12. Don't Scream

1781 Kata
Waktu aku bangun, ada suara-suara pelan di sekitarku. Mungkin suara itu yang membangunkanku. Aku ada di sofa-bed dengan selimut tebal dan bantal. Archie duduk di sebelahku makan roti isi. Kakinya yang kecil terulur ke depan. Dia memandangi Drey, Mom, Steve, dan tiga orang lain yang memakai baju dokter. Mereka semua kelihatannya sedang berdiskusi dengan suara pelan. Mom menangis. Drey kelihatan lebih marah daripada sedih. Wajahnya merah, hampir sama dengan Steve yang melipat tangan di d**a mendengar entah apa yang dijelaskan oleh para dokter. Aku melihat jam tangan yang tepat menunjukkan jam sepuluh, lalu menggeliat bangun. “Selamat pagi, Claire. Mau kuambilkan sarapan apa?” Gayanya saja yang sok dewasa, padahal di pipi bulatnya ada sisa keju dan saus. Aku menggeleng. Semalam aku nggak gosok gigi. Mulutku jadi terasa pahit. Rasanya, aku jadi malas makan. Aku mau gosok gigi dulu. “Jam berapa kamu ke sini?” tanyaku setelah menggeliat malas. “Jam sembilan. Mom dan Dad datang jam tujuh. Mereka bertengkar dulu selama satu jam, baru menemuiku.” “Bertengkar? Untuk apa?” Archie mengangkat bahu. “Mom menyebut kata s****l yang di kamus artinya perempuan nggak baik. Dad menyebut nama Fred beberapa kali dengan nada marah.” Astaga! Masih keributan kemarin? Nggak bisakah mereka nyari waktu lain buat cemburu? “Memangnya Fred ada di rumah semalam?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya. Dia menggeleng. “Cuma Caleb. Dia panik waktu melihat mobil kalian lewat depan rumahnya. Kuceritakan semuanya dan dia membantuku membereskan kamarmu.” “Dia mendengar keributan Mom dan Drey?” Archie menggeleng lagi. “Dia suka kamu.” Dia nyengir. “Tuh kan kamu juga suka dia sampai bengong begitu.” “Ka-kami kan memang teman, kan? Teman itu harus saling suka, kalau nggak jadi musuh.” Aku meregangkan badan, berusaha terlihat nggak peduli. Dia tersenyum puas. “Bukan suka yang begitu. Dia suka kamu seperti laki-laki dewasa suka sama perempuan, seperti aku suka sama Mila.” Kutarik kepalanya ke dalam selimut sampai dia menjerit marah. Biar dia tahu diri. Ukurannya masih sebesar pensilku saja sok sekali menganggap dirinya dewasa. Enak saja dia bilang suka-sukaan. Terserah dia kalau mau bucin sama Mila, tapi aku dan Caleb nggak ada hubungan apa-apa. “Claire!” seru Mom dengan suara bindeng. Aku menyeringai pada mereka sambil melepaskan Archie. Anak itu mendorongku sambil mendesis, ”What's your problem?!” Steve, Drey, dan Mom kembali pada dokter-dokter itu dan menyalami mereka. Kelihatannya pembicaraan mereka sudah selesai, entah karena kami atau memang obrolan mereka sudah benar-benar selesai. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Drey duduk di sebelahku. Mom mencium pipi dan kepalaku sebelum duduk di sisi lain. Kelihatannya, mereka masih marahan. Drey itu selalu memegang Mom setiap ada kesempatan. Bukan seperti sekarang, mereka hampir nggak saling pandang. “Kalian kenapa?” tanyaku kesal. “Kalau kalian masih ribut, sebaiknya nggak pulang. Di sini sudah cukup banyak masalah tanpa kalian saling cemburu.” Steve berdeham. “Kalau begitu, aku akan ke Jakarta hari ini.” Drey berdiri lagi dan menyalami Steve. Mereka ngobrol dengan suara pelan. Steve tertawa dan menepuk lengan atas Drey beberapa kali sambil membisikkan sesuatu. Setelah melepaskan Drey, Steve berjongkok di depanku dan Archie, “Kalian memang anak yang terpilih. Kalian yang paling kuat, jadi kalian diberi tugas yang lebih berat.” “Aku tahu,” kata Archie sambil mengangkat bahu. “Untuk itulah aku dilahirkan.” “Steve, apa kamu akan mampir menemui Emma?” tanya Mom pelan. Steve mendongak pada Mom. “Yes, Ma’am.” “Boleh aku ikut? Aku ingin bertemu dengannya lagi.” “Tentu, Mrs. Syailendra. Dia pasti senang bertemu denganmu,” kata Steve sambil menunduk seperti ngomong dengan atasan. Setelah memasang wajah bingung ke