia melanjutkan, "Mereka tahu apa yang harus dilakukan pada Ryn. Sedang ... lihat dirimu. Kamu belum tidur sama sekali. Ini sudah jam satu malam. Kamu juga membutuhkan istirahat, Sayang."
“Aku akan tidur di sini.” Aku benar-benar harus bersikeras.
“Bagaimana dengan Archie?”
“Bagaimana kalau kamu yang pulang untuk menemani Archie?” Aku melihatnya, memberikan penawaran bagus untuknya. Masa dia nggak mau menerima tawaranku. "Kamu juga butuh istirahat, Steve. Tampangmu lebih berantakan daripada aku."
Steve bersandar di sofa. Dia melepas kacamata, kemudian memijat pangkal hidungnya beberapa saat seperti orang yang lelah bersin seharian. Dia mengeluarkan napas panjang seperti orang yang kelelahan setelah berjalan kaki lama. Kemudian, dia menjuluirkan kakinya untuk meregangkan tubuh. Tulang sendinya bergemeletuk seperti engsel pintu tua yang tidak diminyaki. Sambil memejam dia berkata sendiri, "Claire ... Claire ... Claire ...."
Aku hanya memperhatikannya. Aku tahu yang dia lakukan itu hanya untuk mengeluhkan perdebatan kami. Orang tua selalu begitu kalau kalah berdebat. Mereka membuat gerak tubuh atau apa pun yang membuat anak-anak bisa merasa bersalah. Anak-anak akan merasa mereka lelah karena anak-anak terlalu menyebalkan dan menyusahkan.
Biasanya, aku akan merasa bersalah. Biasanya, aku akan meminta maaf dan memperbaiki kelakuanku. Tapi, rasanya kali ini aku nggak mau mengalah demi atau untuk siapa pun. Aku hanya ingin bersama sahabatku, menemaninya hingga dia terbangun nanti.
Setelah memperhatikanku, dia berkata, “Kenapa aku selalu diuji dengan gadis-gadis keras kepala?”
Kukira dia mau memaksaku lagi, ternyata dia malah berdiri dan berkata, “Aku akan menelepon ke rumahmu untuk meminta mereka menemani Archie. Orangtuamu dalam perjalanan pulang. Paling lambat, besok pagi mereka sudah sampai.”
Dia mengalah? Ini aneh sekali.
“Bagaimana dengan Rosie?”
Steve nggak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menepuk bahuku beberapa kali. Mungkin Rosie sembuh. Mungkin mereka sudah menyembuhkan tengkorak Rosie yang berdarah. Besok semua akan kembali normal. Ryn bisa minum obat yang menyelesaikan masalahnya dan kami akan bermain dengan Seraphine.
Aku memeluk lutut lagi di sofa, memandangi Ryn yang tertidur.
Glacie dan Mom pernah koma. Mom koma setelah melahirkan Archie dan Glacie setelah menghadapi orang jahat di New York. Mereka bilang saat koma orang merasakan dunia lain. Mereka masih bisa merasakan yang terjadi di sekitar mereka, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Aku jadi bertanya-tanya apa Ryn juga merasakan yang dirasakan Mom dan Glacie? Apa dia sekarang malah sedang mimpi buruk? Apa dia memimpikan hal buruk yang terjadi padanya di Jakarta?
Ah, nggak. Kalau dia mimpi buruk, pasti ekspresinya nggak sedamai itu. Pasti dia bermimpi ada di tempat yang lebih baik, lebih hangat, dan nyaman. Mungkin setelah bangun nanti dia nggak perlu depresi lagi.
Jangan sampai. Aku tidak mau dia merasakan hal buruk lagi. Aku ingin dia hilang ingatan. Aku ingin dia hanya mengingat masa-masa bahagianya bersama kami. Aku hanya ingin dia mengingat saat kami mengerjai anak Heath Grahamm itu, Shawn Collins. Aku ingin dia mengingat saat kami mengerjai penjaga-penjaga rumah dan Archie. Aku ingin dia bangun dan langsung merencanakan rencana jahat juga akal bulus untuk menghancurkan kekuasaan Archie di rumah. Aku ingin dia menjadi anak nakal bersamaku lagi.
"Kamu akan baik-baik saja, Ryn. Kamu akan menjadi anak yang nakal bukan main lagi bersamaku. Kita adalah dua anak jahat yang membuat Archie menangis. Bangun, ya. Kamu janji mau jajanin aku ke Jakarta lagi. Kamu janji, Ryn," bisikku dengan suara yang sangat pelan sampai aku sendiri nyaris nggak mendengar suaraku.
Alis Ryn bergerak sedikit, tapi kemudian dia kembali ke alam mimpi. Wajahnya terlihat damai di alam yang berbeda, alam yang hanya ada dia dan kebahagiaan.
Ah, aku hanya bisa berdoa dia baik-baik saja.
Heath bilang, depresi itu seperti kehilangan semua kebahagiaan. Saat dia bahagia pun ada suara jahat di dalam kepala yang mengatakan hal buruk dan merebut kebahagiaan itu darinya. Tapi, kalau dia melihat Glacie, semua hal buruk itu hilang. Dia bisa tertawa dan merasa benar-benar bahagia. Pasti Ryn juga begitu. Pasti dia juga bisa menghilangkan suara jelek di dalam kepalanya.
Aku tidur di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin dan lemas. “Kalau kamu bangun, nanti kita main lagi, ya. Aku sayang kamu, Anak Cerewet.”
Kueratkan jaket Dad. Waktu terpejam, aku merasa Dad memelukku juga. Aku bisa merasakan tangan besar Dad di sampingku, memberikan kehangatan untukku dan Ryn.
***