Drey, dia mengikuti Mom ke luar ruangan. Wajah Drey jadi terlihat lebih kesal. Dalam keadaan biasa, Drey pasti mencegah Mom pergi. Drey nggak pernah membiarkan Mom pergi sendiri. Aneh. Archie sampai mengembuskan napas panjang. “Apa yang akan kita lakukan untuk Ryn, Drey?” tanyaku setelah bosan melihat Drey berdiam terpaku memandangi pintu. Dia mengerjap dan mengusap wajah dengan tangan. “Kita akan membawa Ryn pulang sebentar lagi. Dia lebih baik dirawat di rumah.” Dia duduk di sebelahku dan mengambil napas berat beberapa kali. “Kalau ada yang kalian inginkan, katakan saja,” katanya lagi. “Jadilah suami yang baik, Dad. Rasanya nggak adil kalau Dad memperlakukan mom begitu. Dad tahu mom cuma mencintai Dad. Mom nggak pernah ke mana-mana selain dengan Dad.” Archie berkata sambil menunduk memainkan ujung ikat pinggangnya. Drey diam saja. Dia menunduk memainkan jari, persis seperti anaknya. Kalau ada yang lihat, aku yakin dia pasti berpikir aku memarahi mereka. Jadi, kutinggalkan saja mereka untuk sikat gigi. Siapa tahu ada hal yang ingin mereka obrolkan. Selama ada di keluarga ini, baru kali ini aku melihat mereka begitu. Mungkin mereka sama-sama lelah. Memang, walau cerdas dan hebat dalam banyak hal, Drey itu kadang kolokan. Dia sering ngambek karena cemburu buta. Dia nggak mengizinkan pekerja laki-laki masuk ke dalam rumah juga karena nggak mau ada yang melihat Mom. Mungkin, kali ini Mom sudah sangat kesal. Mungkin saja sesekali Mom ingin dimengerti. Setelah berkorban banyak, kadang perempuan ingin mendapat sesuatu yang lebih. Begitu kan kata Kakek? Orang dewasa kadang menuntut untuk dipahami, bahkan oleh anak-anak. Mereka sampai lupa kalau mereka juga harus berusaha memahami orang lain. Sepertinya, Archie juga menyampaikan hal ini pada Drey. Waktu kembali, Drey sedang menunduk di depan anaknya yang kelihatan marah-marah. Aku melewati mereka untuk mengambil minum dan sebuah apel di pantry. “CLAIRE!” Ryn menjerit. Hampir saja kujatuhkan gelas dan apel di tanganku. Anak itu duduk dengan ekspresi ketakutan. Drey menekan tombol darurat dan Archie menutup wajahnya dengan selimut, takut dilempar lagi. “Hai, Ryn!” Aku buru-buru duduk di tempat tidurnya. “Sudah bangun? Bagaimana?” Tanpa menjawab pertanyaanku, seharusnya aku sudah tahu apa yang terjadi. Wajahnya pucat sekali. Matanya cekung dan gelap, lebih parah dari kemarin. Apa gunanya obat yang diberikan padanya? Kenapa dia nggak juga sembuh? Ryn ambruk ke tempat tidur. Dia memandangiku dan memegang tanganku dengan erat sebelum tidur lagi. Tangannya dingin dan berkeringat. Bibirnya kering gemetar dan makin pucat. Aku pengin kasih dia minum, tapi takut malah bikin keadaan tambah parah. Dia menggigil. Air matanya keluar walau nggak ada suara isak tangis. Aku jadi berpikir siksaan apa yang membuatnya jadi begini. Dokter dan perawat yang masuk memeriksa denyut jantung, mata, dan bagian tubuh Ryn lainnya. Dokter membantuku melepaskan cengkraman tangan Ryn dan memintaku menunggu bersama Archie. Sebentar saja Ryn sudah menjerit lagi. Jeritan melengking yang bikin bulu kuduk berdiri. Archie merapat pada Drey. Hilang sudah tampang sok tuanya tadi. Sekarang dia benar-benar mirip bayi. Butuh waktu untuk membuat Ryn tenang lagi. Aku nggak lihat apa yang mereka lakukan. Teriakan Ryn berubah jadi rintihan pelan seolah dia sudah nggak punya tenaga lagi untuk menjerit. Drey memberi kode padaku untuk mengikutinya. Kami duduk di meja makan yang jauh dari Ryn. Archie kelihatannya pengin ikut, tapi dia diam saja. “Claire, aku ingin bicara tentang Ryn,” kata Drey serius. “Kukira tentang Mom,” komentarku sama seriusnya. Drey terlihat terkejut, tapi dia berkata lagi. “Nanti kita juga harus bicara tentang Mom.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Kami sudah berdiskusi tentang Ryn. Dia mengalami--what the hell?” HP Drey bergetar. Mulanya dia marah-marah waktu mengambil HP dari kantong jaket. Tapi, begitu melihat nama di layar, dia serius lagi. “Ya?” Drey mendengarkan dengan saksama. Sesekali dia menggigit bibir dan menggosok wajah. Setelah selesai, dia berkata padaku, “Kita jemput Mom.” “Kapan?” tanyaku. Drey mengusap wajah beberapa kali. Dia terlihat sama frustrasinya dengan Ryn. Mungkin, kalau nggak ada kami dan orang lain, dia sudah membanting sesuatu seperti waktu ribut dengan Heath dulu. Kali ini, dia mengatur napas dengan mata terpejam, terlihat sekali ingin membuang emosinya. Aku cuma berpandangan dengan Archie, menunggunya selesai menelan semua kekesalan. Setelah bisa menguasai diri, Drey memengusap berewoknya beberapa kali, lalu berkata, “Ryn akan diantar pulang. Dia akan tidur di kamar tamu yang dekat dengan kamarmu,” katanya padaku. Dia diam sebentar, memandangi kami. Tatapannya seperti orang yang baru saja menyerah dalam pergulatan batin. “Kita harus pergi.” Drey nggak ngomong apa-apa lagi, bahkan saat di mobil. Biasanya dia selalu memutar musik klasik. Kali ini, mobil membisu, cuma suara mesin yang terdengar. Ini lebih mengerikan daripada saat dia memutar Requiem. Archie di sebelahku nggak berhenti meremas tanganku, sepertinya dia khawatir ayahnya bakal melakukan hal buruk pada kami. Drey memang nggak pernah mengamuk di depan kami. Dia sering ribut dengan heath jika sedang berdebat. Dia pernah marah padaku waktu aku ke luar rumah pakai celana pendek banget. Tapi, dia nggak pernah benar-benar diam begini. Caranya menyetir yang tetap berusaha tenang walau ngebut parah juga bikin khawatir. Aku heran kenapa belum ada polisi yang menghentikan mobilnya. Kami berhenti di tengah kota, di dekat deretan toko baju dan salon khusus wanita. Orang-orang sudah berlalu-lalang di jalanan siang yang cerah. California nggak punya salju di musim dingin seperti New York, tapi anginnya cukup dingin. Orang-orang memakai jaket yang cukup tebal. Cewek-cewek berkulit tebal yang masih memperhatikan penampilan memakai jaket yang lebih tipis atau hanya atasan lengan panjang crop top. Aku sendiri heran dengan apa mereka melapisi kulit mereka sampai bisa tahan dingin begitu? “Kita ngapain sih, Drey?” tanyaku nggak sabar. Drey diam saja. Dia terus memandang ke trotoar. Tangannya rapat di kemudi. Rahangnya juga keras. Alisnya mengerut, hampir menyatu. Bibirnya yang tipis mengerucut. Berkali-kali dia melihat HP yang menempel di dashboard. Lalu, yang kami tunggu datang. Mom berjalan ke luar dari salon. Aku hampir nggak mengenali Mommy awalnya. Gayanya benar-benar berbeda. Rambut hitamnya yang biasanya digelung berantakan sekarang diwarnai cokelat cerah, ikal sampai pinggang. Mom pakai baju merah yang seksi sekali. Dadanya terbuka dan roknya cukup pendek untuk disebut baju. Walau baju itu lengan panjang, rasanya nggak banyak anggota tubuh yang ditutupi. Kulitnya yang cokelat terlihat berkilau seperti dilapisi lilin. Mommy nggak begini. Mom itu cewek paling pemalu di dunia. Mom nggak pernah memilih bajunya sendiri dan hampir selalu mengalami krisis percaya diri. Makanya Mom nggak pernah mau difoto. Setiap ada foto keluarga, Mom selalu berdiri merapat di pelukan Drey. Gaya ini bukan Mom. Mungkin Mom kesurupan Marilyn Monroe atau hantu Hollywood lainnya. Mungkin Mom salah makan. Bukan cuma aku kok yang kaget. Archie juga menganga melihat Mommy. Dari spion kulihat Drey juga memasang ekspresi yang sama. Ada apa dengan Mom? “Sweet cake,” panggil Drey dengan suara pelan dan serak. Mulanya wajahnya terlihat sedih, lalu setelah mengerjap, wajahnya berubah jadi keras. Aku sampai menjerit waktu Drey keluar dan membanting pintu mobil. Dia marah? “Archie,” desisku sambil menggenggam tangan Archie, berharap keluatan darinya. Tuhan, jangan bikin Drey kasar ke Mommy. Jangan bikin Drey marah ke mommy. Amin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN